Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 25 Januari 2009

Juaro 23

SEUSAI menulis laporan seminar mengenai HAM, Putra dan Melki merasa sangat lelah. Mereka terbaring di kasur, di sebuah kamar di Hotel Bidadari, Jalan Tasik, Palembang.
“Melki, kagek malam kito ke kafe itu, kito cari budak semalem itu. Badannya bagus. Manis pulo. Aku sir nian. Dio itu pecak Madonna,” kata Putra.
Putra menyukai perempuan bertubuh gempal, tinggi, serta berbuah dada besarmeskipun tinggi tubuh Putra hanya 145 centimeter. “Memperbaiki keturunan,” kelakarnya. Tetapi, Putra sendiri sudah jatuh cinta dengan Yulia, teman satu kampus. Tubuhnya kerempeng, tingginya sama dengan Putra dan mengenakan jilbab. Tidak mau Putra menyalurkan nafsu purba kepada Yulia. Takut berdosa. Namun, dia tidak begitu yakin mampu menahan nafsu purba dengan Yulia.
“Dio itu bukan untuk nafsu-nafsuan. Dio calon bini aku.”
Melki dan Putra menghabiskan beberapa loki vodka dan beberapa botol bir, sambil menikmati musik blues yang didendangkan “negro melayu” di sebuah cafĂ© tak jauh dari hotel itu.
Pulangnya Putra mengandeng seorang perempuan muda, sementara Melki melunasi utang tidurnya.
Di kamar hotel, Putra menjadi penyair yang patah hati. Chairil Anwar dan W.S. Rendra bergantian masuk ke mulutnya. Satu rasa sejuta kata. Mengumbar bunga, madu dan mendatangkan musim salju yang berabad-abad telah hilang di kamar. Perempuan itu kedinginan. Dia menggigil. Dia memeluk pergunungan Himalaya.
Sejenak kemudian Putra menjadi Spiderman. Dia meloncat, menempel di dinding, bergantung di langit-langit kamar hotel. Jaring laba-laba menyesaki mereka. Perempuan itu sulit bernafas. Dadanya sesak. Naga purba merayapi tubuhnya. Keringat bercucuran di seluruh tubuhnya. Keduanya kemudian menghancurkan televisi, menghentikan siaran berita tentang pengukuhan George W. Bush menjadi Presiden Amerika Serikat. Mereka meraih dan mengelus bintang sampai subuh.
“Semoga kito ketemu lagi. Awak hebat nian,” kata Putra.
Perempuan itu dimasukkan Putra ke dalam kantong kresek. Dijinjing pelayan hotel. Di pinggir jalan perempuan itu menunggu anjing mencium bau tulangnya, lalu, berharap menyeret dirinya.

Juaro 22

PAGI, 12 Juni 2001, Putra bersama beberapa aktivis LSM dan mahasiswa mengadakan per-temuan dengan warga di sebuah langgar. Hari itu Pemerintah Palembang akan melakukan penggusuran di Jakabaring. Warga yang mem-bangun pondok, membuka kebun dan sawah di Jakabaring dicap sebagai pencuri.
“Kito harus berjuang mati-matian. Ini hak kito. Kito harus mempertahankan hak kito yang telah dirampas rezim Soeharto,” kata Putra.
Sekitar pukul sembilan pagi, lebih kurang 350 orang dari aparat pamong praja, polisi, tentara dan bandit, berkumpul di jalan tak jauh dari lokasi pemukiman warga.
Seorang pemimpin penggusuran yakni Ahmad Temboki membacakan surat keputusan Walikota Palembang yang meminta warga segera me-ninggalkan pondok dan lahan mereka dalam waktu dua jam. Bila menolak akan dilakukan penggusuran paksa.
Sampai batas waktu yang ditetapkan itu warga tetap bertahan di lokasi yang akan digusur. Berbagai doa dibacakan warga agar penggusuran itu batal dilakukan. Tetapi, Tuhan punya keinginan yang lain, maka sebuah ekskavator yang diiringi ratusan petugas, bandit yang membawa pen-tungan, godam, menuju ke pemukiman warga.
Pukul 10.00, tiga pondok milik warga dirobohkan ekskavator.
Putra menyuruh para ibu dan anak-anak membentuk pagar manusia dengan cara berpegangan tangan, sebagai lapisan pertama. Sedangkan lapisan kedua, Putra bersama bapak-bapak, pemuda, serta aktifis mahasiswa dan LSM.
Saat berhadapan dengan ekskavator, para ibu dan anak-anak bertangisan. Mereka berteriak-teriak agar penggusuran dihentikan. Bahkan, seorang ibu, namanya Komariah, berteriak dan menangis sambil bergulingan di tanah. Seorang ibu lainnya menari-nari di depan ekskavator.
Kedua ibu itu diseret oleh beberapa polisi pamong praja. Ekskavator pun bergerak. Dua lapis pagar manusia itu mundur sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Puluhan bandit tak jauh dari mereka mengacungkan senjata tajam.
Melihat warga mundur, ratusan polisi pamong praja dan bandit menyerbu. Mereka menarik dan memukuli warga.
Putra pun terkena pukulan di kepalanya. Komariah dihempaskan tubuhnya ke tanah oleh seorang polisi pamong praja karena melawan.
Ekskavator terus bergerak, merubuhkan puluhan pondok. Isak tangis dan teriakan kemarahan warga bergema.
Melalui siaran berita live dari beberapa radio, seluruh warga Palembang mendengar jeritan batin mereka.
Seorang ibu nekat maju ke depan pondoknya yang akan dihancurkan ekskavator. Dia membawa sebuah drigen berisi minyak tanah. Dia mau membakar dirinya. Namun, puluhan polisi pamong praja dengan sigap memukul dan menyeretnya.
Ekskavator dengan garangnya meratakan pondok, termasuk beberapa langgar. Sementara pondok yang sulit dijangkau ekskavator, dibakar. Kebun dan sawah milik warga juga dibakar.
Ratusan orang kehilangan tempat tinggal. Mereka termangu, menangis, marah, benci, cemas, takut, seperti ratusan binatang yang berlari menyelamatkan diri karena hutan dibakar para perambah.
Putra bersama beberapa aktivis LSM kemudian mengirim surat protes ke Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) dan Presiden. Hasil dari surat protes itu nol besar alias tak ada kelanjutannya.
Lalu, sebagian warga ikut transmigrasi, sisanya mencari kontrakan rumah di Palembang, dan bekerja apa saja, yang jelas tidak lagi bertani.
Hanya Komariah yang bertahan di Jakabaring, selanjutnya dia membangun sebuah pondok di balik dinding pagar kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatra Selatan.

Juaro 21

DULU, sekitar tahun 1950-an, tidak banyak orang yang berani masuk ke kawasan Jakabaring, yang terletak di daerah Seberang Ulu Palembang. Sebagai daerah rawa-rawa dan hutan semak, Jakabaring terkenal sebagai kawasan bercokolnya binatang buas seperti ular, buaya, atau harimau. Istilah wong Palembang “tempat jin buang anak”. Tetapi, yang terpenting, Jakabaring adalah daerah resapan air.
Namun, ada segelintir orang yang nekat masuk ke daerah itu. Salah satunya Hasyim, warga 8 Ulu Palembang. Bermodalkan parang, cangkul, serta selembar surat pancung alas atau surat izin membuka lahan dari Pemerintah Palembang saat itu, selama sepuluh tahun, Hasyim menggarap kawasan itu menjadi kebun jeruk, kelapa, dan persawahan padi. Selanjutnya berbondong-bondong orang membuka kebun dan sawah di Jakabaring.
Awal petaka. Pada awal tahun 1990-an, Gubernur Sumatra Selatan saat itu bersama Siti Hardijanti alias Mbak Tutut, putri sulung Soeharto, berencana mereklamasi kawasan Jakabaring tersebut. Proyek itu didukung para pengusaha, termasuk pengusaha dari Palembang.
Tujuan dari reklamasi itu memperluas Kota Palembang. Di atas lahan reklamasi itu, akan dibangun perumahan, pasar, sarana olahraga, pertokoan dan perkantoran. Keluarlah surat sakti sang gubernur untuk mereklamasi lahan seluas 500 hektare di Jakabaring.
Dalam proses awal reklamasi, warga di Jakabaring dipaksa menyerahkan lahannya. Tak kecuali pemaksaan itu melalui teror oleh pegawai kelurahan, pegawai kecamatan dan bandit terhadap warga. Teror itu misalnya dengan cara mengancam akan membakar pondok warga atau dituduh sebagai pengikut komunis; ideologi yang dilarang dalam pemerintahan Soeharto. Biaya ganti rugi lahan yang diterima warga rata-rata Rp 700 per meter persegi.
Warga pun melawan tetapi selalu kandas. Tiga warga yang memimpin aksi perlawanan yakni Muhammad Rasyid, Ali Hasan, dan Rias, ditangkap tentara. Di markas tentara yang menangkap, ketiga warga yang ditangkap itu dikurung selama dua hari. Mereka mengaku disiksa. Muhammad Rasyid kehilangan tiga gigi depannya karena benturan kursi yang dilemparkan seorang tentara.
Tahun 1991, semua lahan warga di Jakabaring telah diambil Pemerintah. Perlawanan terakhir warga yakni menuntut tambahan biaya ganti rugi lahan. Tuntutan itu pun tidak berhasil.
Seusai Soeharto jatuh, pengujung tahun 1998, warga yang digusur kembali ke Jakabaring. Sekitar 43 hektare tanah dijadikan warga kebun dan sawah.

Juaro 20

MALAM di kamar kos Putra di kawasan Bukitbesar, digelar sebuah diskusi mengenai kepemimpinan Soeharto.
“Negara ini dikendalikan kapitalisme global. Soeharto adalah anteknya. Ini terbukti karena sejak awal kepemimpinanya dia sudah berutang dengan negara asing, dan memberikan peluang kepada negara asing menanamkan modalnya ke negara ini. Makanya negara ini hancur karena terjual ke negara-negara asing yang rakus itu,” kata Putra.
Pernyataan Putra itu menarik perhatian seorang peserta diskusi yakni Beben dari LBH Swarna Bhumi. Di dalam penilaian alumnus Fakultas Pertanian Universitas Balaputra Dewa itu jarang sekali ada seorang mahasiswa yang kritis dan berani di Palembang, seperti Putra, apalagi mahasiswa Universitas Balaputra Dewa, yang konon pernah dikirimi pakaian dalam perempuan oleh mahasiswa Universitas Indonesia lantaran dinilai penakut.
“Kau mau dak jadi voulenter di LBH. Kalau mau, kagek aku usulke ke Kak Din, direktur kami,” kata Beben.
Tanpa berpikir dua kali Putra menyetujui tawaran itu. Sudah lama dia ingin sekali mempunyai aktivitas di luar kampus. Dia pun menjadi voulenter di lembaga bantuan hukum yang awal keberadaannya di Palembang banyak membantu kasus-kasus penggusuran lahan yang merugikan masyarakat.
Tetapi, perjuangan lembaga bantuan hukum non profit itu selalu kandas di pengadilan. Penggusuran sulit sekali dilawan lantaran rezim Soeharto bagai gurita lapar yang sulit sekali ditaklukkan meskipun dengan mengucapkan nama Tuhan berjuta kali kepada para pendukungnya.
Kasus pertama yang diikuti Putra yakni membantu advokasi kasus penggusuran lahan di kawasan Jakabaring, Seberang Ulu Palembang. Kawasan itu akan direklamasi Pemerintah Daerah Sumatra Selatan.
Dari kasus itu pula Putra tahu pemerintah Sumatra Selatan akan merelokasi pemukiman penduduk di tepi Sungai Musi. Kabarnya, setelah reklamasi Jakabaring—selanjutnya akan dibangun sarana olahraga, perumahan penduduk, dan perkantoran pemerintah—di sepanjang tepian Sungai Musi yang membelah Kota Palembang, akan dibangun perhotelan, taman, dan sarana hiburan lainnya.
“Soeharto harus dilawan. Dia harus dijatuhkan agar rakyat Indonesia merdeka dan meraih keadilan sejati,” kata Putra berulangkali kepada beberapa temannya di kampus.

Juaro 19

KETIKA pulang ke Jakarta, dia banyak mengeluhkan persoalan itu ke orangtuanya, terutama kondisi kampung kakeknya, 5 Ulu.
“Mama, Walikota Palembang itu gila benar. Masak di kampung kakek sulit sekali mendapatkan air bersih, padahal kan di tepi Sungai Musi. Pipanya ada tapi airnya tidak pernah keluar. Jadi, wong sana setiap hari membeli air untuk minum.”
“Ya, memang seperti itulah Kota Palembang. Makanya Mama tidak mau kau kuliah di Palembang. Di sana juga banyak banditnya, mereka suka membunuh.”
“Bukan itu masalahnya, Ma. Aku senang kuliah di Palembang. Tapi kota sebesar dan setua itu kok sulit sekali mendapatkan air bersih. Padahal kan katanya Sungai Musi itu nyaris tak pernah kering meskipun musim kemarau. Pasti karena pejabatnya korup. Apalagi banyak sekali pengangguran di Palembang.”
“Us! Jangan ngomong sembarangan, nanti kau ditangkap seperti teman Mama di Semarang dulu, yang sembarangan ngomong soal Pemerintah. Protes itu.”
“Ah, susah ngomong dengan Mama ni.”
Ketertarikan Putra terhadap kehidupan di tepian Sungai Musi, membuatnya peduli terhadap persoalan masyarakat pesisir sungai. Selain bertukar informasi dengan masyarakat di tepian Sungai Musi, dia juga berdikusi dengan teman sekampus dan membaca buku soal lingkungan hidup. Dia pun menulis beberapa artikel mengenai kehidupan di tepian Sungai Musi di koran lokal Sriwijaya Post dan Sumatera Ekspres.
Kebiasaan berdikusi itu akhirnya melahirkan sebuah kelompok diskusi. Tema diskusi kelompok Putra bukan hanya persoalan lingkungan hidup, juga merambah ke tema politik, hukum atau ekonomi.
Kelompok diskusi itu sering menghadirkan sejumlah dosen yang dinilai kritis dan kawan-kawan aktivis prodemokrasi di luar kampus. Kemudian mereka membangun komunikasi dengan para aktifis kampus dari berbagai perguruan tinggi di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi.
Putra membaca semua buku yang mengupas pemikiran Karl Marx yang banyak mengkritik kapitalisme. Buku-buku itu dikirim kawan-kawannya dari SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) di Yogyakarta atau aktivis Pijar (Pusat Informasi Jaringan Reformasi) di Jakarta.

Senin, 19 Januari 2009

Juaro 18

SEMESTER pertama kuliah, Putra banyak menghabiskan waktu dengan menelusuri Kota Palembang, terutama perkampungan di tepian Sungai Musi. Setiap kali melihat Sungai Musi dia merasakan getaran yang luar biasa. Berulangkali dia mandi di air sungai yang pernah memiliki 316 anak sungai itu. Puluhan foto perempuan yang mencuci, anak-anak yang mandi, bermain perahu atau sepakbola di pinggiran Sungai Musi menjadi koleksinya. Pempek, godo-godo, lempok atau laksan menjadi makanan pilihannya setiap pagi.
“Aku harus menjadi wong Palembang.”
Tetapi, kebahagian Putra sering pupus ketika dia menyadari kehidupan masyarakat di tepian Sungai Musi itu memprihatinkan; kumuh dan miskin, bagai ratusan ikan di Sungai Musi yang mati perlahan karena limbah amoniak.
Perkampungan yang dinilai Putra kumuh itu adalah hampir semua perkampungan di sepanjang Sungai Musi bagian Ulu, kecuali perkampungan etnis Arab. Lainnya dari Kertapati, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14 Ulu, dan Hoktong merupakan kawasan kumuh.
Sementara perkampungan kumuh di bagian Ilir, antara lain Tanggabuntung, 35, 34,30, 29, 28, 1 Ilir, dan Kuto Batu.
Akibat kemiskinan, rumah-rumah panggung milik warga tak terawat; tiang-tiang rumah yang dulunya dari kayu Tembesu, diganti dengan kayu Gelam.
Lorong-lorong di perkampungan itu sempit dan dipenuhi sampah. Di kolong-kolong rumah panggungnya, ratusan ribu manusia hidup di dalam kelembaban.
Rumah-rumah rakit pun kian berkurang jumlahnya. Pemiliknya sebagian besar pindah atau menetap di darat. Mereka tidak kerasan lagi di rumah rakit.
Alasan mereka, arus lalu lintas di sepanjang Sungai Musi tidak tenang lagi. Berbagai kapal tongkang yang membawa batu bara, semen atau pasir yang melintasi Sungai Musi, setiap hari, meninggalkan ribuan gelombang yang menghempas rumah panggung mereka.
Selain itu, limbah amoniak dari pabrik PT Pupuk Sriwijaya, limbah “tai” minyak Pertamina, atau limbah dari pabrik karet dan penggergajian kayu di tepian Sungai Musi, juga menyebabkan mereka terancam berbagai penyakit.

Juaro 17

MENGHADAPI Pemilihan Umum 1999, Putra dan beberapa kawannya mendirikan sebuah organisasi pemantau HAM (hak asasi manusia). Alasan pendirian organisasi itu karena persoalan utama di Indonesia untuk 10 tahun ke depan masih berkisar pelanggaran HAM.
Kepopuleran dirinya selama menjadi aktivis mahasiswa membuat sejumlah lembaga donor dari Amerika Serikat dan Eropa mau membantu semua aktivitasnya, terutama berkaitan dengan pendidikan politik serta penguatan organisasi masyarakat sipil, seperti kaum buruh dan tani.
Hampir setiap hari Putra tampil di media massa, baik lokal maupun nasional. Bila ada aksi yang dilakukan petani atau buruh, Putra selalu berada di depan. Dia berteriak agenda reformasi, berteriak soal hak-hak masyarakat sipil, berteriak soal hak-hak rakyat yang telah dirampas perusahaan atau Pemerintah.
Setelah mendapatkan sejumlah dana, organisasi Putra tidak lagi menumpang di kantor LBH Swarna Bhumi. Organisasi itu menyewa sebuah rumah di kawasan Bukitbesar, sebuah rumah dengan lima kamar.
Siapa Putra? Setelah menamatkan sekolah menengah atas di Jakarta, Putra menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Balaputra Dewa. Nama lengkapnya Putra Sriwijaya.
Bapaknya bekerja pada sebuah perusahaan perkebunan. Ibunya tidak bekerja. Keluarganya tinggal di daerah Cempaka Putih, Jakarta. Putra anak tertua dari tiga bersaudara. Sejak duduk kelas satu sekolah menengah pertama, Putra ingin sekali bersekolah ke Palembang.
“Entahlah, Pa, aku pingin benar kuliah ke Palembang.”
“Ya, wajar saja. Kamu kan lahir di sana,” kata bapaknya.
“Tapi, menurut Mama, sebaiknya kamu kuliah di Jakarta. Biar tidak jauh dari kami,” timpal ibunya.
“Ma, kuliah di Palembang itu keinginanku sejak lama. Aku kan dapat pulang setiap ada kesempatan atau Mama yang mengunjungiku ke Palembang. Di sana kan ada saudara Papa.”
“Sudah tidak ada lagi. Semuanya meninggal dunia.”
“Aku ingin sekali kuliah di Palembang, Ma.”
Keinginan Putra kuliah di Palembang tidak dapat dicegah kedua orangtuanya. Dia lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Dia diterima di Fakultas Hukum Universitas Balaputra Dewa.

Juaro 16

AWAL Desember 1984. Sarif ditemukan keluarganya di dalam sebuah karung goni, di bawah pohon akasia, di Kilometer 15, Jalan Raya Palembang-Inderalaya. Tiga jam sebelumnya polisi memberitahu keluarganya.
Saat mayatnya dikeluarkan, kedua tangan dan kakinya diikat seperti posisi bayi di dalam kandungan ibunya. Sebuah lubang peluru menganga di pelipis kirinya. Di saku kemejanya ditemukan selembar kertas dan uang Rp 25 ribu. Tulisan di kertas itu “Berdoalah kepada ibu dan bapakmu” serta “Biaya penguburan” dan “Penembak Misterius”
“Dia didor petrus,” kata Iman kepada Jai. ”Aku jadi bingsal, Man.”
Malam itu, Jai menemui Iman yang tengah mengunjungi orangtuanya di Puncaksekuning, Palembang. Sejak 1981, seusai kebakaran yang menghanguskan ribuan rumah di 22 Ilir, 23 Ilir, 24 Ilir, 26 Ilir, 27 Ilir, kedua orangtua Iman pindah dari Cempaka Dalam.
“Saranku, kau pergilah, jauh-jauh dari Pelembang. Kalu sudah aman, baru awak balik ke Pelembang,” kata Iman.
“Ya, ya, tapi sekarang aku nak beli kartu porno dulu,” kata Jai terus menyodorkan selembar uang seribu rupiah.
“Tumben kau nak beli, biasonya jugo minta. Embekla duitmu, kagek aku kasih kartunyo.”
“Idak lemak, aku nak beli. Aku banyak duit.”
“Ya, aku pecayo. Tapi, ya, sudah.”
Setelah menerima kartu porno itu, Jai pergi mengendarai sepeda. Dia pulang ke arah rumah istri keduanya yang masih di Puncaksekuning tapi lebih masuk ke dalam, di daerah persawahan.
Beberapa meter meninggalkan rumah orangtuanya, sebuah mobil Toyota berwarna merah berhenti di samping Iman. ”Selamat malam, Pak.”
Iman menoleh ke arah kaca samping mobil itu. Seorang lelaki berambut pendek, berkumis tebal, tersenyum. Di sampingnya, yang membawa mobil, lelaki berambut panjang. Samar-samar Iman melihat dua lelaki duduk di bangku belakang mobil.
“Malam, Pak.”
Lelaki yang menyapa Iman turun dari mobil. Dia mengenakan rompi warna hitam. Iman melihat di pinggangnya terselip sebuah senjata api. “Kalau mau keluar, lewat mana, Pak?”
“Kalau ke depan jalan ini, belok kanan, ke Jalan Kapten Achmad Rivai. Bapak mau ke mana?”
“Kami mau keluar. Kalau terus ke dalam.”
“Ini jalan buntu. Ujungnya persawahan.”
“Maaf, Pak. Bapak pulang ke mana? Bapak kerja di mana? Bawa KTP (Kartu Tanda Penduduk).”
Iman tersentak. Tetapi, dia tetap mengeluarkan kartu tanda penduduknya.
“Aku, aku pulang ke lorong Kulit. Aku dari rumah orangtua di sini. Kerjaku di toko sepatu di Pasar 16 Ilir,” kata Iman seperti terburu-buru.
Seorang lelaki yang duduk di belakang mobil ikut turun. Matanya menatap tajam. Jantung Iman berdetak cepat. Pikirannya mengatakan mereka itu adalah petrus. Jika dirinya diculik, Iman berharap masih punya kesempatan menemui istri dan kedua anaknya.
“Kalau mau diantar, kami antar,” kata lelaki berompi itu sambil mengembalikan kartu tanda penduduk milik Iman.
“Biarlah, aku jalan saja.”
“Nggak apa-apa. Jangan takut. Kami antar, kok,” kata lelaki yang turun belakangan dari mobil.
“Aku biasa jalan. Terimakasih.”
“Begini, Pak…,”
“Bapak anggota (polisi), kan?” Iman tidak mampu menahan kecurigaannya.
Lelaki berompi itu mengangguk, lalu menyodorkan sebuah foto.
“Kami mau tanya. Bapak kenal orang ini?”
Saat melihat foto itu Iman bagai disambar petir. Dia berusaha menutupi keterkejutannya.
“Tidak kenal, Pak,” jawab Iman.
“Masak tidak kenal, namanya Jai.”
“Aku tidak kenal nian, Pak.”
Sejenak lelaki itu menatap wajah dan kedua mata Iman. Iman berusaha keras tidak mengedipkan mata. Dia berharap kebohongannya tidak diketahui.
“Ya, sudah. Kalau mau diantar, ikut kami.”
“Terimakasih, Pak. Biarlah saya jalan. Saya biasa jalan,” kata Iman.
Iman bergegas pergi. Tetapi, mobil itu mengikutinya. Baru di Jalan Kapten Achmad Rivai mobil itu berhenti menguntit. Iman yakin, dirinya tidak dicurigai sebagai bandit lantaran di tubuhnya tidak ada tato. Kalau ada, mungkin dia juga menjadi sasaran petrus.
Besoknya Iman meminta anak buahnya mencari Jai. Menyampaikan kabar agar Jai segera pergi dari Palembang. Petrus mencarinya. Jai memang dikenal sebagai perampok yang suka membunuh dan memerkosa. Puluhan orang telah dibunuhnya.
Wilayah operasi kejahatan Jai adalah dusun-dusun di Musi Banyuasin. Jaraknya dari Palembang sekitar 100 kilometer.
Malamnya saat Jai ingin bertemu dengan Iman di Pasar 16 Ilir, pasar itu terbakar. Hangus. Rata dengan tanah.
Dan, setelah membantu Mat Pilis menghabisi dirinya dengan membakar diri, Jai menghilang. Istri keduanya, yakni Halimah ditinggalkan bersama ketiga anaknya.
Soal banditnya, Palembang tersohor ke penjuru Indonesia, termasuk di Malaysia dan Singapura. Jai dan Mat Pilis adalah sebagian kecil bandit di Palembang. Hampir pada setiap perkampungan padat dan kumuh, akan dilahirkan seorang bandit.
Karier bandit di Palembang itu berjenjang. Awalnya adalah bandit kampung alias “lipas tanah”, kemudian naik menjadi “tikus angin” yang memperlebar wilayah curian; tidak hanya di kampung sendiri. Namun, sasarannya sama yakni sandal kulit, sepatu, pakaian di jemuran, sepeda, dan paling tinggi mereka membongkar warung atau rumah; mencuri barang elektronik seperti televisi, atau pula menodong pendatang di kampung mereka.
Dari “tikus angin” beranjak menjadi bandit sebenarnya. Mereka pun mulai melakukan kejahatan berupa perampokan.
Ada kejahatan yang paling dibanggakan para bandit Palembang, yakni mampu merampok nasabah bank atau toko emas, menjadi perompak di Sungai Musi atau di laut, serta memiliki daerah kekuasaan untuk dipunguti biaya parkir kendaraan atau biaya keamanannya. Alasannya, merampok nasabah bank, merampok toko emas, merompak kapal barang, atau menjaga keamanan di suatu tempat—seperti pasar, pelabuhan atau pertokoan—mendatangkan penghasilan yang besar.
Lalu, tidak sedikit para bandit di Palembang kemudian menggunakan hasil kejahatannya untuk membuka sebuah usaha ekonomi, serta untuk membangun rumah buat orangtuanya. Dari usahanya itu, kemudian mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji—mayoritas masyarakat di Palembang beragama Islam. Mereka pun masuk ke dalam pepatah yang sering terdengar di masyarakat, “Lebih baik dari bandit menjadi ulama, daripada dulunya ulama berubah menjadi bandit.”
Takutkah mereka dengan dosa seperti yang diajarkan semua agama? Para bandit itu mengaku kejahatan yang mereka lakukan adalah sebuah dosa. Tetapi, kata mereka, apakah tidak lebih berdosa bila membiarkan keluarga mereka kelaparan, bodoh lantaran tidak dapat sekolah dan membeli buku, serta berpenyakitan karena kemiskinan.
“Kami tidak mau sudah berdosa di akhirat, miskin pula di dunia,” kata mereka.

Sabtu, 17 Januari 2009

Juaro 15

SEJAK kecil Jai memang telah diajarkan kekerasan oleh bapaknya.
“Kalu kau berkelahi jangan ngadu ke bapak. Kalu kau ngadu, kau yang bapak pukul,” kata bapak Jai setiap kali memberikan nasihat.
Jai pun sejak anak-anak dibiarkan bapak yang berasal dari Pegagan, sebuah daerah di Ogan Komering Ilir, itu membawa senjata tajam.
“Jadi lanang tu jangan galak diinjak orang. Harus melawan. Lebih baek membunuh wong daripado dibunuh,” kata bapaknya.
Jadi, tak heran, bila Jai tidak pernah menyesali semua kejahatan yang pernah dilakukannya.

Juaro 14

JAI buru-buru naik pohon manggis. Dia nongkrong di dahan pohon manggis yang paling tinggi. Bret! Par! Bret! Par! Bret! Bret! Tai Jai berserakan di gundukan serbuk gergajian kayu. Tainya seakan menantang pemilik depot kayu, Ali Akbar, yang sering memarahi anak-anak karena bermain sepakbola di depotnya. Untungnya, sore itu, Ali Akbar bersama keluarganya pergi ke luar kota, sementara seorang pegawainya yang disuruh menjaga depot tertidur di bangku.
Tetangga Ali Akbar sering melihat aksi mising anak-anak di kampung itu. Mereka tidak peduli dengan perilaku anak-anak itu. Cuek. Mereka justru merasa senang sebab suara mesin gergaji kayu milik Ali Akbar membuat mereka terganggu. Bising. Berulang mereka protes kepada Kepala Kampung agar depot itu dipindahkan. Tetapi, protes warga kampung itu tidak digubris Ali Akbar. Konon dia melawan karena bisnisnya itu didekeng sejumlah aparat keamanan.
“Oi gilo! Kalu nak mising, turun, Kagek kau dikapak wong, ado penjagonyo,” teriak Jamil, kawan Jai, di seberang Sungai Sekanak, salah satu anak Sungai Musi.
“Jai! Kita maen bola bae. Turunlah cepet,” kata Jamil.
“Pe!” sahut Jai bergegas turun dari pohon manggis.
Kedua anak itu kemudian mengajak Iman dan Sarif bermain sepakbola dengan anak-anak Bukitkecil. Mereka berempat bertetangga, dan dikenal sebagai anak paling nakal di kampung itu; Cempaka Dalam. Tidak ada anak di Cempaka Dalam yang berani berkelahi dengan mereka.
“Pukul bae rainyo! Biar dio tau raso,” kata Jai, memprovokasi Iman yang marah kepada seorang anak dari Bukitkecil yang menjadi lawan mereka dalam bermain sepakbola.
Gara-garanya ketika Iman sudah sedikit lagi menggiring bola ke dalam gawang, untuk menciptakan gol, anak itu menarik kaos Iman sehingga terjatuh.
Iman yang berambut keriting itu pun menghajar muka dan perut lawannya. Sekian detik kemudian si anak itu menangis dan lari pulang ke rumah. Tak lama kemudian bapak si anak datang sambil membawa sebilah parang.
Melihat ancaman itu keempat sekawan itu lari terbirit-birit. Tetapi, bola milik Sarif tertinggal.
“Oi, berenti. Bolaku ketinggalan,” kata Sarif.
Keempat sekawan itu menyaksikan bola Sarif dicincang dengan parang oleh bapak si anak yang dihajar Iman. Melihat itu, Sarif seperti ingin menangis.
“Kagek malam kito gaweke, kau tenang bae, dak usa nangis,” kata Jai menghibur Sarif.
Malamnya mereka melakukan aksi balas dendam. Aksi balas dendam mereka membuat warga kampung Bukitkecil menjadi panik; mereka membakar rumah orangtua anak yang dihajar Iman. Untungnya hanya dapur rumahnya yang terbakar, lantaran apinya keburu dipadamkan warga kampung.
Malam itu hingga paginya, Jai, Sarif, Iman, dan Jamil, bersembunyi di kandang kambing, yang terletak di kolong rumah panggung orangtua Jai. Mereka senang tetapi juga ketakutan.
Beberapa tahun kemudian, saat remaja, keempat sekawan itu menjadi bandit. Mereka selain menguasai Cempaka Dalam, juga merajai Pasar 16 Ilir.

Juaro 13

SIAPA Mat Pilis? Sejak anak-anak,Mat Pilis sudah hidup di Pasar 16 Ilir. Dia minggat ke Palembang lantaran kedua orangtuanya mati dibantai perampok di dusunnya di Tanjungraja, Ogan Ilir. Sekitar 60 kilometer dari Palembang.
Saat kali pertama di Pasar 16 Ilir, dia bekerja membantu para pedagang ikan. Dia pun tidur di pasar itu.
Ketika remaja, Mat Pilis yang senang berkelahi, akhirnya menjadi pemalak para petani dan nelayan dari pedalaman yang menjual dagangannya dengan menggunakan perhu di Pasar 16 Ilir.
Keenakan menjadi pemalak, Mat Pilis yang kemudian memunyai anak buah, berbuat semaunya di Pasar 16 Ilir, termasuk memerkosa istri nelayan atau petani.
Lalu, entah bagaimana ceritanya, Mat Pilis terserang penyakit kelamin. Orang-orang di pasar itu menyebutnya penyakit “Raja Singa”. Dan, meskipun sudah dibawa ke mantri atau dokter, penyakit tersebut tidak sembuh-sembuh. Bahkan, penyakit itu bukan hanya menyerang kelamin Mat Pilis, melainkan juga ke seluruh tubuhnya.

Jumat, 16 Januari 2009

Juaro 12

API kian membesar. Satu per satu los dan toko di Pasar 16 Ilir Palembang terbakar. Jai, seorang preman, buru-buru ke lokasi kebakaran. Bukan mau menolong petugas pemadam kebakaran. Dia menemui temannya, Mat Pilis, yang terduduk di bawah tangga belakang pasar.
Di bawah kegelapan malam dan kilatan lidah api, kedua mata Mat Pilis terus mengeluarkan air. Jari-jari kedua tangan dan kakinya yang membusuk terus mengeluarkan nanah. Amis. Kedua kakinya lumpuh. Dia tak mampu meninggalkan pasar yang sebentar lagi menjadi arang itu.
“Pilis, kau nak kupindahkan. Sebentar lagi api ke sini,” kata Jai sambil menyodok tubuh Mat Pilis dengan sebuah balok kayu.
“Oi, kau Jai. Biarlah aku mati bae. Sanak katik, dulur dak katik. Katik guno aku idup. Kalu kau nak nulung aku, untalke aku ke dalam api itu.”
Jai tersentak. Tapi dia kemudian berpikir sebaliknya.
“Kau ikhlas apo? Aku dak galak nanggung dusonya.”
“Aku ikhlas. Daripado aku idup menderita, lebi baek aku mati. Aku terimo. Katik lagi nak nulung aku. Kau tula.”
“Aku nak cari wong dulu.”
Tak lama kemudian Jai datang bersama seorang petugas pemadam kebakaran.
“Ngapo, Pak?”
“Wong ini minta diuntalke ke api.”
“Ngapo nak cak itu. Gilo apo. Manusia apo bukan…”
“Manusio nian. Belorila kalu dak pecayo.”
Petugas itu menyenter wajah, tangan, dan kaki Mat Pilis. “Masya Allah… payolah.”
Jai dan petugas itu mendobrak pintu besi sebuah toko yang terbakar di seberang tempat Mat Pilis terduduk.
“Mat, ikuti aku. Bismillah, Allah Akbar, Allah Akbar…,” kata Jai hendak mengangkat tubuh Mat Pilis yang terasa ringan itu.
Tapi, bluk. Api dengan cepat melalap tubuh Mat Pilis. Petugas pergi. Jai hanya bisa menyaksikan tubuh temannya terlalap api. Tos! Terdengar suara dari arah kepala Mat Pilis yang pecah akibat terbakar. Api berwarna hijau kemerahan menjunjung sekian detik.
Jai meninggalkan temannya yang menjadi abu, juga Pasar 16 Ilir.
Pada awal tahun 1990-an, di atas lahan terbakar itu, dibangun kembali Pasar 16 Ilir. Kemudian sebagian besar losnya kosong, dan hanya beberapa los yang diisi pedagang pakaian bekas dari luar negeri. Kemudian sebagian pindah lantaran sepi pembeli.
Dimulai awal 1990-an, pertokoan dan ruko di Palembang tumbuh ibarat jamur. Namun, tidak jelas dari mana uang para pengusaha yang membangun pertokoan dan ruko itu. Mereka ibarat makhluk asing dari luar angkasa.
Jelasnya, mereka yang sebelumnya tidak dikenal di kalangan pengembang bangunan, tiba-tiba muncul dengan modal yang cukup besar.
Saat membangun pertokoan atau ruko,si pengembang sangat tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Banyak sekali tanah rawa-rawa—yang selama ini menjadi daerah resapan air—ditimbun, dibangun, tanpa membuat saluran pembuangan air.

Juaro 11

JALAN Jenderal Sudirman Palembang. Awal Mei 1998. Harga kebutuhan pokok terus menanjak, pengangguran bertaburan ibarat buah mangga yang jatuh dari pohon, dan kekerasan di dalam rumah tangga merupakan cerita biasa sehari-hari, yang menjadi jualan utama media massa.
Suhu sekitar 36 derajat celcius menyelimuti kantor LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Swarna Bhumi. Kantor lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu terletak pada sebuah rumah toko berlantai tiga. Dedaunan pohon akasia di depan kantor itu bagai lukisan, tidak bergoyang. Puluhan anak sekolah antre membeli es parut dan sebagian makan pempek di warung di bawah pohon itu.
Asap rokok dari berbagai merek keluar dari mulut dan hidung peserta rapat. Seorang mahasiswa, Sofyan namanya, berdiri. Kepada peserta rapat dia berkata menjamin mahasiswa Universitas Balaputra Dewa akan turun ke jalan, mengawali gelombang aksi di Palembang menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden Indonesia. Sofyan adalah ketua senat salah satu fakultas di perguruan tinggi itu.
“Aku jamin 500 mahasiswa akan turun,” kata Sofyan mencoba menyakinkan peserta rapat.
Sofyan gampang dikenali lantaran rambutnya keras, berdiri, dan jarang. Suaranya pun lantang meskipun dia sulit mengucap “r”.
Tandu, yang sejak awal rapat menginginkan adanya dukungan dari mahasiswa di Palembang dalam gerakan menumbangkan Soeharto, tersenyum puas.
“Pecak itu. Itu baru namanya mahasiswa. Awak senang sekali,” kata Tandu.
Tandu adalah seorang dosen Universitas Idayu Palembang. Rambutnya nyaris habis, tinggal beberapa helai di batok belakang kepalanya. Lantaran bentuk wajahnya yang persegi, hidungnya yang rendah dan lebar, serta sorot matanya yang tajam dan selalu menyebut kata “awak” untuk menunjukkan dirinya, dia sering dikira wong Tapanuli setiap berkenalan dengan seseorang. Padahal kedua orangtuanya kelahiran Muaraenim, daerah kelahiran Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri, putri sulung presiden pertama Indonesia, Soekarno.
Tandu termasuk dosen yang paling sering mangkal di LBH Swarna Bhumi. Hampir setiap hari dia terlibat diskusi, entah dengan mahasiswa, dosen, pengacara, pekerja seni, petani, aktivis LSM atau buruh.
Sofyan tersenyum puas, lalu, meminta sebatang rokok dari Tandu.
“Sofyan kau jamin nian massa besok tu?”
“Kujamin! Jangan khawatir, Kak Tandu.”
Hari itu ada tujuh orang yang ikut rapat, yakni dua pengurus LBH Swarna Bhumi, seorang dosen, seorang seniman, seorang wartawan, serta dua mahasiswa Universitas Balaputra Dewa. Mereka menyusun agenda aksi menuntut Soeharto turun. Diputuskan dalam rapat itu, aksi dimulai dari kawan-kawan mahasiswa kemudian elemen masyarakat lainnya, seperti buruh, kaum tani, seniman dan kalangan pengacara.
“Aku tidak yakin Sofyan mampu menurunkan massa sebanyak itu. Dio tu besak kelakar bae,” kata Cucok kepada Beben.
“Yo, la. Kagek aku minta Putra mempersiapkan aksi di Sirahpulau Padang. Mungkin dio lebih mampu. Dio tu pintar nian ngumpuli wong,”
Cucok dan Beben adalah pengurus LBH Swarna Bhumi. Sementara Putra, adalah mahasiswa Universitas Balaputra Dewa yang dikenal Beben lantaran sering mengundangnya berdikusi.
Besok paginya, sekitar pukul 09.00, Sofyan cuma berkelakar sebab tidak ada aksi ratusan mahasiswa Universitas Balaputra Dewa di kampus Pakjo, seperti yang dijanjikannya.
“Kawan-kawan banyak ke kampus Sirahpulau Padang. Mungkin kagek siang banyak ngumpul dan kami langsung turun lagi ke jalan. Jangan langsung nuduh aku dak benar,” bela Sofyan.
Sementara di kampus Universitas Balaputra Dewa di Sirahpulau Padang, Ogan Komering Ilir, atau sekitar 50 kilometer dari Palembang, seribuan mahasiswa berunjukrasa.
Aksi dimulai dari Putra yang berdiri di atas kap sebuah mobil Toyota, mengelilingi kampus, memegang sebuah megaphone lalu mengajak mahasiswa berunjukrasa sambil meneriakkan “reformasi” dan “gantung Soeharto”.
Tidak sampai setengah jam, Putra yang berpostur kecil, mampu mengajak sekitar dua ribuan mahasiswa berunjukrasa dengan mengelilingi kampus mereka, yang luasnya sekitar tiga hektare. Besoknya, semua harian lokal di Palembang memberitakan aksi mahasiswa tersebut.
Keberhasilan Putra mengerahkan ribuan mahasiswa membuat dirinya dikenal mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Palembang. Penggemar Pink Ployd itu menjadi inspirator aksi para mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di Palembang.
Sejumlah dosen dan petinggi di Universitas Balaputra Dewa membenci Putra. Tetapi, sikap para dosen itu wajar. Sebab, biar bagaimanapun, sebagian besar universitas negeri di Indonesia saat itu, harus tunduk pada “Cendana” atau si penguasa tunggal Soeharto.
Mungkin karena Soeharto akhirnya tumbang, Putra pun dapat menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2002.
Selama proses gelombang aksi menuntut Soeharto turun, para intelijen, baik intelijen polisi maupun tentara, terus memantau gerak-gerik Putra dan kawan-kawannya. Bahkan, beberapa mahasiswa dari setiap perguruan tinggi di Palembang dikabarkan dirangkul intelijen menjadi informan.
Tujuan para intelijen itu jelas, yakni untuk mengetahui informasi gerakan mahasiswa di Palembang.
“Aku dengar mereka dikumpulkan di Hotel Bintang Biru. Mereka dikasih handphone, voucher, dan diberi uang saku, jugo dijanjike nak dikasih duit bulanan,” kata Melati seperti berbisik kepada Putra.
Putra menarik napas dalam-dalam. Dia berdiri, melihat keluar dari jendela kamar kosnya.
“Malam ini kito rapat di sini. Undang semua kawan,” kata Putra.
Melati mengangguk, lalu, bergegas pergi.
Malam itu, Putra dan kawan-kawannya membagi tugas menempel setiap mahasiswa yang diduga menjadi informan intelijen polisi dan tentara. Setiap penempel, menyesatkan semua informasi mengenai gerakan mahasiswa di Palembang, misalnya soal jadwal aksi, tempat rapat, dan isi tuntutan.
Cara menempel itu cukup berhasil. Sampai Soeharto jatuh, para mahasiswa di Palembang tidak ada yang ditangkap atau menjadi korban kekerasan aparat keamanan.

Juaro 10

“LEMAK bae! Ngomong kalu katik duit. Pokoknya bayar. Tenga duo. Apo nak kuaduke samo Jaki. Habis kau dibunuhnya,” kata si perempuan.
“Aku nih baru keluar dari penjaro. Aku dak katek duit. Kagek besok aku bayar. Aku balek dulu. Pecayola,” kataku.
“Idak pacak, bayar sekarang. Sepertinya kau ni minta kuaduke ke Jaki. Biar tau rasonyo. Jaki! Jaki!”
Ternyata Jaki adalah lelaki kurus yang berkumis tebal itu. Dia adalah bandit di Taman Nusa Indah yang juga germo si perempuan. Jaki cukup ditakuti di taman itu sebab dia sering menusuk orang, dan tidak sedikit yang mati.
“Kalu kau dak katik duit, buka baju dan celanamu. Kalu dak galak kito begoco bae sampai mati. Cak mano?” kata Jaki.
“Tolonglah, Pak. Aku kagek bayar, aku balik dulu bae. Pecayola aku kagek ke sini nganterke duitnyo.”
“Oi, jadi kau nantang aku, yo?” kata Jaki lalu menerjang perutku. Sakit. Dia kemudian memukul wajahku. Sakit. Aku terhuyung. Dia kembali menerjangku tetapi meleset.
Dia mengeluarkan badik dari pinggangnya. Aku tersentak. Nyawaku terancam. Dan, seperti ada energi luar biasa aku mengambil sebuah batu sebesar genggaman tangan. Kukejar Jaki yang siap menikam dengan badiknya. Breet! Tos! Tanganku terluka, kepala Jaki pecah. Jaki roboh. Dia mengeram kesakitan.
Puluhan banci, lonte dan pengunjung taman itu menatapku. Perempuan itu menghilang entah ke mana. Beberapa orang menyuruhku cepat pergi. Sebab, jika teman-teman Jaki dating, aku akan habis dijahar mereka; tidak ada yang dapat menyelematkan nyawanya.
Aku pun berlari, melompati pagar taman itu. Berlari sekencangnya di atas Jembatan Ampera. Darah berceceran dari tanganku. Aku hampir pingsan saat sampai di rumah orangtuaku. Gelap.
Ternyata lonte itu bersama dua anaknya mengontrak sebuah kamar di kolong rumah orangtuaku. Kami berbaikan. Kami pacaran. Lalu, beberapa bulan kemudian aku menikah dengan lonte itu. Namanya Halimah. Kedua orangtuaku tidak tahu Halimah adalah lonte. Dia piker, Halimah berjualan sayuran di Pasar 16 Ilir, seperti pengakuannya saat pertama dia mengontrak.
Lantaran aku masih menganggur, Halimah tetap melonte. Baru setelah aku menjadi penarik perahu ketek, setahun kemudian, Halimah berhenti menjadi lonte.

Selasa, 13 Januari 2009

Juaro 9

HUJAN yang turun sejak pukul tiga sore, sehabis magrib mulai berhenti. Bulan belum menampakan diri. Sebagian Kota Palembang belum menyalakan lampu. Sementara rombongan Bung Amat bergegas pulang dengan naik becak.
Bung Amat adalah penjual “obat kuat” yang mangkal di Taman Nusa Indah. Dalam berjualan Bung Amat selalu mengumbar cerita seks sehingga ramai orang mengelilinginya. Maka, tak heran Bung Amat sama populernya dengan petinju Muhammad Ali, saat itu.
Bau amis, apek keluar dari parit dan tumpukan meja penjual sayur di bawah pohon akasia. Perempuan itu tertidur di atas beberapa lembar kertas kardus. Dia mengenakan kaos berwarna merah dan celana dasar warna coklat. Sebagian kaus yang dipakainya basah karena tersiram air hujan. Mulutnya menganga. Puluhan lalat mengelilingi wajahnya. Rambutnya yang panjang, berwarna kecoklatan tampak kusut karena debu dan sinar matahari. Suara kendaraan yang lalu lalang di Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) tidak membuatnya terusik.
Aku terus menatapnya di bawah sinar lampu Taman Nusa Indah yang kekuningan.
Bulan mulai menampakkan dirinya. Aku memperhatikan buah dadanya yang cukup besar. Birahiku naik. Ingin rasanya kuremas dan kucium buah dadanya itu.
Pada masanya, Taman Nusa Indah merupakan satu-satunya taman yang dapat dikunjungi masyarakat Palembang untuk mencari ketenangan atau hiburan pada siang hari. Bagi mereka yang berasal dari luar kota, Taman Nusa Indah adalah tempat yang ideal untuk berfoto. Jadi tak heran, di taman itu dipenuhi para fotografer amatir.
Gaya berfotonya pun hampir seragam. Bagi perempuan yang ingin berfoto, disarankan si fotografer amatir untuk memegang daun atau bunga di taman, meniru gaya para artis film India di majalah Detektif & Romantika. Sementara buat laki-laki, dilarang keras untuk menatap kamera secara langsung; disarankan menatap ke samping seakan tidak tahu kalau tengah difoto.
Dan, pada malam hari taman ini menjadi surga para lonte dan waria.
“Hei! Kalu nak make dio, ngomong dulu dengan aku. Bukan asal comot,” kata seorang lelaki di belakangku, yang membuat tanganku berhenti sekitar tiga centimeter dari buah dada si perempuan itu.
“Maaf, Pak. Maaf,” kataku terus menjauhi perempuan dan lelaki bertubuh kurus, berkumis tebal, yang mengenakan jaket kulit ketat warna hitam itu.
Aku duduk di bawah sebuah pohon sekitar 20 meter dari mereka. Di dekatku, seorang waria tengah bercumbu dengan seorang lelaki.
Kulihat perempuan itu dibangunkan oleh lelaki yang tadi menegurku. Mereka berbicara dan si lelaki menunjuk ke arahku. Perempuan itu berusaha menatapku sambil mengusap kedua matanya. Dia tertawa kemudian menaikan kedua tangannya seperti menarik napas. Buah dadanya tampak menonjol. Birahiku kembali terusik. “Sialan!”
Sementara di balik rimbunan kembang, si banci kaleng tampak sibuk memuaskan lelaki yang merayunya tadi. Birahiku naik. Aku meludah ke telapak tanganku, lalu…kupejamkan mata.
“Oi, Kak, buat apo begawe dewek. Dak lemak,” kata perempuan yang buah dadanya hampir kuremas saat dia tertidur tadi. Aku kaget. Aku berdiri dan pergi menjauhinya.
“Ngapo pergi! Dak galak dengan aku,” katanya sambil memegang tangan kananku. Aku diam dan membiarkan tangannya menggerayangiku.
“Lemak kan,” katanya.
Mataku terpejam.
Selanjutnya aku menjadi anak kucing yang baru lahir. Aku bahkan tidak peduli mulutku mencium kurap yang berada di ketiaknya. Bagai roket aku terbang cepat, meledak kuat ketika menyentuh langit.

Juaro 8

TAUFIK duduk di bangku warung Bicek Ida. Matanya penuh harap menatapku.
“Besok bae. Abah dak dapet duit,” kataku.
Seekor kucing kurapan berwarna hitam menabrakku. Kutendang tapi tidak kena.
“Na kan, abah tu kalau untuk minum, ado. Tapi, kalu untuk biaya sekolah anaknya, dak katik tula,” kata Taufik.
“Pilat ini, sudah dikatoke katik masih bantahan. Kito ni wong saro, bukan wong kayo. Sekolah pulo mahal nian. Gigolo galo guru sekarang ini. Tau kau gigolo? Gilo galo tau. Dikit-dikit nak duit. Tiap bulan ganti buku. Wajar, uji wong tu, guru kencing berdiri murid ngencingi guru. Bukan ilmu yang diturunke. Samo bae guru dengan linda. Tau dak linda? Lintah darat.“
Taufik tertunduk diam. Kedua telapak tangannya saling meremas. Lalu, dia pergi dengan kepala tetap tertunduk.
Aku masuk ke rumah, membusungkan dada. Aku seperti baru saja memenangkan sebuah pertarungan. Aku menabrak bantal dan kasur, berlari memasuki lorong tidur. Istriku yang tadinya sibuk mencuci mencoba mencegahku tidur dengan berteriak-teriak. Tetapi, dia gagal mencegahku, termasuk suara perahu ketek dan kapal cepat yang melintas.
Selama tidur puluhan bidadari memeluk dan menciumku. Tubuh mereka terasa sejuk dan wangi. Dalam tidurku tak ada air Sungai Musi yang memuakkan itu, tak ada sinar matahari yang dapat membuatku menjadi ikan asin, tak ada ikan juaro yang membuatku kehilangan berton-ton tai.
Lima jam kemudian, aku ditarik dari lorong tidur. Orang-orang berdatangan ke rumah kami. Istriku menangis meraung-raung. Beberapa kali istriku pingsan. Taufik bunuh diri dengan cara terjun ke Sungai Musi. Dia terjun ke Sungai Musi bersama sekantong batu koral yang diikatkan ke tubuhnya.
Rumah rakit kami bagai disapu ombak laut. Terhempas dan pecah. Dia menulis surat buatku yang dimasukan ke dalam tas sekolahnya: “…Abah, aku memang bukan anak kandungmu. Daripado aku nyusake, lebih baek aku mati bae. Itung-itung ngurangi kesulitan keluarga kito….”
Tetangga kami, Dollah, secara tidak sengaja mendapatkan jasad Taufik yang tersangkut di jala ikannya.
Berhari-hari istriku tidak lepas dari tangisan. Aku berutang banyak minuman anggur dengan Somad. Dan, setiap malam aku mengutuk presiden, menteri pendidikan dan para guru. Selama dua bulan, lebih aku tak mampu meraba dan melihat kemaluan istriku.

Juaro 7

SUDAH dua cangkir anggur cap Kuntji kuteguk. Kantongku belum pula berisi uang. Kepalaku mulai berat. Kedua pipiku rasanya menebal. Wajah Somad yang menjual anggur itu tampak berbayang, bergoyang seirama lagu dangdut remix Cup Mutung milik penyanyi Palembang, Filus, yang mengalun dari radio miliknya.
…cup, cup mutung
balik keTanggbuntung
cup, cup mutung
meleng keno pentung
cup, cup mutung
banyak rumah mutung
cup, cup mutung
aku minta tulung…
(Minta waktu, pulang ke Tanggabuntung. Minta waktu, tidak hati-hati kena pukul. Minta waktu, banyak rumah terbakar. Minta waktu, aku minta tolong)
Setiap mendengar lagu dangdut—aliran musik yang berkembang di Indonesia yang didominasi pukulan gendang—aku selalu teringat dengan Pomo, teman satu sel saat aku dipenjara. Pomo adalah seorang penyanyi dangdut.
Saat bernyanyi di dalam sel, dia memberikan kesejukan kepada para tahanan yang jelas sangat kesepian.
Untuk menjadi seorang penyanyi, sejak kecil Pomo belajar bergitar dan main gendang. Pomo pun banyak menghafal lagu-lagu dangdut dan melayu.
Menurut Pomo seorang penyanyi yang baik harus memiliki banyak pilihan lagu saat bernyanyi. Penyanyi harus dapat melayani setiap lagu yang diminta penonton atau penggemarnya.
Banyak perempuan yang menyenangi Pomo dan berharap menjadi kekasihnya. Daya tarik Pomo memang bukan hanya dia seorang penyanyi. Tubuhnya yang atletis—untuk ukuran orang Indonesia—dan wajahnya yang tampan membuat banyak perempuan tergila-gila. Tetapi, tidak seorang pun dari mereka—termasuk para perempuan di bumi ini—yang disukai Pomo.
Tubuh yang atletis, wajah tampan, dan menjadi penyanyi terkenal di Palembang, tidak membuat Pomo bahagia. Cintanya dikhianati kekasihnya, seorang pengusaha pakaian dan barang antik, yakni Burman. Dia pun harus mendekam beberapa tahun di penjara.
“Cemburuku besar nian. Saat aku melihat Burman bercumbu dengan Dudung di salon Meri, aku jadi panik. Pandanganku gelap. Aku mengamuk dan membacok mereka berdua sampai mati. Memang sebelumnya aku hanya mendengar isu bae. Jadi, saat melihat mereka berdua bercumbu, aku ibarat ditindih sebuah mobil,” katanya suatu kali, “sebenarnya sampai saat ini aku masih mencintai Burman.”
Setelah menceritakan itu Pomo diam. Kedua matanya memerah dan perlahan mengeluarkan air mata. Aku tak kuasa melihat kesedihannya itu. Tubuhnya kupeluk erat.
Pelukan itu sama seperti pelukan terakhir kami sebelum aku meninggalkan penjara; menghirup udara kebebasan, dan meninggalkan dirinya yang masih menjalani hukuman. Setahun setelah aku bebas, aku baca dari sebuah koran, Pomo bunuh diri dengan menggantung diri di dalam sel.
Kuteguk secangkir lagi anggur Kuntji. Kini, mereka yang berada di dalam rumah panggung, yang rata-rata tampak mau roboh, kubayangkan kian menjadi miskin, sehingga tidak satu pun pohon mau tumbuh di Lorong Aman ini. Yang ada hanya puluhan tikus, lipas, kucing, nyamuk, serta tumpukan sampah, menghiasi Lorong Aman. Sedangkan paritnya dialiri air hitam, kental, beraroma pesing, apek dan amis. Hanya siaran televisi yang menghibur warga lorong Aman; acara yang menampilkan dunia hantu atau dunia gaib adalah pilihan utama.
“Bisa idak aku ni menjadi wong kayo? Kalu biso, kau kagek kujadike sopir pribadiku,” kataku. Somad tersenyum.
“Semuanyo biso. Tuhan itu adil, Cek.”
Biarpun berjualan minuman keras, Somad ini mempunyai kesadaran yang kuat soal kebesaran Tuhan. Dia pun tidak pernah minum anggur atau bir. Pernah kutanyakan, mengapa dia berjualan minuman keras padahal dia tahu minuman keras itu haram. Somad mengaku itu demi kebutuhan hidupnya. Kalau hanya mengandalkan penghasilan dari berjualan rokok dan permen, menurutnya, tidaklah mungkin. Keuntungannya tidak cukup buat makan sehari, katanya.
Sepintas lalu Somad mirip pelawak Ateng yang terkenal itu. Cebol. Bedanya kaki kanan Somad cacat. Ketika kanak-kanak, kaki kanannya itu patah tiga karena ditabrak Jeep Willis saat mengejar layangan putus.
Aku tertawa. Tetapi, kantongku belum juga berisi uang. Kepalaku kian terasa berat, apalagi Taufik sudah beberapa kali minta uang untuk bayar iuran dan uang ujian sekolahnya. Aku teguk anggur secangkir lagi.
“Somad! Kira-kira bisa idak aku menjadi wong kayo?”
Somad mendekatiku.
“Sudah jam satu, balikla. Bini kau kagek ribut.”
Aku kembali bertanya kepada Somad, “Bisa idak aku menjadi wong kayo?”
Ini kali Somad diam. Aku terus bertanya. Kantongku belum juga berisi uang. Tuhan yang dikatakan Somad itu entah di mana. Sampai pagi aku terus bertanya. Sendirian mengiringi Somad yang tertidur dan menyambut sebagian warga lorong Aman pergi ke Pasar 16 Ilir. Menjadi kuli, menjadi penjual sayur, dan menjadi pencopet.

Minggu, 11 Januari 2009

Juaro 6

SETELAH menjelaskan semua persoalan, kedua orangtua istriku menarik napas hampir bersamaan. Mata mereka menatap tajam kepadaku. Abahnya berdiri.
“Aku setuju kalian bercerai. Aku memang tidak suka dengan kau. Terus terang saat mau mengawinkan Siti dengan kau, aku ragu. Gaji awak kecik. Pasti nyusake bae. Ya, sudah. Banyak lanang yang galak dengan Siti meskipun jando!”
Aku sama sekali tidak menyangka ucapan itu keluar dari mulut abah istriku. Emosiku memuncak. Meja yang berada di depanku secepatnya kuangkat, kupukulkan ke kepala abah istriku itu; berulang kali. Gelap.
Istriku dan ibunya menangis dan berteriak minta tolong. Aku terdiam. Sekujur tubuhku seperti disiram air es.
Puluhan orang menatapku saat aku menuruni tangga rumah mertuaku. Sebagian dari mereka, kulihat ada yang membawa senjata tajam. Istriku dan ibunya menangis dan memakiku, “Iblis!”, “Anjing!”.
“Tolong anterke aku ke kantor polisi,” kataku kepada puluhan orang itu. Entah kenapa, mungkin lantaran permintaanku itu beberapa orang yang membawa senjata tajam tidak menyerangku padahal tidak sedikit di antara mereka kerabat istriku.
Kini, aku tahu kenapa mereka tidak menyerangku saat itu. Ternyata keluarga Siti sangat tidak disukai tetangga maupun kerabatnya. Abahnya dikenal angkuh, ibunya suka mengejek serta merendahkan orang lain, dan Siti sendiri suka menyombongkan kekayaan orangtuanya.
Dapat diduga, aku diberhentikan sebagai pegawai negeri. Sementara pengadilan memvonisku tujuh tahun penjara. Dari rumah tahanan di Jalan Merdeka hingga ke lembaga permasyarakatan di Pakjo.
Beberapa orang yang kukenal tidak menyangka hukumanku seberat itu. Menurut mereka, dengan sikapku yang segera menyerahkan diri kepada polisi setelah peristiwa itu, serta perbuatanku bukan pembunuhan berencana, hukuman yang kuterima seharusnya lebih ringan.
Memang, selama proses penyidangan aku tidak pernah menyogok siapa pun. Baik kepada jaksa maupun hakim. Jika pun mau, aku dan keluargaku sama sekali tidak mempunyai uang. Yang kudengar, justru Siti yang menyogok—tidak tahu untuk siapa—meminta agar aku dihukum seberat-beratnya.
Selama di penjara aku disegani tahanan lain. Mereka segan sebab aku dipenjara karena membunuh orang. Jika memerkosa mungkin aku menjadi bulan-bulanan tahanan lain. Meskipun demikian selama dipenjara aku berperilaku baik. Aku tidak pernah membuat onar. Makanya aku yang seharusnya ditahan selama tujuh tahun, dibebaskan setelah enam tahun dipenjara.

Juaro 5

“KAWIN dengan kau ni dak katik lemaknyo. Kau ini hanya modal titit bae,” kata istriku.
Mendengar ucapan istriku itu, aku bagai dituduh mencuri dan ditampar seorang polisi. Sungguh, aku benar-benar terkejut karena sebelumnya istriku tampak sabar dan pendiam. Namun, aku tidak dapat membantah ucapannya itu. Hari itu aku tidak masuk kerja dan seharian merenungkan perkataannya.
Kesimpulanku, bukan hanya keinginan memiliki anak yang menyebabkan istriku berkata seperti itu. Persoalan keluargaku yang hidup miskin dan secara ekonomi sangat bergantung kepada kami, mungkin yang menyebabkan dirinya tertekan. Aku yakin, tidak satu pun anak dari keluarga kaya dapat bertahan lama jika menikah denganku. Apalagi, perkawinan itu bukan didasarkan oleh rasa cinta.
Malamnya. “Kalau awak memang idak tahan lagi dengan aku, aku anterke ke rumah abahmu,” kataku.
“Ya, aku memang idak tahan lagi. Aku benci dengan awak. Aku benci dengan keluarga ini,” katanya. “Bila kupertahankan keluarga kito dan hidup seperti ini, kito takkan berubah. Kito akan terus seperti ini, menjadi sapi perahan mereka. Jadi sudah saro kito nak bertahan.”
Orangtuaku terbangun. Pintu kamar mereka dibuka.
“Payola, aku antar malem ini.”
Bergegaslah istriku mengemasi barangnya sambil menggerutu.
Aku keluar kamar. Kulihat abah dan ibu duduk di kursi rotan bersama beberapa saudaraku. Wajah abah dan ibuku pucat, dan mereka tampak susah menarik nafas.
“Mungkin memang kami dak cocok. Aku rela bila dio nak minta cerai,” kataku. Mereka diam dan mematung seperti barisan tentara yang mau difoto.
Istriku bergegas pergi dengan hentakan kedua kakinya ke lantai. Nyelonong, tanpa memberi salam kepada orangtua dan saudaraku.
“Oi, sopan sedikitlah!” teriak Susi, istri kakakku, kemudian mengejarnya. Tampaknya istri kakakku itu ingin sekali menarik rambutnya dan mencakar wajahnya.
“Aku idak galak lagi tinggal di sini! Nyusake aku galo,” kata istriku terus berlari ke jalan; seperti mengambil jarak dari kejaran Susi.
“Sudahlah, jangan dikejar. Ini urusan keluargaku,” kataku.
Meskipun tidak melihatnya, aku merasa beberapa tetangga kami terbangun dan mengintip dari jendela rumah mereka.
Dan, sebagian besar membenarkan diri bahwa perkawinan kami tidak akan bertahan lama.

Juaro 4

DULU, 25 tahun lalu, aku bukan penarik perahu ketek dan tidak pernah terpikir masa tuaku seperti sekarang ini.
Aku anak kelima dari tujuh bersaudara, yang satu-satunya bersekolah sampai SMA (Sekolah Menengah Atas). Aku pernah menjadi pegawai di Kantor Walikota Palembang; mengisi jatah mamangku yang pensiun.
“Hasan, ngapo awak belum jugo kawin. Banyak betino cindo kalu awak galak,” kata abahku.
“Aku dak galak wong kito. Banyak rasannyo.”
“Bukan soal rasannyo. Awak tu nak kawin dak? Kalu galak, Abah dan Ibo awak kagek carike.”
Abahku mengurut telapak kaki kanannya. Kutatap wajahnya yang penuh kerutan, hitam dan kedua pipinya kempot. Hampir semua rambutnya memutih. Sebagian bola matanya yang besar terdapat bercak-bercak putih. Sementara mulutnya tak pernah berhenti merokok. Rokok merek Jambu Bol yang aromanya menyengat cukup sudah membuat tubuhnya tetap kurus.
Untuk mengisi masa tuanya, abahku banyak menghabiskan waktunya di warung kopi milik Mamat, di seberang jalan dari rumah kami.
Di warung itu, abahku dengan orang-orang seusianya bekelakar. Dengan modal lima ratus rupiah, untuk membeli secangkir kopi dan beberapa iris pisang goreng atau pempek, mereka berkelakar 3-4 jam setiap hari. Semua yang digesahka, pasti berkaitan dengan kejayaan atau kekayaan yang pernah dimiliki mereka sendiri atau keluarga mereka di masa lalu.
Tema lainnya, yakni semua keburukan atau kejelekan orang. Memang, di akhir kelakar mengenai keburukan atau kejelekan orang lain, pada kasus tertentu mereka mengutip ajaran agama dan memvonis keburukan atau kejelekan itu sebuah dosa, yang tidak perlu ditiru.
Jika membicarakan seks, tidak satu pun dari mereka mengaku sudah tidak mampu atau menurun “kekuatannya” dalam melakukan hubungan seks. Mereka tetap ingin dikatakan orang muda jika dikaitkan soal itu. Abahku yang paling bersemangat membicarakan hal itu.
Aku masuk ke kamarku, berkaca. Beberapa uban sudah tumbuh di rambutku.
“Apa salahnya jika aku kawin.”
Kupikir wajahku tidak terlalu jelek. Bentuk wajahku lonjong, hidungku mancung, rambutku keriting, alis mataku tebal dan hitam. Hanya tiga gigi depan atasku sedikit keluar. Ya, tidak terlalu monyong. Tubuhku juga tinggi, berkulit putih kekuningan seperti ibuku.
“Ya, aku memang harus kawin.”
Dua bulan kemudian aku dikawinkan dengan Nyimas Siti Aisyah. Anak seorang pedagang kasur di Pasar 16 Ilir. Pesta perkawinan kami meriah, dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Hiburannya adalah pertunjukan Doel Moeloek dan orkes dangdut.
Terus terang derajat keluarga kami lebih rendah daripada keluarga istriku. Keluarga kami adalah wong Palembang tidak bergelar dan juga tidak mampu. Sementara istriku dari keluarga yang bergelar, yakni Kemas. Mereka juga adalah keluarga yang tidak miskin, turun-temurun sebagai keluarga pedagang.
Sementara aku, satu-satunya orang di keluargaku yang punya penghasilan tetap. Aku pun menjadi tulang punggung ekonomi keluargaku. Saudara-saudaraku sebagian menganggur dan sebagian kerja serampangan, apa saja kerjanya. Padahal, mereka semua sudah berkeluarga. Mereka tinggal di kolong rumah orangtuaku. Kolong rumah orangtuaku setinggi satu setengah meter itu dibangun enam kamar. Di setiap kamar, berkumpul satu keluarga.
Lantaran aku yang dianggap paling “mampu”, diberi jatah sebuah kamar di bagian atas rumah. Tetapi, kami tidak punya kamar mandi, kami hanya punya sebuah kakus. Kami semua mandi di tangga rumah yang menghadap ke Sungai Musi.
Mengapa kami disebut wong Palembang tidak bergelar? Nenek dari abahku sebenarnya wong Palembang yang bergelar Masayu. Tetapi, dia menikah dengan kakekku yang keturunan wong India. Jadi abahku tak punya gelar. Sementara ibuku bergelar Nyimas. Namun, gelarnya tidak dapat diturunkan lantaran menikah dengan abahku. Gelar bagi wong Palembang hanya dapat diturunkan melalui garis bapak.
Ada beberapa gelar buat wong lanang Palembang, yang diciptakan sejak Kesultanan Palembang Darussalam, seperti Raden, Kemas, Masagus, dan Kiagus. Aku tidak tahu mengapa begitu banyak gelar. Ada yang mengatakan, gelar itu diberikan sesuai tingkatan atau status sosialnya. Misalnya laki-laki atau lanang turunan kerabat dekat Sultan diberi gelar Raden, sedangkan turunan pedagang diberi gelar Kemas, turunan ulama diberi gelar Kiagus. Sementara gelar untuk kaum perempuannya, diberikan berdasarkan garis bapak, seperti Nyimas, Masayu, atau Nyayu.
Ah, persetan dengan gelar-gelar itu, pikirku. Aku tidak bangga sebagai wong Palembang, bergelar atau tidak. Saat ini, gelar-gelar itu tidak membuat seseorang menjadi kaya. Gelar-gelar itu justru membuat kehidupan si pemegangnya menjadi tidak bebas. Mereka merasa malu jika bekerja kasar, seperti menjadi penarik perahu ketek atau kuli bangunan. Mereka lebih baik menjual harta warisan keluarga seperti barang-barang antik atau rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dibandingkan menjadi sopir truk. Jika harta warisan habis, mereka pun menyingkir ke tepian Kota Palembang, misalnya ke daerah Sako, Kalidoni, Jakabaring atau ke Talangbetutu. Mereka menanggalkan gelarnya lalu bekerja apa saja.
Buat sebagian orang—meskipun tidak punya gelar—menjadi wong Palembang itu harus dibanggakan. Sebagai suku berdarah biru, peradabannya dinilai lebih tinggi dibandingkan orang-orang dari dusun, misalnya. Tetapi, aku tidak bangga akan hal itu. Sebab setelah kutelusuri, ternyata buyut ibuku adalah seorang perompak asal Tionghoa, yang ditangkap seorang pangeran dari Kesultanan Palembang Darussalam. Lantaran takut dihukum mati, dia bersedia menjadi hambah pangeran itu. Dia memeluk agama Islam. Setelah menikah dengan salah seorang kerabat Sultan, dia mendapat gelar kebangsawanan.
Mengapa Siti mau dikawinkan dengan aku? Jawabannya sederhana. Dia gadis tua sehingga harus cepat menikah. Saat menikah, umurku 36 tahun sedangkan dia lebih tua tiga tahun dariku.
Setengah tahun perkawinan kami, semuanya berjalan lancar. Bahagia. Tetapi, memasuki satu tahun usia perkawinan, rumah tangga kami mulai guncang. Salah satu penyebabnya kami belum punya anak. Istriku dua kali mengalami keguguran. Kata dokter dan kata dukun, rahim istriku yang bermasalah alias lemah.
Perhiasan yang dibawa istriku saat menikah, pemberian orangtuanya, satu per satu berkurang, dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga besar kami. Sebab, gajiku kian hari kian tidak mencukupi semua kebutuhan rumah tangga kami. Apalagi, saudara-saudaraku terus meminta bantuan kepada kami. Dari biaya untuk makan sampai biaya kelahiran anak mereka.
Mengatasi kebutuhan keluargaku itu, istriku terpaksa menjual perhiasannya sebab dia tidak mau disebut sebagai mantu atau ipar yang pelit.

Sabtu, 10 Januari 2009

Juaro 3

SAAT pagi kami sudah lupa dengan penangkapan Sulaiman. Piring plastik yang kubuang semalam ditemukan Taufik, di bawah kakus rumah Jon Syamsuddin.
Jon penarik perahu ketek seperti aku. Keluarganya juga hidup susah seperti kami. Tetapi, gayanya seperti orang kaya. Kalau merokok dia hanya mau merek Dji Sam Soe—satu bungkus rokok ini cukup membeli dua kilogram beras—dan kalau makan lauknya harus daging ayam.
Jadi, maaf nian, utang si Jon itu ibarat penyakit panu menyelimuti tubuhnya. Kerjanya, ya, setiap bulan minta jatah kepada adik-adiknya. Kebetulan bae, adik-adiknya bekerja enak dengan penghasilan yang besar; sebagai pegawai kantor gubernur, pegawai bank, dan rentenir.
“Bu, bu, bu…,” panggil Budi di depan pintu terus menadahkan tangan kanannya.
Halimah melambaikan tangan memberi isyarat tak ada. “Besok bae!” teriaknya.
“Uh, besok lagi,” keluh Budi.
Tubuh Budi bergoyang lantaran ombak besar menghantam dinding rumah kami. Budi bekerja di Koperasi Kasih Bangsa, yang kerjanya meminjamkan uang dengan bunga 20 persen. Halimah meminjam uang sebesar Rp 100 ribu untuk “bayaran” sekolah Taufik. Tetapi, dia hanya menerima Rp 80 ribu, sebab Rp 20 ribu untuk biaya administrasi. Setiap hari, istriku wajib menyetor Rp 5 ribu selama 24 hari.
“Aku nak besuk Man,” kata istriku. Dia membawa satu rantang plastik berisi nasi putih, sambal terasi dan beberapa potong ikan sepat siam goreng.
“Ni, aku titip rokok buat dio,” kataku, terus melempar selembar uang lima ribu rupiah.
Setelah Halimah pergi, aku nongkrong di kakus yang penampungan kotorannya adalah Sungai Musi. Kunikmati sebatang rokok. Udara cerah, mudah-mudahan hari ini aku mendapat banyak uang, pikirku. Sementara puluhan ikan juaro melahap habis setiap tai yang kubuang. Tidak peduli apakah taiku keras atau lembek. Mereka melahapnya sampai habis. Lantaran libidoku tidak tersalurkan semalam, aku pun beronani.
Sebenarnya, bukan hanya ikan juaro yang suka makan taiku. Ikan seluang termasuk yang menyukai taiku. Pun ikan lainnya yang berada di Sungai Musi, seperti patin, betino, gabus, atau udang.
Entah kenapa, hampir semua ikan yang suka makan tai atau buntang—baik binatang maupun manusia—rasa dagingnya gurih dan manis.
Dan, yang kuketahui, yang paling bernafsu memburu taiku hanya ikan juaro. Ikan-ikan lainnya sepertinya membiarkan sikap juaro ini. Tidak kumengerti, apakah ini karena mereka takut dengan juaro atau ikan-ikan lainnya pemilih. Artinya, tidak semua taiku meereka makan. Mereka hanya makan bagian tertentu dari taiku.
Sementara yang juga sangat tidak kumengerti, mengapa ikan pemakan tai ini disebut juaro, bukan disebut “ikan tai”. Nama itu terlalu gagah. Menariknya, bentuk kepala ikan ini hampir menyerupai wajahku yang lonjong dan monyong.
Ikan juaro adalah ikan yang hidup di permukaan, bentuknya seperti patin. Sebagian besar tubuhnya berwarna putih dan sebagian punggungnya hitam. Bagian kepalanya yang pipih itu dihias kumis di ujung mulutnya. Ada juga ikan yang agak sedikit mirip, yaitu baung. Selain bentuk fisiknya tak mirip-mirip betul sebab ikan ini lebih gemukan, si baung juga tidak senang makan taiku. Juaro paling senang hidup di tepian sungai, terutama di dekat pemukiman penduduk, tentu saja karena adanya tai manusia itu.

Juaro 2

“MIMU setengah mateng. Kompor kita mati. Minyak tanahnya habis,” kata Halimah, istriku. Menurut orang, tubuh Halimah kurus, wajahnya lonjong, hidungnya mancung, berambut panjang sampai ke bahu, berwarna kecoklatan. Sementara aku, saat ini tidak pernah lagi memperhatikan hal itu. Yang kutahu, setiap hari dia membersihkan kutu rambutnya serta sangat menyukai sinetron dan acara pencarian hantu di televisi.
“Mana bawang putihnya?”
“Ado sebiji, cari bae di kuahnya,” jawab Halimah yang kunikahi 7 tahun lalu dengan membawa dua anak. Aku selalu gagal membuahi rahimnya meskipun berbagai obat-obatan dan jamu telah kutelan.
Jika biaya yang kukeluarkan untuk membeli obat-obatan dan jamu itu ditabung, mungkin aku sudah mampu membeli satu sepeda motor buatan Cina. Dan, seumur hidupku, aku tidak pernah memiliki sepeda motor meskipun pernah kudengar Indonesia merupakan pasar terbesar penjualan sepeda motor, baik buatan Cina maupun Jepang.
Sebenarnya anak Halimah bukan dua, melainkan tiga orang. Ketiganya laki-laki. Menurut pengakuan Halimah, satu anak diambil saudaranya di Jakarta, sejak anak itu berusia 1,5 tahun. Sampai saat ini, putra keduanya itu belum pernah bertemu dengan kami. Dan, Halimah pun tidak mau membicarakan lagi tentang anaknya itu denganku. Aku juga tidak mengharapkan itu. Bukan tidak mungkin, jika Halimah kangen, dia mengambil kembali anaknya. Keinginan itu adalah neraka buatku. Mengurus dua anaknya saja, aku tidak mampu lagi memperhatikan tubuh Halimah yang dikatakan orang kurus. Cuma, aku tahu di mana letak kemaluan Halimah meskipun di dalam gelap.
Dor! Dor! Dor! Dor! Anak sulung istriku, Sulaiman namanya, terkapar di depan pintu. Rumah rakit kami bergoyang. Mi yang baru kuhirup kuahnya dua sendok sebagian tumpah.
“Aduh! Ampun, Pak! Ampun! Bukan aku… bukan aku, Pak. Ibo! Tolong aku!” teriak Sulaiman.
Tiga polisi berpakaian preman menyeret tubuhnya seperti menyeret sekarung beras. Istriku berlari keluar, berteriak agar anaknya jangan ditangkap. Sementara perasaanku, entah kenapa, sebagian besar merasa senang Sulaiman ditangkap.
Aku melanjutkan makan mi yang masih tersisa. Ya, Sulaiman memang tidak perlu lagi diurus sebagai anak. Berulang dia menyusahkan kami. Beberapa kali dia ditangkap karena kasus penjambretan dan penodongan. Istilahnya, Sulaiman itu bandit “lipas tanah”. Ibarat lipas yang menjijikan semua orang.
Bayangkan, beberapa hari setelah pernikahanku dengan ibunya, saat dia masih anak-anak, dia mencuri mainan milik anak tetangga kami. Saat menginjak remaja dia harus dipenjara lantaran mencuri burung beo milik seorang polisi, yang rumahnya persis di depan Lorong Aman—lorong menuju rumah rakit kami.
“Sudah aku bilang supaya cepat pergi dari Pelembang. Jadilah bandit besak. Pergi ke Malaysia, rampok wong kayo. Bukan jadi bandit yang mendep di rumah. Ya, itu duit tidak banyak tapi tetap ditembak. Untung tidak mati. Buat apa nak diurus lagi dio tu. Pusing...,” kataku, sambil membetulkan gulungan sarung yang kukenakan.
Istriku menangis. Mulutnya menggerutu. Listrik menyala. Ombak terus menghantam dinding rumah kami. Saat berbaring, air Sungai Musi beberapa centimeter dari mulutku.
Aku terjaga, beberapa tetangga datang ke rumah kami. Seperti tidak tahu siapa Sulaiman, mereka menampilkan wajah sedih, dan bertanya apa yang telah terjadi. Setelah dijelaskan, mereka berebutan mengaku bukan orang yang memberi informasi keberadaan Sulaiman kepada polisi.
“Ya, tidak apa-apa. Dio memang bandit.”
Mendengar perkataanku itu, Halimah menangis lagi.
“Dio bukan bandit tapi teman-temannya yang jahat, mengajaknya merampok.”
Aku tertawa mendengar pembelaan Halimah itu. Ibarat menyaksikan Doyok—seorang pelawak—mengaku pernah ditawari sebuah perusahaan film untuk main sebagai Superman.
“Dio jadi seperti itu karena awak jahat dengan dio. Cubo awak sayang dengan dio, perhatian, pasti dio tidak seperti sekarang ini,” kata Halimah.
Mendengar tuduhan itu, aku lemparkan piring plastik yang baru kupakai untuk makan mi ke Sungai Musi. Tetanggaku buru-buru pulang. Halimah terdiam. Dia berbaring, tak lama kemudian tidur.
Kami tidak bersetubuh.
Melakukan hubungan badan pada malam hari di rumah rakitku harganya mahal lantaran kami berempat tidurnya bercampur. Rumah rakitku hanya memiliki satu ruangan; tempat tidur merangkap ruang tamu dan ruang makan. Jadi, hanya pada Sabtu malam kami dapat melakukan hubungan suami-istri, saat kedua anak Halimah tidak berada di rumah—meskipun sebenarnya hanya Taufik yang selalu berada di rumah kecuali Sabtu malam.
Aku tidak dapat tidur. Nafsuku yang tertahan membuat kedua mataku tidak dapat dipejamkan. Semalaman kudengar riak ombak, suara perahu ketek, serta tawa beberapa orang yang bermain gaple di perahu jukung, yang ditambat tak jauh dari rumah rakitku.

Juaro 1

PERAHU tongkang melintas. Ombaknya menghantam dinding rumah rakit kami, mungkin untuk kesejuta kalinya. Sudah 15 menit aku memandang cahaya dari lampu laser yang ditembakkan dari atas Kantor Walikota Palembang. Cukup menarik. Satu jam listrik padam di dalam ratusan rumah di tepian Sungai Musi. Dada telanjangku mencari angin.
Sejak tahun 2003, penampilan Palembang mengalami perubahan. Dari kota yang sebelumnya dikenal gelap—bila dibandingkan dengan kota besar lainnya di Indonesia—Palembang berubah menjadi kota warna-warni pada malam hari. Ibarat di dalam sebuah ruangan diskotek.
Selain dipenuhi lampu taman dan lampu jalan yang kembali dinyalakan, Palembang juga dihiasi lampu laser seperti di atas kantor walikota itu dan lampu penjor yang digantung di pepohonan tepi jalan, ibarat barisan pohon Natal. Seperti kota besar lainnya, pohon-pohon lampu—seperti pohon pinang dan kelapa—juga menghiasi Palembang. Semuanya menjadi indah.
Tetapi, keindahan Kota Palembang pada malam hari tak sepenuhnya dinikmati warganya. Lampu-lampu itu justru dipersalahkan sebagai penyebab sering padamnya listrik di rumah warga. Logika warga, padamnya listrik sebagai akibat daya dan arus listrik mereka—yang sebagian besar membayar dengan harga tetap setiap bulan meskipun telah berusaha menghemat— tersedot lampu-lampu tersebut.
Soal lampu-lampu hias itu, mungkin sebagian warga Palembang masih ada yang membela Walikota. Tetapi jika sudah bicara air bersih, tampaknya kota yang dibelah Sungai Musi dan pernah memiliki ratusan anak sungai itu, harus tertunduk malu dengan kota-kota besar lainnya.
Bila dibandingkan dengan kota-kota yang tidak sebesar Palembang, misalnya Bandar Lampung dan Jambi, pelayanan Pemerintah untuk menyediakan air bersih buat masyarakat sangatlah buruk.
Masyarakat yang tinggal di dataran tinggi di Bandar Lampung dapat menikmati air bersih melalui pipa-pipa yang menanjak. Pemukiman-pemukiman penduduk baru di Jambi, tak perlu menunggu dua kali pergantian walikota untuk dapat menikmati air bersih. Sementara di Palembang, seperti pemukiman di Plaju—daerah rawa-rawa yang cuma beberapa ratus meter dari Sungai Musi—warganya harus membeli air bersih setiap hari.
Kota Palembang terbagi dua bagian, yakni Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Bila menyusuri Sungai Musi dari perkampungan Kertapati yang berada di Ulu hingga perkampungan Sungaibatang di Ilir, jaraknya sekitar 6 kilometer, akan terlihat perbedaan mencolok di dua wilayah itu.
Rumah-rumah penduduk di tepian Sungai Musi bagian Ulu, beranda rumah panggungnya menghadap sungai. Sementara di Ilir, yang menghadap ke sungai adalah belakang rumah panggungnya.
Jadi, sehari-hari, masyarakat di Ulu aktivitasnya di Sungai Musi lebih dinamis dibandingkan masyarakat di Ilir.
Selama bertahun-tahun, mereka yang berasal dari pedalaman atau udik di Sumatra Selatan, ketika pindah ke Palembang umumnya menetap di Seberang Ulu.
Masyarakat yang hidup di Ulu, umumnya bekerja sebagai buruh, pengrajin, atau nelayan. Sementara di Ilir, sebagian besar adalah pedagang dan pegawai pemerintah. Bilapun di bagian Ulu ada yang menjadi pedagang, rata-rata dari etnis Cina atau Arab.
Di dalam perkembangan kota, Seberang Ulu jauh tertinggal dari Seberang Ilir. Misalnya soal penyediaan fasilitas umum, seperti pembangunan jalan, penyediaan air bersih, atau rumah sakit.
Mungkin sadar adanya perbedaan perkembangan kota itu, pemerintah kemudian menjalankan proyek reklamasi Jakabaring. Sebuah proyek penyulapan kawasan rawa-rawa dan hutan semak di daerah Jakabaring, Seberang Ulu menjadi kawasan perumahan, perkantoran, pasar, taman, dan sarana olahraga.

Ikuti Novel Juaro

Novel Juaro yang saya tulis tahun 2005 sudah tersebar di masyarakat sebanyak 2.500 buku. Tapi, sebagian kawan atau pembaca mengirim e-mail dan SMS untuk memesan buku ini. Ada pikiran menyebarkan lebih luas novel ini dengan menampilkannya ke dalam sebuah blog, agar dapat dibaca orang lebih luas lagi. Inilah dasar menampilkan novel Juaro dalam blog ini. Selamat menikmati. Terima kasih. Salam.