Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 08 Februari 2009

Juaro 40

HALIMAH berusaha menembus kerumunan massa yang berada di depan pintu gedung Dewan Palembang. Dia mendorong barisan massa yang tak henti meneriakan yel-yel “Turunkan antek pemodal. Dewan bukan tempat bandit-bandit cari makan.”
“Permisi, numpang lewat.”
Halimah dengan sekuat tenaga menyelinap.
“Ibu mau ke mana? Jangan masuk. Ini pertemuan terbatas.”
Seorang petugas keamanan mencegat Halimah di depan pintu Gedung Dewan itu.
“Aku nak ke pucuk. Aku nak nyusul,” jawab Halimah.
“Dak bisa, Bu. Kan sudah ado wakilnya.”
“Aku ni jugo warga Kampung 7 Ulu. Aku jugo wakil warga. Aku nak ke pucuk nian. Tolong, Pak. Tolonglah.”
“Idak bisa nian, Bu. Sudah penuh.”
Halimah kebingungan.
“Cubo jingok daftar wakil warga. Mungkin namoku ado di sano. Aku nih datang terlambat. Masak dulu, aku nih.”
Akhirnya petugas itu memanggil seorang kawannya. Dia minta daftar perwakilan warga.
“Nama ibu siapa?”
“Halimah.”
“Na, tanda tangan dulu di sini,” kata petugas itu terus menyodorkan pena dan buku tamu.
Halimah berlari saat menaiki tangga dua lantai itu. Napasnya tersengal-sengal. Tak lama kemudian dia masuk ke ruang pertemuan Dewan.
“Ngapo kau lamo nian,” tanya Bicek Ida kepada Halimah.
“Aku ni nyuci dulu. Masak dulu. Awak lemak ado pembantu.”
Tiba-tiba Halimah merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal dadanya. Matanya tertuju kepada seorang lelaki yang duduk di barisan depan yang menghadap ke arahnya.
“Siapo lanang itu?” tanya Halimah dengan mulut bergetar.
“Yang mano? Banyak lanang di sini,” jawab Bicek Ida.
“Yang duduk di depan, yang rambutnyo putih itu.”
“Aku dak tau. Setauku dio kalu dak salah anggota Dewan jugo.”
Keringat dingin keluar dari tubuh Halimah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar