tag:blogger.com,1999:blog-60086106357146412852024-03-08T08:57:02.514-08:00Novel JuaroOrang-orang TransisiT. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.comBlogger67125tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-92061783536570924982009-02-24T21:12:00.001-08:002009-02-24T21:12:28.981-08:00Juaro 6623 hari setelah perayaan ulang tahun Kota Palembang itu, hujan deras turun selama dua hari. Palembang banjir. Air Sungai Musi meluap, merubuhkan rumah atau menghanyutkan harta benda warga Palembang. Listrik padam. <br />Angin puting beliung merobohkan ratusan pohon, gedung-gedung, papan reklame, pohon lampu hias, serta instalasi listrik dan telepon.<br />Berbagai cara orang untuk menyelamatkan keluarga dan dirinya. Namun, sedikit sekali yang mampu menyelamatkan diri. Ratusan ribu mayat mengapung dibawa banjir. <br />Mayat-mayat itu tidak membawa gelar dan pujian. Mereka hanya buntang yang busuk. Mereka dilahap ikan-ikan juaro yang ingin hidup seribu tahun lagi, seperti cita-cita penyair Chairil Anwar.<br />Aku, Halimah, Taufik, Yulia, Sulaiman, bertemu di sekitar Pelabuhan Boom Baru. Yulia memeluk erat Yunen, anaknya. Mata kami saling memandang, tidak berkedip Tidak ada yang perlu kami keluhkan lagi. Tidak ada yang harus kami rindukan lagi. <br />Kami meluncur deras. Ibarat kapal cepat, kami mencari nenek moyang di semua benua.<br />Tidak lama kemudian, di langit, Jai dan Putra berkelahi. Berbagai jurus bela diri mereka tunjukkan. Langit pun bergucang. Ribuan planet bergetar dan banyak yang meledak lantaran bertabrakan.<br />Saat Tuhan menemui mereka, mereka terus saja berkelahi. Sekujur tubuh mereka dipenuhi luka dan keringat. Miliaran manusia yang melayang-layang menyaksikan perkelahian mereka yang dijaga penyair Yunen.<br />“Tuhan, izinkan kami terus berkelahi. Kami harus menentukan sejarah Palembang,” kata Putra.<br />Di Bumi, aku dan Halimah menemukan nenek moyang kami, yang telaten melayani pembeli di warung kopinya. Hanya nenek moyang kami yang masih mempertahankan warung kopi; mengenang masa lalu dan mengeluhkan hari ini.<br /> Di dalam secangkir kopi yang kupesan, seekor juaro, yang tubuhnya berwarna hitam dan berlendir, menggeliat. Dia menatapku dengan bola matanya yang putih. Secara perlahan, air kopi itu menjadi merah.<br /><br />***TAMAT***T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-88804951117780614492009-02-24T21:11:00.001-08:002009-02-24T21:11:29.807-08:00Juaro 65MALAM pada hari ulang tahun Kota Palembang, tahun 2012, sebuah televisi berukuran 20 meter kali 15 meter di pajang di muka Benteng Kuto Besak. Melalui televisi itu seribuan orang yang berkumpul di pelataran Benteng Kuto Besak menyaksikan pesta rakyat di setiap sudut Kota Palembang. Pesta mengenang kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam, yang didongengkan terbangun dari puing-puing kehancuran para perompak dari Tiongkok, yang terdesak ke pedalaman Sungai Musi.<br />Benteng Kuto Besak adalah sebuah benteng yang didirikan Kesultanan Palembang Darussalam. Benteng yang diperkirakan para sejarawan sebagai benteng paling modern di Indonesia pada masanya. Tetapi, armada Belanda tetap mampu menaklukkan benteng itu. Benteng itu pun menjadi simbol militerisme Belanda di Palembang. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, benteng itu kemudian menjadi perkantoran, rumah sakit, dan perumahan milik tentara.<br />Puluhan perahu hias dan kapal pesiar mini, yang dipenuhi orang-orang berpesta, hilir mudik di Sungai Musi. Kembang api berlintasan di atas Sungai Musi. Lampu laser yang ditembakkan dari semua gedung bertingkat, bersilangan, bagai jaring laba-laba.<br />Sementara di atas Jembatan Ampera, digelar pesta musik, dari musik dangdut hingga blues. Ratusan orang terkapar karena mabuk atau kelelahan. Beberapa orang yang patah hati dari atas jembatan itu terjun ke Sungai Musi. Semuanya mati. <br />Lalu, subuhnya, di dalam ratusan kamar hotel, di sepanjang tepian Sungai Musi, puluhan ribu orang menangisi masa lalu dan berdoa agar tahun depan rezeki mereka bertambah sehingga pesta terus digelar.<br />Sampai pagi, Albert Membara, Sofyan, dan Jai, mengelilingi Kota Palembang menggunakan sebuah helikopter. Mereka mencatat lahan tidur dan pemukiman penduduk yang tidak efektif atau perkampungan kumuh. Mereka sangat tahu, jika dilihat dari atas, Sungai Musi bagai ular Sawo yang lapar, yang diam-diam keluar dari pedalaman.<br />Dari jendela sebuah pondok di daerah rawa-rawa di belakang Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Yunen—anak Yulia—melambaikan tangannya ke arah helikopter yang ditumpangi penguasa Palembang itu.<br />“Awas, tangan jangan keluar. Mereka biso melihat kito. Rumah kito kagek digusur.”<br />Meskipun tangan Yunen tidak jadi keluar jendela, pondok Yulia itu tetap digusur. Sebuah pemberitaan di koran memberitahu keberadaan pondok Yulia; pemberitaan mengenai kawasan kumuh.<br />Saat pondoknya digusur, Yulia melakukan perlawanan. Di hadapan polisi pamong praja yang sudah dilengkapi senjata api dan granat, Yulia protes dengan cara menggorok leher Yunen. Setelah dia memastikan anaknya itu mati, baru giliran dia mengapak tangan kirinya nyaris putus dan dengan senyum kemenangan membiarkan darah mengalir; menarik segala penderitaan.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-3470183588230557302009-02-24T21:10:00.001-08:002009-02-24T21:10:40.907-08:00Juaro 64SEPULANG menjadi pembicara mengenai perkembangan politik kontemporer Palembang, di kampus Universitas Kundang di Padang, Tandu dijemput Beben di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.<br />Mereka kemudian makan duren di Pasar Kuto.<br />“Kau ceritakan soal perilaku politik Albert Membara?”<br />“Jelas bae. Ini kan persoalan nasional. Para peserta ingin tahu bagaimana seorang bandit mampu menjalankan kekuasaan. Bagaimana seorang bandit bisa didukung masyarakatnya.”<br />“Lalu, kesimpulan kau soal Albert Membara?”<br />“Ya, seperti buyan bae, kau ni. Jelas aku bilang fenomena Albert itu sangat berbahaya buat masa depan demokrasi di Palembang dan di Indonesia. Harus dilawan! Jika tidak dilawan, hancurlah nilai-nilai moralitas demokrasi,” kata Tandu, yang telah menghabiskan tiga buah duren.<br />“Berani nian kau nih,” kata Beben.<br />Tandu hanya tersenyum. Beben menatap sahabatnya itu dengan dua hal yang kontradiktif; kekaguman dan kedengkian.<br />Dia kagum dengan Tandu yang terus bertahan dengan sikap kritisnya, sementara kedengkiannya yakni mengapa orang-orang hanya melihat Tandu sebagai simbol perlawanan di Palembang; bukan dirinya. To, mereka sama-sama berjuang; melakukan hal yang sama, merasakan penderitaan yang sama, dan mengorbankan banyak hal.<br />“Aku memang tidak punya nasib sebagai tokoh perlawanan,” kata Beben kepada dirinya. <br />Beben kemudian mengantar Tandu pulang ke rumahnya di Rambutan Dalam. <br />“Cek, semoga kita ketemu lagi,” kata Beben, dari dalam mobil Honda Civic-nya sebelum pergi. Tandu diam saja, dia tidak mengartikan kalimat yang diucapkan Beben. Dia hanya melambaikan tangan kepada satu-satunya kawan di Palembang yang dinilainya masih memperjuangkan demokrasi.<br />Baru di dalam rumah, Tandu merasakan kegaNjilan dari kalimat Beben itu. Pikirnya, mungkinkah Beben memberi tanda perpisahan. Apakah Beben mau bunuh diri? Tidak mungkin, bantah Tandu. Sebab, tidak ada alasan yang tepat buat Beben untuk melakukan itu. Perceraian Beben dengan istrinya bukan persoalan yang dapat menghancurkan mental sahabatnya itu. Mungkin Beben mau berangkat ke luar negeri? Tandu sedikit menerima dugaannya itu. Dia pun tenang. Tertidur. Memeluk istri dan anak tunggalnya yang berumur lima tahun.<br />Tandu bermimpi, bersama istri dan anaknya melakukan perjalanan ke Bali. Berlibur. Mimpi yang indah. Mimpi yang tak mungkin mau dihentikan oleh siapa pun. Termasuk oleh api yang membakar habis rumahnya, tubuhnya, istri, dan anaknya. Api yang disulut sekelompok bandit ketika ratusan masjid di Palembang mengumandangkan azan Subuh.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-76857938490532270822009-02-24T21:09:00.001-08:002009-02-24T21:10:01.535-08:00Juaro 63KETEGANGAN menyelimuti Kampung 11 Ulu. Sudah dua malam, warga kampung tersebut berperang dengan warga kampung Kuto Batu. Malam itu, peperangan dilanjutkan. Bila sebelumnya peperangan hanya saling lempar tombak dalam jarak tertentu—membuat beberapa orang terluka tetapi tidak memakan korban jiwa—maka dalam perang malam ketiga tersebut, mereka sepakat untuk bentrok dalam jarak dekat.<br />Di tengah arus Sungai Musi, warga kedua kampung dengan menggunakan perahu serta dipersenjatai parang, tombak, dan kecepek, saling membunuh; menembak, membacok, atau menombak. Sekian detik setelah perahu mereka bertabrakan, mulai terdengar orang yang mengeram kesakitan, terjatuh ke sungai, kemudian melepaskan nyawanya setelah tombak atau peluru paku menancap ke dada atau ke leher. <br />Dari balik lubang dinding rumah rakitku, aku menyaksikan peperangan tersebut. Tubuhku gemetar, apalagi kulihat, di bawah cahaya bulan, gelombang Sungai Musi membawa darah ke dinding rumah rakitku.<br />Perang antarkampung itu ibarat lukisan rahasia di balik foto Kota Palembang yang mulai ditumbuhi bangunan bertingkat, hotel-hotel, dan lampu-lampu berwarna-warni.<br />Paginya, kulihat puluhan jasad mengapung di Sungai Musi. Sewaktu aku mising, sesosok jasad yang kuperkirakan berusia belasan tahun tersangkut di tiang kakusku. Tak ada ikan juaro yang mendekati jasad itu dan taiku. Mulut jasad itu terbuka dengan mata melotot, perutnya robek seperti terkena sabetan golok.<br />Tidak lama kemudian, datang puluhan polisi menggunakan perahu cepat dan perahu ketek. Mereka mengangkut satu per satu jasad itu ke perahu dan membawanya ke rumah sakit.<br />Banyak warga di tepi Sungai Musi menyaksikannya tetapi tidak kudengar salah satu dari mereka menangis atau berteriak marah.<br />Mulai pagi itu, selama sepekan, puluhan polisi berjaga-jaga di Kampung 11 Ulu dan Kuto Batu.<br />Peperangan warga 11 Ulu dengan Kuto Batu, bukan disebabkan adanya pelecehan terhadap perempuan dari salah satu kampung; biasanya menjadi pemicu konflik antarkampung di tepian Sungai Musi. Pemicu peperangan itu karena kedua kampung membela jagonya dalam pemilihan Walikota Palembang yang digelar secara langsung. Dua calon yang dijagokan mereka adalah Albert Membara—masih menjabat Walikota Palembang—dan Guntur Kebal.<br />Pemilihan itu sendiri sudah digelar dan pemenangnya Albert Membara. Tetapi, para pendukung Guntur Kebal yakni warga Kuto Batu tidak terima dengan kekalahan itu. Mereka menuduh Albert Membara dan pendukungnya melakukan kecurangan.<br />Awal ketegangan dimulai dari aksi unjuk rasa kedua pendukung—tentunya dengan tuntutan yang berbeda—ke Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Palembang. Para pendukung Guntur Kebal menuntut KPU melakukan pemilihan ulang, sementara pendukung Albert Membara meminta KPU tetap dengan keputusannya, yakni menetapkan Albert Membara sebagai pemenang pemilihan.<br />Ketika berunjukrasa, aparat polisi gagal mencegah kedua massa pendukung itu berhadapan. Akibatnya, mereka berkelahi. Perkelahian itu dimulai dari aksi saling mengejek. Lantaran tidak puas dengan perkelahian tersebut—dilerai polisi—kedua massa pendukung yang kebetulan terkoNsentrasi dalam dua kampung, sepakat melanjutkannya dengan berperang atau berkelahi sampai mati di Sungai Musi.<br />Meskipun banyak warga 11 Ulu menjadi korban dalam peperangan itu, Albert Membara tetap menggusur warga di kampung itu dan kemudian di atas lahannya didirikan taman dan tempat bermain anak-anak.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-84415163669196358732009-02-24T21:07:00.000-08:002009-02-24T21:08:13.367-08:00Juaro 62HOTEL milik Indra Wijaya selesai dibangun di Kampung 7 Ulu. Pada saat bersamaan Jai kembali ke Palembang. Tubuhnya kian bertambah tambun.<br />Atas rekomendasi Albert Membara, Jai bergabung dengan sebuah partai politik yang baru berdiri tetapi telah mempunyai wakilnya di Dewan. Kemudian, Jai terpilih sebagai ketuanya. Dan, melalui partai politik itu Albert Membara mencalonkan diri kembali sebagai Walikota Palembang.<br />Di hotel berlantai 30 milik Indra Wijaya, setiap malam, aku memijit atau mengurut mereka yang keletihan setelah bermain judi atau jalan-jalan mengelilingi kota Palembang. Kepada mereka, aku bercerita soal ikan-ikan juaro yang hidup di Sungai Musi. Menceritakan ikan juaro itu, aku seperti bercerita tentang keluargaku.<br />Setiap orang yang kali pertama mendengar ceritaku, pasti akan meneteskan air liurnya ke bantal dan kasur; mereka merasa lapar dan haus setelah mendengar ceritaku itu.<br />Lalu, sebagian dari mereka yang kuurut akan bercerita soal ikan yang pernah hidup di tanah kelahirannya. Namun, ikan yang diceritakan mereka tidak serakus ikan juaro. Maka tak heran bila rasa daging ikannya tidak segurih ikan juaro.<br />Saat ini aku mengerti betapa tidak berartinya sebuah cita-cita dan penolakan. Cita-cita dan penolakan adalah penerimaan total. Seperti yang kini dirasakan oleh mereka yang bercita-cita menjadi tukang pijit di hotel milik Indra Wijaya seperti aku.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-45923062296913774412009-02-24T21:05:00.000-08:002009-02-24T21:07:41.846-08:00Juaro 61TIBA di Palembang, anak Yulia tak mampu berbuat apa-apa ketika ibunya diperkosa dua lelaki—sesama penumpang bus—di semak-semak di belakang Terminal Karyajaya, kecuali menangis. <br />Sambil menggendong anak dan menyeret tasnya, Yulia berusaha meninggalkan semak-semak itu. <br />Dia menumpang bus kota dan turun di pangkal Jembatan Ampera. Dengan sisa tenaganya dia berjalan menuju Sungai Musi. Dilemparkannya sepasang gigi palsu Yunen bersama daun pisangnya ke Sungai Musi.<br />Sungguh sulit dipercaya—Yulia pun tidak tahu—ketika sepasang gigi palsu itu tenggelam ke dasar Sungai Musi, jantung Yunen berdetak cepat, cepat, dan cepat. Anak Yulia menangis.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-1336466029954212902009-02-24T21:03:00.000-08:002009-02-24T21:04:45.871-08:00Juaro 60YULIA menceritakan siapa dirinya kepada Bi Kom dan Yunen. Pada bagian kisah mengenai Putra, Bi Kom menangis. Sejenak kemudian, dia pun menceritakan kisah dirinya, termasuk kematian ketiga anaknya.<br />Saat Yulia bercerita, Yunen sesekali tersenyum dan berkomentar, “Itulah hidup. Tak ada akhir yang selesai.”<br />Yunen sebenarnya ingat dengan Putra. Ketika Yulia menyebut nama dan menceritakan siapa Putra, Yunen teringat dengan sosok mahasiswa yang pernah dibencinya itu. Namun buat Yunen, kehadiran Yulia—yang tak lain kekasih Putra dan bapak bayi yang berada di rumahnya—merupakan drama yang dilahirkan Tuhan. <br />Dalam pikiran Yunen, pertemuan dirinya dengan Yulia, merupakan kesombongan Tuhan; ingin menunjukkan tidak ada manusia yang mampu berlari dari keinginan-Nya. <br />Itulah alasan kenapa Yunen sesekali tersenyum saat Yulia bercerita. Yunen memutuskan untuk tidak memberikan reaksi yang berlebihan; terkejut, marah, sedih atau bahagia. Cukup tersenyum. To, Tuhan tidak pernah terkejut dengan apa yang dialami seorang manusia.<br />Tiga bulan kemudian, Yulia berencana pulang ke Palembang. Meskipun dia yakin kedua orangtuanya sangat ingin bertemu dengan dirinya dan cucunya, Yulia tidak punya keinginan pulang ke rumah orangtuanya.<br />Yulia adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Bapaknya seorang tentara berpangkat kapten. Sebagai anak prajurit, Yulia termasuk yang beruntung. Dia tidak pernah hidup di asrama tentara. Istilahnya tidak pernah menjadi “anak kolong”—istilah ini muncul untuk mengatakan anak-anak tentara yang terpaksa tidur di kolong atau di bawah genting asrama meliter, lantaran asrama yang mereka tempati sempit atau kecil—dan bila bapaknya bertugas ke suatu daerah, Yulia dititipkan kepada neneknya—pensiunan pegawai perusahaan minyak Pertamina, di Plaju.<br />Kedua orangtua Yulia dikenal warga di kampungnya taat beragama. Yulia dididik dengan disiplin untuk tidak mengatakan secara militer, baik soal agama maupun ilmu pengetahuan versi lembaga pendidikan. Dia dilarang membantah ataupun mengusulkan sesuatu bila tidak diminta. Sementara neneknya yang bangga dengan pendidikan “Barat”—yang didapatkannya selama penjajahan Belanda, negara yang konon dulunya merupakan daerah nelayan dan perompak—mengajarkan soal selera dan etika seorang berpendidikan.<br />Pada awalnya Yulia sangat angkuh dan pemilih dalam pergaulan di kampusnya, Universitas Balaputra Dewa. Tetapi, rasa ingin tahu atau rasa petualangannya yang sejak kecil diredam orangtuanya, membuat Yulia akhirnya luluh, saat Putra mendekatinya. Yulia tertarik dan menyukai Putra karena pemuda itu memberikan petualangan-petualangan berpikir dan rasa.<br />Seperti banyak diduga, perkawanan atau istilahnya hubungan asmara Yulia dengan Putra tidak disetujui orangtua Yulia. Layaknya sebuah cerita telenovela, kian dilarang benih cinta pasangan itu justru kian tumbuh.<br />Apa yang terjadi saat orangtuanya tahu Yulia hamil di luar nikah? Orangtua dan neneknya mengusir Yulia seperti anjing. Yulia diseret dan dimaki-maki—mungkin sesuatu yang selama ini diredam dari kesadaran purba mereka—di sepanjang jalan di muka rumah orangtuanya itu. Bila Putra masih hidup, mungkin peluru dari senjata api milik bapak Yulia akan bersarang di kepalanya.<br />“Jangan sebut namaku kalu dio dak mati.”<br />Yulia lari ke Metro. Dia menumpang hidup dengan Yudhi, seorang mahasiswa yang sudah berkeluarga. Sebelum akhirnya Yulia memutuskan mau melahirkan di Lahat, dengan alasan anak itu akan diberikan kepada temannya di sana.<br />Metro adalah sebuah kota di Lampung, yang dibangun para transmigran dari Jawa. Bila kita memasuki kota yang hidupnya tergantung dari pertanian itu, kita seperti memasuki sebuah kota di Jawa. Dari bentuk bangunan hingga jajanan,, semuanya beraroma Jawa.<br />Tanpa sepengetahuan Yulia, orangtua dan neneknya pindah ke Talangbetutu. Sejak saat itu, neneknya keluar masuk rumah sakit untuk mengobati berbagai penyakit yang menggerogoti dirinya. <br />Dan, pada saat Yulia melahirkan, bapaknya gugur dalam peperangan di Aceh melawan tentara GAM (Gerakan Aceh Merdeka).<br />Pulang ke Palembang buat Yulia adalah suatu permulaan dari kehidupan yang baru. Seperti semangat dari puisi-puisi yang ditulis Yunen di dinding rumah dan setiap hari dibacakannya. Dia ingin seperti orang asing yang memutuskan membangun kehidupan baru di Palembang. Dia pun tak ingin menemui teman-temannya.<br />“Aku ikut,” kata Yunen.<br />Tetapi, saat mau berangkat ke Palembang, Yulia bingung dengan Yunen yang masih tiduran di kasurnya.<br />“Aku ikut,” kata Yunen.<br />“Ya, beringkesla. Nanti kesiangan, kagek bus dak katik lagi,” kata Yulia.<br />“Aku yang ini yang berangkat itu. Tolong kembalikan ke Palembang, lemparkan bae ke Sungai Musi,” kata Yunen sembari memberikan sepasang gigi palsunya yang dibungkus daun pisang.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-76057175678124885352009-02-24T21:00:00.001-08:002009-02-24T21:01:17.209-08:00Juaro 59SEBENARNYA, tuduhan Yunen terhadap Putra itu tidak sepenuhnya benar. Gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Soeharto di Palembang pada mulanya, awal tahun 1990-an, dapat dikatakan dipelopori oleh para pekerja seni, yang kemudian disambung gerakan perlawanan para aktivis LBH Swarna Bhumi, LSM dan mahasiswa.<br />Memang, sebelumnya, pada tahun 1980-an, sejumlah mahasiswa di Palembang melakukan perlawanan dengan pemerintahan Soeharto yang menyebabkan beberapa mahasiswa dipenjara. <br />Jadi, kehadiran Putra di tengah kawan-kawan pekerja seni itu merupakan konsolidasi soal gerakan perlawanan; bukan mengubah paradigma berkesenian para pekerja seni.<br />Di tengah lemahnya gerakan mahasiswa, para pekerja seni melakukan aksi protes ketika sebuah pameran lukisan di Taman Budaya Sriwijaya dihentikan seorang pejabat Pemerintah; dengan alasan ruang pameran tersebut digunakan untuk kegiatan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Sejak peristiwa itu, 1989, melalui karya-karya seni, seperti teater dan sastra, para pekerja seni di Palembang mengkritik pemerintahan Soeharto.<br />Jadi, tak heran, selanjutnya banyak pekerja seni di Palembang menjadi aktiVis LSM, dosen, atau bekerja di media massa; profesi yang memberi banyak ruang untuk meneriakKan perjuangan mereka atau membangun kesadaran kritis terhadap rezim Soeharto. <br />“Yunen itu sendiri sebenarnya berpolitik saat menghadapi birokrasi di kantornya, yang dikatakannya tidak berhati nurani,” kata Tandu, yang sebelum menjadi dosen turut mewarnai berkesenian di Palembang.<br />Tetapi, sikap Yunen yang meninggalkan Palembang untuk menyepi ke dusun, merupakan sikap politik yang harus dihormati, kata Tandu.<br />Sikap ini jauh lebih baik daripada para pekerja seni yang selama Soeharto berkuasa selalu mencari aman tetapi setelah Soeharto jatuh berebut “kue kekuasaan” bersama orang-orang yang turut menikmati kekuasan Soeharto.<br />“Mereka tai kucing sejarah!” kata Tandu.<br />Tuduhan Tandu itu tidak berlebihan. Memang, mereka yang dulunya alergi berkesenian untuk mengkritisi pemerintahan Soeharto, saat ini justru menikmati kekuasaan; ada yang menjadi anggota Dewan, menjadi pejabat pemerintah, atau menjadi pemborong pesta kesenian yang diselenggarakan pemerintah.<br />Masalahnya, kata Tandu, apa yang mereka perbuat sama sekali tidak mengakar kepada persoalan yang dulunya diperjuangkan para pekerja seni, yakni bagaimana kesenian menjadi alat reformasi kebudayaan yang jelas-jelas telah dicabik-cabik fasisme Soeharto. <br />“Aku tidak mempersoalkan posisi yang telah mereka raih,” ujar Tandu.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-25820468929441511312009-02-24T20:56:00.000-08:002009-02-24T20:57:33.115-08:00Juaro 58YUNEN membenci politik. Baginya politik itu hanya melahirkan peperangan, kelaparan dan penindasan terhadap perempuan dan anak-anak.<br />Menurut kisah didengar Yunen saat masih kanak-kanak, dari mulut bapaknya, dusun mereka merupakan pelarian anak buah Cheng Lien—seorang pemimpin perompak—yang disegani di Asia Tenggara pada abad ke-15.<br />Mereka lari ke pedalaman—dengan menyusuri Sungai Musi dan masuk ke Sungai Lematang dan membuat perkampungan di tepi sungai itu—karena tidak mau tunduk kepada para ksatria dari Jawa, yang kemudian membangun Kesultanan Palembang Darussalam.<br />Selama dalam perlarian, mereka terus-menerus melakukan peperangan. Baik perang menghadapi para prajurit dari Kesultanan Palembang Darussalam maupun dari kelompok pelarian lain yang juga membuat perkampungan.<br />Perang itu, dikisahkan, banyak merenggut nyawa. Bahkan, peperangan itu melahirkan penculikan terhadap perempuan. Mereka diperkosa atau dijadikan gundik oleh mereka yang meraih kemenangan.<br />Pada akhirnya, jumlah laki-laki menjadi lebih sedikit daripada perempuan. Kondisi tersebut akhirnya memungkinkan lelaki memiliki istri lebih dari satu, meskipun tidak memenangi sebuah peperangan.<br />Sekian tahun kemudian:<br />“Aku sangat membenci laki-laki yang beristri lebih dari satu. Itu pasti melahirkan ketidakadilan. Bukan hanya dirasakan para istrinya. Yang paling menderita, adalah anak-anak mereka. Perempuan dan anak-anak adalah sumber keindahan dan kasih sayang. Aku yakin betul peperangan dan kekuasaan yang menciptakan penderitaan terhadap perempuan dan anak-anak. Politik adalah biangnya.”<br />Sebetulnya, pemikiran Yunen tersebut tidaklah luar biasa. Sudah banyak orang yang berpikir seperti itu. Mungkin, cara penghayatannya yang membuat Yunen menjadi lain bila dibandingkan dengan teman-temannya atau keluarganya. <br />Setelah mengisahkan itu, biasanya bapak Yunen mendongengkan kota adalah tempat yang harus ditaklukkan. <br />“Kalau awak nak jadi wong, jadilah pegawai negeri, polisi atau tentara. Sekolah yang benar. Kalau harus nyogok, idak apo-apo, jual kebun kopi kito itu,” kata bapak Yunen.<br />Wajah Yunen memerah. Dia menatap ketiga temannya, yang sama-sama minum kopi di sebuah warung makan, di dekat Taman Budaya Sriwijaya.<br />“Aku tidak peduli Soeharto itu mau jatuh atau tidak. Yang penting itu, kito ini harus membangun nilai-nilai, terutama rasa melindungi sesama dan pujian terhadap semua keindahan. Kito ini rusak oleh politik. Politik telah membuat keindahan menjadi sampah,” kata Yunen.<br />Yunen kemudian melihat wajah ketiga temannya. Mereka menatap sinis.<br />“Aku memang benci politik. Menurutku dari pada ikut rapat di LBH Swarna Bhumi, lebih baek kito membicarakan puisi terbaruku,” kata Yunen.<br />“Kalau Presiden Soeharto jatuh dan kehidupan kesenian berubah menjadi baek, kau jangan mengaku-aku turut berjuang,” kata Sulaiman, perupa yang selalu bercita-cita ingin melakukan pameran tunggal lukisannya; selalu gagal lantaran tak ada sponsor.<br />Rapat di LBH Swarna Bhumi itu membahas rencana aksi berkaitan dengan konflik lahan antara petani dengan PT Musi Hutan Dunia.<br />“Setuju! Aku berkesenian karena Tuhan. Tuhan yang menentukan apakah aku dapat menulis puisi lagi atau tidak. Bukan kalian. Makanlah raso berjuang kalian,” kata Yunen.<br />Seperti biasanya, jika ada benih ketegangan dengan Yunen, teman-temannya memilih pergi. Begitu pun dengan ketiga teman Yunen tersebut. Dan, sejak saat itu—Polong, Angine dan Bobon—tidak pernah lagi bertemu dengan Yunen sebab sebulan kemudian Yunen menikah dan menetap di dusunnya. Pimpinan Yunen di kantornya begitu senang ketika penyair itu minta dipindahkan ke Muaraenim.<br />“Ini gara-gara Putra, si mahasiswa itu! Dia benar-benar merusak kesucian batin kesenian,” kata Yunen, entah untuk siapa. Dia memesan kembali secangkir kopi. Si pemilik warung makan itu hanya tersenyum melihat Yunen marah-marah. Begitulah Yunen.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-67269256862612980462009-02-24T20:53:00.000-08:002009-02-24T20:55:34.236-08:00Juaro 57ORANG-ORANG di dusun Yunen menerima kehadiran Yulia. Mereka pun mengizinkan Yulia menumpang sementara di rumah Yunen. Syaratnya, Bi Kom, si dukun beranak itu juga tinggal di rumah Yunen. Alasan warga, bila tidak ditemani seseorang, Yunen ditakutkan akan menyakiti Yulia dan anaknya. Setelah dipasung lima tahun, warga tidak yakin Yunen sudah sembuh dari penyakit gilanya—yang diyakini warga—sebab orang-orang gila sebelumnya di dusun itu, setelah dipasung justru bertambah gila.<br />Jika pemasungan tidak akan menyembuhkan orang gila, mengapa itu harus dilakukan? Jawabannya sederhana; agar si orang gila tidak mengganggu orang lain yang dianggap masih normal. Mau sembuh atau kian menjadi gila, warga di dusun itu tidak peduli.<br />Yunen divonis gila bukan lantaran dia mengamuk di rumah dan ingin membunuh istrinya melainkan kesukaannya membaca puisi di kebun kopi dan kesenangannya menggendong istrinya setelah mereka mandi di Sungai Lematang.<br />Soal tawaran menetap di rumah Yunen, Bi Kom merasa sangat beruntung. Sebagai dukun beranak yang tidak lagi mempunyai anak—tiga anak laki-lakinya meninggal dunia—Bi Kom seperti menemukan kembali sebuah keluarga.<br />Ketiga anak Bi Kom itu mati ditembak polisi. Mereka ditembak saat diburu di dalam hutan lantaran merampok sebuah bus yang lewat di dusun tersebut. Menurut polisi, mereka tidak akan ditembak bila tidak melakukan perlawanan dengan kecepek.<br />Kematian ketiga anaknya itu tidak disesali Bi Kom. Buat Bi Kom, apa yang dilakukan mereka adalah ibadah. Mereka merampok bus itu karena dusun mereka mengalami paceklik; sawah dan kebun kopi mereka gagal panen.<br /> Apalagi, akibat paceklik itu beberapa balita mati karena kelaparan.<br />Musim paceklik itu merupakan bencana kali pertama yang dialami Bi Kom selama hidupnya di dusun tersebut. Sawah dan kebun kopi mereka gagal dipanen akibat tanah longsor dan amukan gajah. Beberapa warga menuduh penyebab bencana itu lantaran pembangunan pabrik bubur kertas milik perusahaan multinasional dan perkebunan sengon—bahan baku bubur kertas—tak jauh dari dusun mereka.<br />Yunen sendiri hanya cengar-cengir dan beberapa kali berkata “ya” saat Yulia bermohon menumpang sementara di rumah penyair itu.<br />Sikap baik dari orang yang divonis gila itu, membuat Yulia mendapatkan gairah hidup kembali. Dia pun secara diam-diam berkeinginan membesarkan anaknya. Padahal, saat di dalam bus, sebelum “kebetulan” di dusun Yunen, Yulia berniat memberikan anaknya kepada orang lain.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-47742229002292335692009-02-21T01:40:00.001-08:002009-02-21T01:40:39.869-08:00Juaro 56KETIKA Putra diculik dan tidak diketahui kabar selanjutnya; entah mati atau hidup, Yulia tengah hamil tiga bulan. Yulia dan Putra belum menikah, tetapi dinginnya malam pergunungan di Pagaralam saat mereka melakukan pendakian Gunung Dempo, Yulia merasakan kenikmatan luar biasa saat bersetubuh. Sayangnya, kecerobohan Putra yang membiarkan sperma menghantam sel telur Yulia, membuat perempuan muda itu berharap kuat Putra segera menikahinya.<br />Putra siap menjadi suami tetapi dia tak ingin punya anak. Alasannya dia masih ingin mengejar karier. Bila sudah punya anak, Putra takut kariernya terhambat. Yulia tidak membantahnya tetapi dia tidak melakukan aborsi.<br />Lalu, sebelum persoalan itu diselesaikan mereka, Putra meninggalkan kedukaan dan cemoohan. Yulia bagaikan hidup di dalam gerbong kereta api tanpa pintu. Memang, pada saat Yulia hamil, dia tidak sendirian. Puluhan perempuan di Palembang hamil meskipun belum menikah.<br />Hanya, jilbab yang dikenakan Yulia menjadi oven yang panasnya mencapai 80 derajat celcius setiap kali bertemu dengan teman-temannya, keluarganya atau para tetangganya di Plaju; kediaman orangtuanya. Oven itu membakar kepalanya.<br />Meskipun mencintainya, Yulia sangat membenci Putra. “Bapakmu orang yang paling ceroboh,” kata Yulia, saat menyusui bayinya.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-80230990979640926612009-02-21T01:39:00.001-08:002009-02-21T01:40:03.104-08:00Juaro 55YULIA menangis ketika kali pertama melihat bayi laki-laki yang baru dilahirkannya. Bayi itu lebih dahulu menangis. <br />Yunen hanya diam saat menggendong si bayi; dia menikmati tangisan ibu dan anak. Jantungnya berdetak cepat.<br />Setelah dilahirkan, kedua telinga bayi itu diazankan Yunen. Soal ini, Yunen dipaksa Bi Kom, dukun beranak yang membantu persalinan Yulia. Terus terang, hanya Yunen yang tahu apakah dia mengazankan atau tidak. Yang tampak, sekitar 5 menit wajah Yunen menempel di pipi bayi; tak ada suara. <br />“Yunen bawa budaknyo kesini. Nak kumandikan dulu,” kata Bi Kom.<br />Tiga jam sebelumnya, Yulia masih berada di dalam sebuah bus jurusan Palembang-Lahat. Lantaran perutnya sakit, dia minta diberhentikan di sebuah dusun yang dilalui bus tersebut. Si sopir bus sempat ragu-ragu saat mau menghentikan kendaraannya, apalagi melihat Yulia yang tengah hamil tampak kesakitan. Sopir bus yang memiliki tiga anak itu yakin Yulia akan melahirkan. Tetapi, Yulia sempat berteriak bahwa di dusun tempat mereka berhenti ada kerabatnya.<br />Sebenarnya, Yulia berbohong. Dia hanya takut melahirkan di rumah sakit di Kota Lahat. Dia takut bila melahirkan di rumah sakit—mungkin lantaran ditolong si sopir—orangtua dan keluarganya akan tahu keberadaannya. Sebenarnya dia ke Lahat mau mencari seorang temannya. Harapannya, di rumah temannya itu dia dapat melahirkan, cukup ditolong seorang dukun atau bidan, tidak perlu dengan seorang dokter di rumah sakit.<br />Yulia ragu keinginannya tercapai sebab di sepanjang perjalanan Yulia merasakan perutnya melilit. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhnya. Apalagi cairan putih dan kental sedikit demi sedikit merembes dari kemaluannya. Entah apa yang mendorongnya, Yulia memutuskan untuk berhenti di sebuah dusun yang sepi. Dusun Yunen. Dia berhenti di perkarangan rumah penyair yang baru dua bulan bebas dari pemasungan.<br />Pemasungan terhadap Yunen dihentikan setelah istri Yunen—perempuan bertubuh gemuk yang mengajar di sekolah dasar—menemukan calon suami yang baru. Saat dilepaskan pasungnya Yunen hanya dibekali sebuah panci dan tikar serta beberapa kilogram beras. Hampir semua perabot rumah diboyong istri dan keluarganya. Mereka pindah ke dusun sebelah.<br />Istri dan keluarganya berharap Yunen pergi dari rumah. Selanjutnya, rumah itu akan dijual, uangnya buat membiayai makan dan sekolah anak mereka; gadis kecil yang tidak pernah diizinkan ibunya bila ingin ikut lomba baca puisi di sekolah. Uang pensiun Yunen menjadi jatah kakak perempuannya yang janda meskipun saat pengambilan uang dilakukan istri Yunen.<br />Yunen tidak pergi. Dia bertahan di rumah itu. Dia terus membaca puisi. Tidak peduli malam ataupun siang. <br />Dia menulis beberapa kata di tanah atau di dinding rumah panggung itu dengan arang: “Awal selalu berulang dan akhir tak pernah selesai.” <br />Soal kalimat yang disukai Yunen itu, tidak jelas milik siapa, tetapi tampaknya merupakan penggalan dari puisi miliknya. Entahlah.<br />Yulia terjatuh ketika menginjak tangga rumah panggung Yunen. Yunen yang tengah melamun di muka jendela samping rumahnya mendengar teriakan Yulia yang kesakitan. Dia melihat Yulia terkapar. Sejenak Yunen ketakutan, dia masuk ke dalam rumah. Yulia memanggilnya dan minta tolong.<br />Meskipun ragu-ragu, Yunen keluar dari rumahnya. Beberapa saat dia memperhatikan Yulia. Yulia terus merintih minta tolong, lalu perlahan menjadi teriakan. Lantaran siang hari, teriakan Yulia tak ada yang mendengar kecuali Yunen. Pada siang hari, hampir semua warga di dusun itu berada di kebun.<br />Yunen kemudian berlari dan berteriak “Tolong! Tolong!” menirukan teriakan Yulia. Sekitar satu jam Yulia menahan rasa sakitnya. Kemaluannya dipenuhi cairan dan darah. Wajah Putra, sang kekasih yang memberi benih di rahimnya, berputar-putar dalam kabut pandangannya.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-28527779492120564962009-02-21T01:38:00.001-08:002009-02-21T01:39:10.489-08:00Juaro 54SETIAP kali berkenalan dengan seseorang, Yunen selalu merasa tersiksa jika orang itu menanyakan sukunya, apalagi menanyakan pekerjaan orangtuanya atau saudara-saudaranya.<br />Meskipun demikian, Yunen akan menyebutkan sukunya walaupun dia harus memalingkan muka atau menundukkan kepala. Bila seseorang menebak sukunya, Yunen pun akan cepat mengangguk. Suku apa saja. Tetapi, mungkin lantaran warna kulitnya yang kekuningan, tidak seorang pun pernah menebak Yunen berasal dari satu suku di Papua atau Maluku.<br />Hanya, dia tidak akan menceritakan sedikit pun tentang orangtua ataupun keluarganya. Sikap tertutup Yunen itu sangat tidak disukai wong di Palembang. Tak heran bila Yunen memiliki sedikit teman dekat; salah satu persyaratan untuk menjadi seorang sahabat, seseorang harus memberitahu identitas orangtua dan keluarganya. Tetapi, ketika seseorang menjadikannya sebagai sesuatu yang privasi dengan alasan tertentu, dia dianggap orang asing.<br />“Buat apo nak diceritoke. Apo yang harus dibanggakan dan dibutuhke buat kito yang hidup hari ini,” katanya.<br />Yunen adalah seorang pegawai pemerintah sebagai juru penerangan. Setiap pekan dia tampil di televisi lokal. Dia memainkan drama penyuluhan. Temanya berbagai persoalan di masyarakat yang menjadi perhatian pemerintah, seperti masalah kebersihan di kampung, keluarga berencana (KB)—yakni program pemerintah Indonesia yang mengondisikan sebuah keluarga untuk hanya memiliki dua anak—hingga permasalahan pertanian dan pemilihan umum yang selalu memenangkan Golkar (Golongan Karya); partai politik yang dikendalikan penuh oleh Soeharto.<br />Yunen merasa muak dengan profesinya itu. Namun, kebutuhan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup membuatnya terus bertahan. Muak atau tidak muak setiap pekan dia harus memainkan drama-drama penyuluhan. Setelah empat pekan, dia antre menerima gaji dari negara.<br />“Aku nih anak langit. Penyair. Aku hidup untuk membuktikan bahwa awal selalu berulang dan akhir tak pernah selesai,” katanya.<br />Sebagai penyair—meskipun tidak semua penyair seperti ini dan pengakuan tersebut lahir dari mulutnya—Yunen sangat menjunjung cinta. Cinta yang menggelora dan penuh nafsu, membuatnya tanpa lelah menulis puisi; menembus malam dan melupakan apakah lambungnya sudah menggiling makanan atau belum.<br />Di kantor tempatnya bekerja—di mata Yunen adalah sekumpulan orang yang rajin pada awal bulan dan menjadi kerbau lapar pada akhir bulan—Yunen leluasa menulis puisi. Bila perlu, secara tiba-tiba dia membacakan puisinya dari meja ke meja di kantornya. <br />Tidak ada yang mampu mencegahnya membaca puisi, seperti Yunen yang tak mampu mencegah rekan-rekan kerjanya setiap hari bermain judi gaple di belakang kantor, atau meluruskan program-program fiktif dan penuh mark up yang disusun pimpinannya.<br />Satu-satunya kejahatan yang dilakukan Yunen di kantornya, yakni menjual kertas fotokopi setiap akhir bulan. Pencurian tersebut dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan makan dan rokoknya. Gaji yang diterima Yunen selalu berumur 23 hari. Kejahatan itu sangat disadari Yunen, dia pun siap dihukum. Tetapi, di mata pimpinan dan rekan kerjanya, kejahatan yang harus dipertanggungjawabkan Yunen yakni kebiasaannya menulis puisi dan membacakannya di dalam kantor.<br />Bila ada yang tertarik dengan puisinya, Yunen akan menceritakan bagaimana kuatnya sebuah cinta sehingga seseorang menjadi bergairah lalu menepiskan segala apa diributkan orang setiap hari; uang, mobil, makan, atau barang-barang elektronik yang harganya mahal.<br />Sejujurnya, dalam satu tahun, mungkin hanya satu kali teman sekantor Yunen memuji sebuah puisi miliknya. Buat Yunen itu sudah cukup. Mengampanyekan keindahan dan kasih sayang merupakan ibadah. Selalu dan selalu Yunen mengatakan Tuhan merekomendasikan manusia untuk selalu memelihara keindahan dan kasih sayang, agar kelak—setelah meninggal dunia—mendapatkan jaminan masuk surga. Soal pandangan ini, tidak jelas Yunen mengutipnya dari mana. Kemungkinan besar dia menyimpulkannya setelah dia mengkaji Alquran—dia mengaku beragama Islam—dan menikmati syair-syair Khalil Gibran—salah satu penyair yang dikaguminya. Penyair lain yang karyanya disenangi Yunen adalah Chairil Anwar dan W.S. Rendra.<br />Pintu masuk ke wilayah cinta buat Yunen adalah seorang gadis. Nunung, namanya. Tiap lekuk tubuh dan tatapan Nunung menjadi objek pembicaraan Yunen, hampir setiap hari. Dan, bila matanya mulai berkaca-kaca, dia pun bernyanyi, “Bidadari bangkit birahinya, mengajak kawin benahi kusutku. Oh, aku mabok.”<br />Sayangnya, sama seperti saat ditanya sukunya, Yunen tersiksa bila dipertemukan atau berhadapan dengan Nunung. Entahlah. Dia hanya mampu menikmati Nunung dari jauh. Terutama saat gadis itu tengah latihan drama atau mendeklamasikan puisi di Taman Budaya Sriwijaya—sebuah gedung kesenian di Palembang yang kemudian dikomersialkan seorang pejabat pemerintah; disewakan buat mereka yang ingin merayakan pernikahan, selanjutnya gedung itu dibongkar dan menjadi sebuah pusat perbelanjaan.<br />Cara Yunen menikmati Nunung melalui matanya seperti seekor kucing yang mengincar ikan di akuarium; ingin menangkapnya tetapi bukan untuk dimakan.<br />Melalui Nunung, Yunen melahirkan drama kata-kata. Penuh kejutan pada lingkungannya. Semua keindahan, kebeningan raga dari sikap yang tegas terkandang manja dari Nunung merupakan konstruksi bidadari buat Yunen. Bidadari yang selalu mendampinginya pada siang hari, seperti bayangan tubuhnya. Bila malam hari, Yunen pun merindukan bidadari itu dan berharap bertemu dalam tidurnya.<br />Sampai akhirnya terdengar kabar, seperti kisah telenovela, Yunen menikah dengan seorang gadis pilihan keluarganya. Pilihan orang-orang yang selalu dirahasiakannya. Dia dan istrinya menetap di sebuah dusun di pinggiran Muaraenim. Dusun itu adalah dusun kelahiran orangtuanya. <br />“Tak ada yang mau lagi mendengarkan puisiku. Aku harus menikah. Akhir tak pernah selesai,” katanya.<br />Tampaknya Yunen berusaha menjauh dari catatannya di Palembang, ibarat dirinya mempunyai akhir. Mungkin bukan itu maksudnya. Mungkin itu sebuah awal yang berulang, menapaki sejarah orang-orang yang dirahasiakannya dari sebuah rumah panggung di dusun sepi dan merenungi orang-orang yang keheranan melihatnya membaca puisi di kebun kopi.<br />Lalu, ketika jutaan orang Indonesia punya keinginan kuat agar Soeharto jatuh, Yunen dipasung istri dan keluarganya di kolong rumah panggung miliknya. Yunen divonis gila. Pemasungan itu dilakukan setelah Yunen mengamuk di dalam rumah. Menggunakan sebuah parang dia merusak seluruh barang, lalu mengejar istrinya yang tengah hamil delapan bulan; Yunen mau membacoknya.<br />Kemarahan Yunen dipicu lantaran istrinya keberatan bila dia selalu membaca puisi di kebun kopi dan menggendong tubuh istrinya dari Sungai Lematang menuju rumah, setiap kali pulang dari mandi di sungai itu; adegan tersebut menjadi tontonan dan pembicaraan orang-orang di dusun mereka. Sejak saat itu, Yunen tak pernah lagi membersihkan sepasang gigi palsunya.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-11202129002061683832009-02-21T01:37:00.001-08:002009-02-21T01:38:22.119-08:00Juaro 53PINTU ruangan itu terbuka, dua lelaki membawa satu balok es yang ukurannya setinggi tubuh Putra.<br />“Putra, saatnya kau tidur,” kata salah seorang dari dua lelaki itu.<br />Putra yang tubuhnya bagai karung basah, tak mampu melawan saat tubuhnya diseret ke atas balok es itu. Dia pun ditidurkan.<br />Selanjutnya kebekuan merayapi tubuh Putra. Tulang dan jantungnya seperti ikan di dalam kulkas. Melalui sorot matanya, Putra berusaha membunuh kami. Tetapi, dia tidak mampu. Hanya, di dalam mimpinya Palembang terbakar. Asapnya terbang dan bergabung dengan awan; mengelilingi bumi, mencari abad-abad kemenangan.<br />Jauh dari ruangan itu, kami pun tidak mampu membunuh Putra. Halimah dan Sulaiman hanya mampu memilih ikut Bambang ke Jakarta. Aku bersama Somad tetap bertahan di rumah rakitku.<br />Setiap malam kami menyanyikan lagu Cup Mutung milik Filus:<br />…cup, cup mutung<br />balik keTanggabuntung<br />cup, cup mutung<br />meleng keno pentung<br />cup, cup mutung<br />banyak rumah mutung<br />cup, cup mutung<br />aku minta tulung….<br />Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar Sulaiman tewas ditembak polisi lantaran ingin merampok seorang nasabah bank di Bandung.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-83799748674208753172009-02-21T01:36:00.001-08:002009-02-21T01:36:56.775-08:00Juaro 52PERTAHANAN yang dilakukan warga Kampung 7 Ulu, berupa ban mobil yang dibakar, pagar kawat berduri, serta papan yang dipasang paku, tak mampu menghadang laju ekskavator. Bahkan beberapa warga yang melawan, tubuhnya babak belur dipukuli bandit.<br />Hanya berkisar 10 jam, semua rumah di Kampung 7 Ulu serata tanah. Dirubuhkan dan dilindas tiga ekskavator.<br />Rencana warga yang ingin membakar ekskavator juga gagal, sebab bensin dan minyak tanah yang disiapkan warga keburu ditemukan beberapa polisi dan polisi pamong praja.<br />Warga Kampung 7 Ulu hanya dapat memaki dan menangis. Mungkin, hanya aku yang tidak memaki dan menangis. Aku dan beberapa warga mencoba mengamankan beberapa barang yang dapat diselamatkan. Sementara, rumah rakitku sebelum penggusuran telah kupindahkan ke tepian Kampung 14 Ulu.<br />Setelah penggusuran itu, warga kemudian ditawari Walikota Palembang, Albert Membara, untuk ikut transmigrasi atau mengkredit rumah tipe 36 di daerah Siapi-api. Lalu, mereka diberi pesangon uang sebesar Rp 500 ribu per keluarga.<br />Tak ada pilihan buat warga. Mereka harus memilih di antara kedua pilihan yang bukan pilihan itu. <br />Jelasnya, mereka harus meninggalkan Sungai Musi yang telah menghidupi tiga generasi keluarga mereka.<br />Di tempat tinggal yang baru, mereka tak akan lagi merasakan sentuhan air Sungai Musi, mendengar deburan ombaknya, atau menikmati embusan angin di tengah teriknya matahari yang menyinari Sungai Musi. Mereka pun dipastikan tidak dapat melihat Jembatan Ampera setiap saat.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-26315509186186460702009-02-17T14:57:00.001-08:002009-02-17T14:59:24.245-08:00Juaro 51BAPAK Putra berdiri kaku di depan pintu rumah rakitku. Mata Halimah tak bekedip. Dia terpaku seperti melihat hantu, matanya berkaca-kaca. Tak lama kemudian keduanya berpelukan. Mereka menangis. Tubuh mereka bergetar. Sinar matahari pagi pun tak mampu menghangatkan tubuh mereka yang menggigil.<br />Beben yang mengantar kedua orangtua Putra ke rumah kami, tampak kebingungan. Lalu… <br />“Jadi, Putra itu anakku,” kata Halimah. <br />Pagi itu, di rumah rakitku, kami sekeluarga menangis. Dalam tangisan, kami tidak merasakan hantaman ombak yang mengguncang rumah rakitku. Pun kami tidak merasakan angin pagi yang berembus kencang.<br />Bambang mengambil Putra dan dibawa ke Jakarta, saat berusia 1,5 tahun. Putra diambil selain karena saat itu Bambang belum memiliki anak, dia pun ingin membantu beban adiknya Halimah yang baru saja ditinggalkan suaminya, Jai, yang minggat karena diburu petrus.<br />Sebenarnya, Bambang ingin membawa Halimah dan ketiga anaknya ke Jakarta tetapi dia takut identitas keluarganya diketahui orang lain. Lebih buruknya hal itu diketahui pimpinan perusahaan tempatnya bekerja, maka dapat dipastikan dia akan dipecat oleh perusahaan itu.<br />Bahkan, setelah mengambil Putra, Bambang meminta Halimah jangan sekali-kali menghubunginya.<br />“Biar bagaimanapun, pada anak ini mengalir darahku. Berarti anakku juga. Jadi, biarlah dia besar bersama kami,” kata Bambang saat itu.<br />Sebelum kembali ke Jakarta, Bambang memberi uang kepada Halimah untuk menyewa rumah dan modal berjualan sayuran di Pasar 16 Ilir.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-10060858517124062752009-02-17T14:55:00.002-08:002009-02-17T14:56:50.822-08:00Juaro 50DI teras sebuah rumah limas, di pinggiran Kota Palembang, Albert Membara tertawa sekeras-kerasnya. Tubuhnya terguncang. Sofyan, yang duduk di sampingnya, turut tertawa. Mereka menikmati buah duku.<br />“Baru tahu raso dio. Pikirnyo biso ngalake kito,” kata Albert Membara, kemudian tertawa lagi. Beberapa kunyahan buah duku melompat dari mulutnya.<br />“Kini pekerjaan kito jadi gampang. Hebat kito. Bila proyek itu sukses, itu artinya sudah ada jaminan buat aku menjadi Walikota periode ke depan kan. O, ya, Sofyan, kapan pengadilan melakukan penyidangan gugatan si Bakrie itu.”<br />“Kabarnya lusa. Tapi, buat apo dipikirke. Kito pasti menang. Bukti-bukti yang kito sodorkan membuat pengadilan percayo Bakrie yang punya tanah itu. Jadi, tenang bae, apalagi kiriman bapak sudah kukasih ke mereka,” kata Sofyan.<br />Tak lama kemudian, mereka pergi dari rumah kediaman pribadi Albert Membara itu. Mereka menuju ke sebuah rumah di kawasan Talangsemut. Dari luar, rumah itu seperti kediaman pribadi tetapi saat dimasuki, puluhan perempuan cantik dengan pakaian seronok menyambut mereka.<br />Rumah itu ternyata tempat pelacuran. Namun, tidak semua orang dapat masuk ke sana. Tempat itu hanya dapat dikunjungi para pelanggan tetapnya, yakni para pejabat dan pengusaha.<br />Seperti biasanya, Albert Membara dan Sofyan bergumul dengan beberapa perempuan. Mereka menegak minuman keras, menghisap ganja dan putau, lalu, diakhiri dengan berhubungan seks.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-66103465612381610642009-02-17T14:55:00.001-08:002009-02-17T14:55:41.687-08:00Juaro 49ORANGTUA Putra terkejut dan ketakutan ketika mendengar kabar anaknya diculik orang yang tak dikenal. Mereka diberi tahu setelah lima hari Putra tidak diketahui keberadaannya. <br />“Kalau dulu dia dengar nasihat aku, tidak usah kuliah di Palembang, mungkin tidak seperti ini kejadiannya. Papa kan yang memberi dukungan kepadanya,” kata ibu Putra, sesaat pesawat yang mereka tumpangi mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.<br />“Ya, sudah, Ma. Ini tak ada kaitannya dengan tempat dia kuliah. Ini kehendak Tuhan dan akibat para pejabat yang jahat dan korup. Palembang ini tempat kelahirannya, jadi jika dulu kucegah, percuma. Aku tahu wataknya yang keras,” kata bapak Putra.<br />Di bandara itu, kedua orangtua Putra dijemput Beben dan Tandu. Keduanya kemudian dibawa ke kantor LBH Swarna Bhumi.<br />“Menurut kami kemungkinan besar Putra diculik berkaitan dengan kerjanya membela warga Kampung 7 Ulu yang akan digusur. Dan, kami sudah melaporkan kasus ini ke polisi, dan polisi terus melakukan penyelidikan,” kata Beben.<br />“Apa kemungkinan dia selamat?” tanya bapak Putra.<br />Beben menatap Tandu serta beberapa aktivis LBH Swarna Bhumi lainnya.<br />“Pak Bambang, mudah-mudahan dia masih selamat. Kita berusaha dan berdoa,” kata Beben, terus menundukkan kepala dan menarik napas.<br />Ibu Putra tak mampu menahan tangisnya. Dia pun menangis sambil menutup kedua wajahnya dengan telapak tangannya. Suaminya berusaha menenangkan dengan cara memeluk pundaknya. Melihat adegan itu mata Beben dan Tandu pun berkaca-kaca. <br />Tak lama kemudian, di halaman Kantor LBH Swarna Bhumi itu, seratusan mahasiswa berunjukrasa. Unjukrasa memberi dukungan moral kepada kedua orangtua Putra.<br />“Putra Akan Selamat dan Penculiknya Akan Tertangkap” tulis para pengunjukrasa di sebuah spanduk warna putih. <br />Sebelumnya, seratusan mahasiswa tersebut berunjukrasa di Kantor Walikota Palembang dan Kantor Polisi Kota Besar Palembang. Dalam tuntutannya, mereka minta agar Putra dibebaskan dan penculiknya dihukum. <br />Di Kampung 7 Ulu, kedukaan juga dirasakan warganya. Setiap malam, setelah mengetahui Putra diculik, warga di kampung itu melakukan doa bersama.<br />Sedangkan media massa, hampir setiap hari memberitakan perkembangan penculikan terhadap Putra. Bahkan, kedua orangtua Putra beberapa kali diberitakan secara eksklusif oleh media massa cetak dan elektronik.<br />Puluhan pemberitaan media massa ataupun aksi para mahasiswa dan aktivis LSM mengenai penculikan Putra, tidak mampu membuat penculiknya membebaskan Putra. Termasuk aksi mogok makan yang dilakukan Yulia, pacar Putra.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-1918335496409080762009-02-17T14:54:00.001-08:002009-02-17T14:54:37.517-08:00Juaro 48UDARA panas. Musim kemarau telah mencuri dua bulan milik musim hujan. Ketika mau naik jembatan penyeberangan di depan International Plasa, seorang lelaki bertubuh tegap, berambut panjang, mengenakan jaket kulit warna hitam, menabrak tubuh Putra. Putra terkejut dan menoleh ke arah lelaki yang mengenakan kaca mata hitam itu. Lelaki itu tersenyum.<br />Lelaki itu mengikuti Putra. Saat berada di atas jembatan, lelaki itu kembali menabrak tubuh Putra. Ketika Putra menoleh….<br />“Ikut aku. Jangan banyak ngomong. Diam,” kata lelaki itu kemudian tersenyum. Pinggang Putra terasa dingin oleh senjata api yang ditodongkan lelaki itu.<br />“Sebentar, Pak. Aku mau temui kawan dulu,” kata Putra.<br />“Tidak bisa. Ikut aku. Ini penting,” katanya. Dia menarik tangan Putra.<br />Putra dinaikkan ke sebuah mobil sedan warna hitam, yang diparkir tak jauh dari jembatan penyeberangan itu. Di dalam mobil itu, telah menunggu dua lelaki. Mereka duduk di depan.<br />“Kita mau ke mana, Pak?” tanya Putra yang wajahnya memucat.<br />“Jalan-jalan. Ada orang yang mau ketemu kamu. Tenang bae,” kata lelaki yang duduk di depan, di samping sopir. <br />Lelaki itu berkacamata minus, mengenakan kemeja putih, tubuhnya kurus dan bau ketiaknya cukup menyengat. Sedangkan yang menyopir, tubuhnya tegap seperti lelaki yang menodongkan pistol kepada Putra. Dia pun mengenakan jaket kulit warna hitam. Bedanya rambut lelaki yang menyopir ini dicukur pendek, nyaris botak.<br />Putra diajak keluar kota, mengarah ke Inderalaya. Sepanjang perjalanan mereka tak bicara. Meskipun AC mobil itu menyala, wajah dan tubuh Putra berkeringat.<br />“Ni minum. Haus kan?” tanya lelaki yang berkemeja putih.<br />Putra mengangguk, lalu meneguk air mineral yang disodorkan. Tak lama kemudian Putra merasakan kepalanya begitu berat, pandangannya berbayang. Sekian detik kemudian dia pun tertidur.<br />Saat terbangun Putra sudah berada di sebuah ruangan tertutup. Dindingnya plesteran semen yang tak dicat, disinari lampu 15 watt, tak ada tempat tidur, tak ada jendela. Suara dari siaran radio terdengar cukup keras.<br />Putra ketakutan. Dia berulang berteriak dan menggedor pintu ruangan itu dari dalam. Tidak ada yang dapat mendengarnya. Setelah beberapa jam berteriak dan menggedor pintu, Putra kelelahan. Dia pun menangis.<br />Sepanjang malam, di dalam ruangan itu, Putra menahan rasa lapar, haus dan dingin.<br />Sementara suara dari siaran radio terus menyesaki telinga Putra. Kemudian secara perlahan suara itu menggempur isi kepala Putra. Dan, pada akhirnya setiap kata dari radio itu bagai ledakan bom yang menghantam kepalanya.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-72459575859986322542009-02-17T14:53:00.000-08:002009-02-17T14:54:03.251-08:00Juaro 47SUDAH dua mangkok pindang patin dihabiskan Ahmad Liam. Beberapa tetes kuahnya tumpah di jas hitam yang dipakainya. <br />Dia ambil dua batang tusuk gigi. Dicukilnya cela beberapa gigi bawahnya yang coklat kehitaman, yang mungkin akibat candu rokok dan kopi.<br />“Kalau kau menghubungi dari dulu, mungkin urusannya tidak serepot ini. Jadi apa maunya Pak Walikota?” tanya Ahmad Liam, kemudian menyandarkan tubuhnya yang gemuk ke kursi.<br />Belum keluar jawaban Sofyan, ketua Dewan itu meminta pelayan rumah makan Kembang Manis, tempat mereka makan, menyalakan AC (Air Conditioner).<br />“Sudah dihidupkan, Pak,” kata pelayan itu.<br />“Kok masih panas. Coba turunkan lagi suhunya,” kata Ahmad Liam.<br />“Pak Liam, Pak Wali minta agar Dewan tidak mengeluarkan rekomendasi sampai pengadilan memutuskan gugatan Haji Bakrie kepada warga,” kata Sofyan.<br />Ahmad Liam manggut-manggut, sekian detik dia menatap Sofyan.<br />“Jadi, itu saja?”<br />Sofyan mengangguk.<br />“Lalu, buat aku dan buat kawan-kawan Dewan lainnya, apa? Kasus ini cukup berat, sebab opininya tidak baik buat kami jika kami mengambil keputusan yang tidak berpihak kepada rakyat,” kata Ahmad Liam.<br />“Soal itu, tenang saja, Pak. Kami akan beri uang lelah. Untuk Bapak satu batang dan kawan-kawan dewan lainnya setengah batang,” kata Sofyan.<br />“Maksudmu untuk aku hanya satu miliar?”<br />Sofyan kembali mengangguk. Ahmad Liam tertawa.<br />“Uang sebesar itu tidak ada artinya dengan risiko yang kami ambil,” kata Ahmad Liam.<br />Sofyan termangu.<br />“Pantasnya berapa?” tanya Sofyan.<br />“Aku lima batang dan kawan-kawanku mungkin cukup tiga batang,” jawab Ahmad Liam.<br />Sofyan menarik napas.<br />“Apa itu tidak terlalu tinggi. Dari mana uang sebanyak itu dimiliki Pak Wali,” kata Sofyan.<br /> Ahmad Liam kembali tertawa.<br />“Oi, aku ni bukan minta dengan Pak Walikotamu itu. Aku minta dengan bosnya. Oke, aku mau pulang dulu. Kau kan yang bayar makan siang ini,” kata Ahmad Liam.<br />“Ya, Pak. Sebentar, Pak. Aku telepon dulu beliau,” kata Sofyan.<br />Sofyan kemudian menghubungi Albert Membara. Dia menjauhi Ahmad Liam sekitar 15 meter. <br />Dari jauh, Sofyan tampak berulang mengangkat tangan kirinya saat menelepon. Lalu, sekian detik kemudian, dia tersenyum. Buru-buru dia menemui Ahmad Liam.<br />“Beliau tawar empat batang buat Bapak, dan dua batang buat kawan-kawan Bapak. Cukup kan, Pak. Beliau bilang minta tolong nian, Pak,” kata Sofyan.<br />Ahmad Liam merangkul Sofyan.<br />“Oke, aku setuju. Tapi semua uangnya harus diserahkan dulu dengan aku. Jangan kau yang membagikan uangnya ke kawan-kawanku.”<br />Sofyan mengangguk.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-16023733632487936622009-02-17T14:52:00.000-08:002009-02-17T14:53:21.105-08:00Juaro 46WARGA Kampung 7 Ulu panik setelah membaca berita di koran tentang gugatan Haji Bakrie kepada mereka ke pengadilan. Warga kampung itu dituduh Haji Bakrie telah menyerobot lahan miliknya. Lahan itu adalah tanah yang ditempati warga yakni kampung 7 Ulu.<br />Warga kemudian membahas soal gugatan Haji Bakrie itu dengan Putra dan beberapa kawannya.<br />“…menurut ketua tim kuasa hukum Haji Bakrie, Sofyan, SH, kepada pers, seusai mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Palembang, Senin kemarin, tanah yang digunakan warga kampung 7 Ulu untuk tempat tinggal selama bertahun-tahun adalah tanah milik keluarga Haji Bakrie. Tanah seluas 1 hektare itu dibeli kakek Haji Bakrie, yakni Raden Haji Muhammad Abdullah Tholib dari Pemerintah Belanda seharga 3.000 golden pada tahun 1920. Kemudian di atas lahan itu oleh Raden Haji Muhammad Abdullah Tholib didirikan sejumlah rumah bagi buruh perusahaan kapalnya. Namun saat Indonesia merdeka, Raden Haji Muhammad Abdullah Tholib ikut istrinya, Yohana, pulang ke Belanda. Ahli warisnya, dalam hal ini Haji Bakrie, mempunyai bukti-bukti suratnya, kata Sofyan kepada wartawan….”<br />“Itu bohong! Bapak kami memang bekerja dengan Pak Haji Tholib. Tapi bukan dio punya tanah dan bukan dio membangun rumah kami. Itu bohong besar,” kata Dollah kemudian melemparkan koran yang menulis berita tersebut.<br />“Seingatku, kata abahku, tanah dan rumah di sini memang hasil pembelian warga dewek. Masing-masing. Ini kampung sudah ada sejak zaman kesultanan. Dari mano dio dapat beli tanah ini,” timpalku.<br />“Jadi, kito harus lawan mereka,” kata Dollah. <br />“Bapak-bapak dan ibu-ibu, jika pengadilan memproses gugatan mereka, kemungkinan kita akan kalah sebab hampir semua dari kita kan tidak mempunyai bukti kepemilikan tanah,” kata Putra.<br />Perkataan Putra itu membuat kami terkejut. Kami marah dan kesal. Tetapi, memang itu kenyataannya. Akibat kebakaran yang pernah menghanguskan kampung kami, pada Agustus 1995, hampir semua surat kepemilikan tanah kami habis terbakar. <br />Setelah kebakaran itu tidak ada warga yang membuat surat tanah yang baru. Selain soal biaya yang tinggi, warga pun berpikir tidak perlu memiliki surat tanah sebab tidak mungkin warga di Kampung 7 Ulu akan saling mencuri tanah.<br />“Mungkin salah satu cara untuk melawan kito harus bersatu untuk tetap bertahan di kampung ini, dan kito terus mencari bukti dan membangun opini bahwa tanah ini memang milik kito,” kata Putra.<br />Meskipun Putra memberi semangat seperti itu, kami tetap sedih, marah dan kesal.<br />Saat pulang ke rumah masing-masing, malam itu tidak seorang pun warga Kampung 7 Ulu yang dapat tidur dengan nyenyak.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-34638496201521666322009-02-11T22:13:00.001-08:002009-02-11T22:13:35.549-08:00Juaro 45SEBUAH gelas dilempar Albert Membara ke cermin di ruang kerjanya. Tar! Pecahan kaca berserakan di lantai. <br />“Biarkan! Tidak usah dibersihkan,” kata Albert kepada Sofyan yang mau membersihkan pecahan kaca itu.<br />Albert Membara kesal karena Jai dipecat sebagai anggota Dewan. <br />Jai dipecat oleh partai politiknya lantaran media massa terus memberitakan latar belakang orang kepercayaan Albert Membara itu. <br />Pemberitaan dimulai dari pengakuan Halimah, mengenai latar belakang Jai, mantan suaminya. Kemudian pemberitaan mengenai pengakuan dan kesaksian orang-orang yang pernah mengenal Jai, termasuk Iman yang kini menjadi seorang ulama. <br />Sekitar 15 menit, Albert Membara dan Sofyan diam. Kedua mata Albert Membara ngabang. Sesekali terdengar gemeretak giginya. Tangannya berulang dipukulkan ke atas meja. Sofyan menundukan kepala, kedua tangannya mengusap dengkul kakinya.<br />“Aku minta besok pagi pengaduan ke pengadilan itu sudah masuk. Jadi kau suruh budak-budak pengacara itu cepat selesaikan. Kalu idak, mereka kutembak. Tau!”<br />“Ya, Pak,” jawab Sofyan.<br />“Na, jugo siapkan langkah keduo itu.”<br />“Beres, Pak.”<br />“Jangan beres-beres. Kalu kito gagal, kau dulu kutembak. Ngerti! Sano pergi.”<br />Albert mengambil beberapa butir obat penenang dari laci mejanya. Glek. Kemudian dia menghidupkan radio tapenya. Tak lama kemudian Albert tertidur.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-70331060268076293212009-02-11T22:12:00.002-08:002009-02-11T22:13:13.585-08:00Juaro 44SULAIMAN tiduran di dalam perahu. Dibiarkannya perahu itu terombang-ambing oleh arus Sungai Musi. Terik matahari sore seolah tak dirasakannya. Beberapa penarik perahu ketek tampak kesal lantaran perahu yang dinaiki Sulaiman menghadang jalannya. Sulaiman baru beberapa jam keluar dari penjara.<br />Sulaiman berdiri. Dia kemudian berteriak.<br />“Bapak gilo! Bapak gilo! Kubunuh kau!”<br />Beberapa orang tengah mandi terkejut mendengar teriakan Sulaiman itu, begitupun mereka yang tengah naik perahu ketek. Namun, sebagian kemudian tertawa.<br />“Ado apo, Mang? Dio marah dengan Mamang?” tanya Husin, anak Dollah, yang baru naik ke darat sehabis mandi.<br />“Idak. Bukan marah dengan Mamang,” jawabku.<br />Halimah duduk di kursi, menatap Sungai Musi melalui jendela.<br />“Kau pulo. Budak baru keluar, kau ceritoke soal Jai. Mano nak stres dio,” kataku.<br />Halimah menarik napas. <br />“Biar cepat tau kian bagus. Bapaknyo memang gilo. Gilo! Bagusnya dio cepat mati bae dulu. Ditembak petrus.”<br />“Ya, sudah, aku nak cari duit dulu.”<br />Aku membawa perahu ketekku ke Dermaga Benteng Kuto Besak. Kubiarkan Sulaiman terombang-ambing bersama perahunya. Sulaiman mati pun aku tidak peduli, pikirku. Dia bukan anakku dan selalu menyusahkan kami.<br />Dermaga Benteng Kuto Besak dipenuhi orang-orang yang baru pulang dari kerja, baik yang bekerja di Seberang Ilir maupun yang baru pulang dari pabrik-pabrik di Iliran.<br />Beberapa petani dengan perahunya beranjak pulang ke dusunnya di Uluan, setelah seharian menjual sayuran dan buahan di sekitar dermaga itu. <br />“Mang Hasan! Mang Hasan!” panggil Putra.<br />“O, awak Putra. Awak nak ke mano?”<br />“Aku memang nak cari Mang Hasan. Ado kabar baik. Jai dipecat oleh parpolnya sebagai anggota Dewan. Kabarnya dio sekarang berangkat ke luar negeri. Mungkin malu.”<br />Bagai minum air susu hangat aku mendengar berita itu. Aku tertawa. Selanjutnya kami tertawa sekeras-kerasnya, tidak peduli orang-orang di sekitar kami keheranan. Tiang jembatan Ampera kulihat seperti batangan emas.<br />“Ayo, ke rumah. Kito minum kopi. Kito kasih tau wong kampung,” ajakku.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-34038718658446822312009-02-11T22:12:00.001-08:002009-02-11T22:12:25.434-08:00Juaro 43SOFYAN turun dari mobil Panther-nya yang diparkir tidak jauh dari kantor Walikota Palembang. Dia menelepon Jai.<br />“Sekarang, ya, Pak Jai. Oke, sekarang.”<br />Tak lama kemudian puluhan mahasiswa turun dari sebuah bus yang diparkir tak jauh dari Gedung Dewan Palembang. Mereka membentuk barisan dan membentangkan sebuah spanduk. Spanduk itu berisi tulisan, “Kami Mahasiswa Palembang Mendukung Penuh Kebijakan Pemerintah.”<br />Mereka bergerak menuju halaman Gedung Dewan. Puluhan polisi berbaris di muka gerbang, menghadang jangan sampai mahasiswa itu berhadapan langsung dengan kami.<br />“Oi, ado aksi menentang kito. Kito lawan, yok!” teriak seorang warga.<br />Para mahasiswa itu tidak meneriakkan yel-yel. Diam. Sebagian malah cengar-cengir.<br />“Kalian ini gilo! Masak mau dibayar untuk aksi ini. Mestinya kamu-kamu ini bela kami. Wong kecik. Wong tuo kamu.”<br />Para mahasiswa itu tidak bereaksi dengan teriakanku itu. Mereka diam. Aku dan beberapa warga melempari mereka dengan bungkus rokok dan bekas bungkus nasi. Mereka tetap diam. Polisi merapatkan barisan.<br />“Pasti kalian dibayar!” kataku.<br />“Kalu dijingok dari rainyo memang mereka ini pendemo bayaran,” kataku lagi.<br />Lantaran para mahasiswa itu tidak bereaksi, aku kembali mendekati pintu masuk gedung Dewan. <br />Tiba-tiba, sekelompok orang yang tak jauh dari barisan mahasiswa, melempar batu ke arah kami. Kami terkejut dan panik. Kami pun membalas lemparan batu itu. Terjadilah perang batu. <br />Para mahasiswa yang berunjukrasa mendukung kebijakan Pemerintah bubar. Mereka berusaha menyelamatkan diri. Polisi kebingungan, mereka pun berusaha menyelamatkan diri dari lemparan batu. Orang-orang di dalam gedung Dewan keluar, mencoba menghentikan perang batu itu. Sia-sia…<br />Bentrokan tak terelakan. Kami keluar dari halaman gedung Dewan. Menyerbu sekelompok orang yang menyerang kami itu. Kami memukul mereka dengan tangan kosong atau benda yang ditemukan, seperti kayu dan batu. <br />Ternyata kami dijebak. Dari arah yang lain datang sekelompok pemuda yang membawa senjata tajam. Pisau dan golok mereka acungkan kepada kami. <br />Kami berlari masuk ke halaman gedung Dewan. Para pemuda itu mengejar kami. Beberapa polisi mencegah mereka dengan cara menembak ke atas. Kami semampunya melawan mereka. Perempuan dan anak-anak yang ikut berunjukrasa menjerit ketakutan.<br />Serangan mereka hanya sekitar lima menit. Mereka lari dan menghilang setelah terdengar sirene mobil polisi.<br />Meskipun tidak ada yang mati, puluhan orang mengalami luka-luka, termasuk aku yang terkena sabetan pedang di tangan kiri.T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6008610635714641285.post-63848256749034852652009-02-11T22:11:00.001-08:002009-02-11T22:11:48.847-08:00Juaro 42SELAMA peristiwa itu berlangsung aku bengong. Aku baru tersadar ketika Ahmad Liam mengetok palunya karena ruang pertemuan gaduh.<br />“Mana Halimah tadi?” tanyaku. <br />“Dibawa keluar. Urus bini awak tu, Pak,” jawab Solikin yang duduk di sebelahku.<br />Aku bergegas keluar dari ruang pertemuan. Kutemui Halimah yang duduk di dekat salah satu tiang teras Gedung Dewan itu. Dia dikelilingi sejumlah warga dan beberapa wartawan.<br />“Nian, Pak. Dio itu Jai, bapaknya Sulaiman, bapaknya Taufik.”<br />“Sudahlah. Mungkin muka dan namanya samo. Sudahlah. Idak mungkin kalu benar dio lupa dengan awak.”<br />“Aku nih dak mungkin salah. Dio kan bekas laki aku.”T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0