Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Sabtu, 10 Januari 2009

Juaro 1

PERAHU tongkang melintas. Ombaknya menghantam dinding rumah rakit kami, mungkin untuk kesejuta kalinya. Sudah 15 menit aku memandang cahaya dari lampu laser yang ditembakkan dari atas Kantor Walikota Palembang. Cukup menarik. Satu jam listrik padam di dalam ratusan rumah di tepian Sungai Musi. Dada telanjangku mencari angin.
Sejak tahun 2003, penampilan Palembang mengalami perubahan. Dari kota yang sebelumnya dikenal gelap—bila dibandingkan dengan kota besar lainnya di Indonesia—Palembang berubah menjadi kota warna-warni pada malam hari. Ibarat di dalam sebuah ruangan diskotek.
Selain dipenuhi lampu taman dan lampu jalan yang kembali dinyalakan, Palembang juga dihiasi lampu laser seperti di atas kantor walikota itu dan lampu penjor yang digantung di pepohonan tepi jalan, ibarat barisan pohon Natal. Seperti kota besar lainnya, pohon-pohon lampu—seperti pohon pinang dan kelapa—juga menghiasi Palembang. Semuanya menjadi indah.
Tetapi, keindahan Kota Palembang pada malam hari tak sepenuhnya dinikmati warganya. Lampu-lampu itu justru dipersalahkan sebagai penyebab sering padamnya listrik di rumah warga. Logika warga, padamnya listrik sebagai akibat daya dan arus listrik mereka—yang sebagian besar membayar dengan harga tetap setiap bulan meskipun telah berusaha menghemat— tersedot lampu-lampu tersebut.
Soal lampu-lampu hias itu, mungkin sebagian warga Palembang masih ada yang membela Walikota. Tetapi jika sudah bicara air bersih, tampaknya kota yang dibelah Sungai Musi dan pernah memiliki ratusan anak sungai itu, harus tertunduk malu dengan kota-kota besar lainnya.
Bila dibandingkan dengan kota-kota yang tidak sebesar Palembang, misalnya Bandar Lampung dan Jambi, pelayanan Pemerintah untuk menyediakan air bersih buat masyarakat sangatlah buruk.
Masyarakat yang tinggal di dataran tinggi di Bandar Lampung dapat menikmati air bersih melalui pipa-pipa yang menanjak. Pemukiman-pemukiman penduduk baru di Jambi, tak perlu menunggu dua kali pergantian walikota untuk dapat menikmati air bersih. Sementara di Palembang, seperti pemukiman di Plaju—daerah rawa-rawa yang cuma beberapa ratus meter dari Sungai Musi—warganya harus membeli air bersih setiap hari.
Kota Palembang terbagi dua bagian, yakni Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Bila menyusuri Sungai Musi dari perkampungan Kertapati yang berada di Ulu hingga perkampungan Sungaibatang di Ilir, jaraknya sekitar 6 kilometer, akan terlihat perbedaan mencolok di dua wilayah itu.
Rumah-rumah penduduk di tepian Sungai Musi bagian Ulu, beranda rumah panggungnya menghadap sungai. Sementara di Ilir, yang menghadap ke sungai adalah belakang rumah panggungnya.
Jadi, sehari-hari, masyarakat di Ulu aktivitasnya di Sungai Musi lebih dinamis dibandingkan masyarakat di Ilir.
Selama bertahun-tahun, mereka yang berasal dari pedalaman atau udik di Sumatra Selatan, ketika pindah ke Palembang umumnya menetap di Seberang Ulu.
Masyarakat yang hidup di Ulu, umumnya bekerja sebagai buruh, pengrajin, atau nelayan. Sementara di Ilir, sebagian besar adalah pedagang dan pegawai pemerintah. Bilapun di bagian Ulu ada yang menjadi pedagang, rata-rata dari etnis Cina atau Arab.
Di dalam perkembangan kota, Seberang Ulu jauh tertinggal dari Seberang Ilir. Misalnya soal penyediaan fasilitas umum, seperti pembangunan jalan, penyediaan air bersih, atau rumah sakit.
Mungkin sadar adanya perbedaan perkembangan kota itu, pemerintah kemudian menjalankan proyek reklamasi Jakabaring. Sebuah proyek penyulapan kawasan rawa-rawa dan hutan semak di daerah Jakabaring, Seberang Ulu menjadi kawasan perumahan, perkantoran, pasar, taman, dan sarana olahraga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar