Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Senin, 19 Januari 2009

Juaro 16

AWAL Desember 1984. Sarif ditemukan keluarganya di dalam sebuah karung goni, di bawah pohon akasia, di Kilometer 15, Jalan Raya Palembang-Inderalaya. Tiga jam sebelumnya polisi memberitahu keluarganya.
Saat mayatnya dikeluarkan, kedua tangan dan kakinya diikat seperti posisi bayi di dalam kandungan ibunya. Sebuah lubang peluru menganga di pelipis kirinya. Di saku kemejanya ditemukan selembar kertas dan uang Rp 25 ribu. Tulisan di kertas itu “Berdoalah kepada ibu dan bapakmu” serta “Biaya penguburan” dan “Penembak Misterius”
“Dia didor petrus,” kata Iman kepada Jai. ”Aku jadi bingsal, Man.”
Malam itu, Jai menemui Iman yang tengah mengunjungi orangtuanya di Puncaksekuning, Palembang. Sejak 1981, seusai kebakaran yang menghanguskan ribuan rumah di 22 Ilir, 23 Ilir, 24 Ilir, 26 Ilir, 27 Ilir, kedua orangtua Iman pindah dari Cempaka Dalam.
“Saranku, kau pergilah, jauh-jauh dari Pelembang. Kalu sudah aman, baru awak balik ke Pelembang,” kata Iman.
“Ya, ya, tapi sekarang aku nak beli kartu porno dulu,” kata Jai terus menyodorkan selembar uang seribu rupiah.
“Tumben kau nak beli, biasonya jugo minta. Embekla duitmu, kagek aku kasih kartunyo.”
“Idak lemak, aku nak beli. Aku banyak duit.”
“Ya, aku pecayo. Tapi, ya, sudah.”
Setelah menerima kartu porno itu, Jai pergi mengendarai sepeda. Dia pulang ke arah rumah istri keduanya yang masih di Puncaksekuning tapi lebih masuk ke dalam, di daerah persawahan.
Beberapa meter meninggalkan rumah orangtuanya, sebuah mobil Toyota berwarna merah berhenti di samping Iman. ”Selamat malam, Pak.”
Iman menoleh ke arah kaca samping mobil itu. Seorang lelaki berambut pendek, berkumis tebal, tersenyum. Di sampingnya, yang membawa mobil, lelaki berambut panjang. Samar-samar Iman melihat dua lelaki duduk di bangku belakang mobil.
“Malam, Pak.”
Lelaki yang menyapa Iman turun dari mobil. Dia mengenakan rompi warna hitam. Iman melihat di pinggangnya terselip sebuah senjata api. “Kalau mau keluar, lewat mana, Pak?”
“Kalau ke depan jalan ini, belok kanan, ke Jalan Kapten Achmad Rivai. Bapak mau ke mana?”
“Kami mau keluar. Kalau terus ke dalam.”
“Ini jalan buntu. Ujungnya persawahan.”
“Maaf, Pak. Bapak pulang ke mana? Bapak kerja di mana? Bawa KTP (Kartu Tanda Penduduk).”
Iman tersentak. Tetapi, dia tetap mengeluarkan kartu tanda penduduknya.
“Aku, aku pulang ke lorong Kulit. Aku dari rumah orangtua di sini. Kerjaku di toko sepatu di Pasar 16 Ilir,” kata Iman seperti terburu-buru.
Seorang lelaki yang duduk di belakang mobil ikut turun. Matanya menatap tajam. Jantung Iman berdetak cepat. Pikirannya mengatakan mereka itu adalah petrus. Jika dirinya diculik, Iman berharap masih punya kesempatan menemui istri dan kedua anaknya.
“Kalau mau diantar, kami antar,” kata lelaki berompi itu sambil mengembalikan kartu tanda penduduk milik Iman.
“Biarlah, aku jalan saja.”
“Nggak apa-apa. Jangan takut. Kami antar, kok,” kata lelaki yang turun belakangan dari mobil.
“Aku biasa jalan. Terimakasih.”
“Begini, Pak…,”
“Bapak anggota (polisi), kan?” Iman tidak mampu menahan kecurigaannya.
Lelaki berompi itu mengangguk, lalu menyodorkan sebuah foto.
“Kami mau tanya. Bapak kenal orang ini?”
Saat melihat foto itu Iman bagai disambar petir. Dia berusaha menutupi keterkejutannya.
“Tidak kenal, Pak,” jawab Iman.
“Masak tidak kenal, namanya Jai.”
“Aku tidak kenal nian, Pak.”
Sejenak lelaki itu menatap wajah dan kedua mata Iman. Iman berusaha keras tidak mengedipkan mata. Dia berharap kebohongannya tidak diketahui.
“Ya, sudah. Kalau mau diantar, ikut kami.”
“Terimakasih, Pak. Biarlah saya jalan. Saya biasa jalan,” kata Iman.
Iman bergegas pergi. Tetapi, mobil itu mengikutinya. Baru di Jalan Kapten Achmad Rivai mobil itu berhenti menguntit. Iman yakin, dirinya tidak dicurigai sebagai bandit lantaran di tubuhnya tidak ada tato. Kalau ada, mungkin dia juga menjadi sasaran petrus.
Besoknya Iman meminta anak buahnya mencari Jai. Menyampaikan kabar agar Jai segera pergi dari Palembang. Petrus mencarinya. Jai memang dikenal sebagai perampok yang suka membunuh dan memerkosa. Puluhan orang telah dibunuhnya.
Wilayah operasi kejahatan Jai adalah dusun-dusun di Musi Banyuasin. Jaraknya dari Palembang sekitar 100 kilometer.
Malamnya saat Jai ingin bertemu dengan Iman di Pasar 16 Ilir, pasar itu terbakar. Hangus. Rata dengan tanah.
Dan, setelah membantu Mat Pilis menghabisi dirinya dengan membakar diri, Jai menghilang. Istri keduanya, yakni Halimah ditinggalkan bersama ketiga anaknya.
Soal banditnya, Palembang tersohor ke penjuru Indonesia, termasuk di Malaysia dan Singapura. Jai dan Mat Pilis adalah sebagian kecil bandit di Palembang. Hampir pada setiap perkampungan padat dan kumuh, akan dilahirkan seorang bandit.
Karier bandit di Palembang itu berjenjang. Awalnya adalah bandit kampung alias “lipas tanah”, kemudian naik menjadi “tikus angin” yang memperlebar wilayah curian; tidak hanya di kampung sendiri. Namun, sasarannya sama yakni sandal kulit, sepatu, pakaian di jemuran, sepeda, dan paling tinggi mereka membongkar warung atau rumah; mencuri barang elektronik seperti televisi, atau pula menodong pendatang di kampung mereka.
Dari “tikus angin” beranjak menjadi bandit sebenarnya. Mereka pun mulai melakukan kejahatan berupa perampokan.
Ada kejahatan yang paling dibanggakan para bandit Palembang, yakni mampu merampok nasabah bank atau toko emas, menjadi perompak di Sungai Musi atau di laut, serta memiliki daerah kekuasaan untuk dipunguti biaya parkir kendaraan atau biaya keamanannya. Alasannya, merampok nasabah bank, merampok toko emas, merompak kapal barang, atau menjaga keamanan di suatu tempat—seperti pasar, pelabuhan atau pertokoan—mendatangkan penghasilan yang besar.
Lalu, tidak sedikit para bandit di Palembang kemudian menggunakan hasil kejahatannya untuk membuka sebuah usaha ekonomi, serta untuk membangun rumah buat orangtuanya. Dari usahanya itu, kemudian mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji—mayoritas masyarakat di Palembang beragama Islam. Mereka pun masuk ke dalam pepatah yang sering terdengar di masyarakat, “Lebih baik dari bandit menjadi ulama, daripada dulunya ulama berubah menjadi bandit.”
Takutkah mereka dengan dosa seperti yang diajarkan semua agama? Para bandit itu mengaku kejahatan yang mereka lakukan adalah sebuah dosa. Tetapi, kata mereka, apakah tidak lebih berdosa bila membiarkan keluarga mereka kelaparan, bodoh lantaran tidak dapat sekolah dan membeli buku, serta berpenyakitan karena kemiskinan.
“Kami tidak mau sudah berdosa di akhirat, miskin pula di dunia,” kata mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar