Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 13 Januari 2009

Juaro 8

TAUFIK duduk di bangku warung Bicek Ida. Matanya penuh harap menatapku.
“Besok bae. Abah dak dapet duit,” kataku.
Seekor kucing kurapan berwarna hitam menabrakku. Kutendang tapi tidak kena.
“Na kan, abah tu kalau untuk minum, ado. Tapi, kalu untuk biaya sekolah anaknya, dak katik tula,” kata Taufik.
“Pilat ini, sudah dikatoke katik masih bantahan. Kito ni wong saro, bukan wong kayo. Sekolah pulo mahal nian. Gigolo galo guru sekarang ini. Tau kau gigolo? Gilo galo tau. Dikit-dikit nak duit. Tiap bulan ganti buku. Wajar, uji wong tu, guru kencing berdiri murid ngencingi guru. Bukan ilmu yang diturunke. Samo bae guru dengan linda. Tau dak linda? Lintah darat.“
Taufik tertunduk diam. Kedua telapak tangannya saling meremas. Lalu, dia pergi dengan kepala tetap tertunduk.
Aku masuk ke rumah, membusungkan dada. Aku seperti baru saja memenangkan sebuah pertarungan. Aku menabrak bantal dan kasur, berlari memasuki lorong tidur. Istriku yang tadinya sibuk mencuci mencoba mencegahku tidur dengan berteriak-teriak. Tetapi, dia gagal mencegahku, termasuk suara perahu ketek dan kapal cepat yang melintas.
Selama tidur puluhan bidadari memeluk dan menciumku. Tubuh mereka terasa sejuk dan wangi. Dalam tidurku tak ada air Sungai Musi yang memuakkan itu, tak ada sinar matahari yang dapat membuatku menjadi ikan asin, tak ada ikan juaro yang membuatku kehilangan berton-ton tai.
Lima jam kemudian, aku ditarik dari lorong tidur. Orang-orang berdatangan ke rumah kami. Istriku menangis meraung-raung. Beberapa kali istriku pingsan. Taufik bunuh diri dengan cara terjun ke Sungai Musi. Dia terjun ke Sungai Musi bersama sekantong batu koral yang diikatkan ke tubuhnya.
Rumah rakit kami bagai disapu ombak laut. Terhempas dan pecah. Dia menulis surat buatku yang dimasukan ke dalam tas sekolahnya: “…Abah, aku memang bukan anak kandungmu. Daripado aku nyusake, lebih baek aku mati bae. Itung-itung ngurangi kesulitan keluarga kito….”
Tetangga kami, Dollah, secara tidak sengaja mendapatkan jasad Taufik yang tersangkut di jala ikannya.
Berhari-hari istriku tidak lepas dari tangisan. Aku berutang banyak minuman anggur dengan Somad. Dan, setiap malam aku mengutuk presiden, menteri pendidikan dan para guru. Selama dua bulan, lebih aku tak mampu meraba dan melihat kemaluan istriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar