Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 11 Januari 2009

Juaro 5

“KAWIN dengan kau ni dak katik lemaknyo. Kau ini hanya modal titit bae,” kata istriku.
Mendengar ucapan istriku itu, aku bagai dituduh mencuri dan ditampar seorang polisi. Sungguh, aku benar-benar terkejut karena sebelumnya istriku tampak sabar dan pendiam. Namun, aku tidak dapat membantah ucapannya itu. Hari itu aku tidak masuk kerja dan seharian merenungkan perkataannya.
Kesimpulanku, bukan hanya keinginan memiliki anak yang menyebabkan istriku berkata seperti itu. Persoalan keluargaku yang hidup miskin dan secara ekonomi sangat bergantung kepada kami, mungkin yang menyebabkan dirinya tertekan. Aku yakin, tidak satu pun anak dari keluarga kaya dapat bertahan lama jika menikah denganku. Apalagi, perkawinan itu bukan didasarkan oleh rasa cinta.
Malamnya. “Kalau awak memang idak tahan lagi dengan aku, aku anterke ke rumah abahmu,” kataku.
“Ya, aku memang idak tahan lagi. Aku benci dengan awak. Aku benci dengan keluarga ini,” katanya. “Bila kupertahankan keluarga kito dan hidup seperti ini, kito takkan berubah. Kito akan terus seperti ini, menjadi sapi perahan mereka. Jadi sudah saro kito nak bertahan.”
Orangtuaku terbangun. Pintu kamar mereka dibuka.
“Payola, aku antar malem ini.”
Bergegaslah istriku mengemasi barangnya sambil menggerutu.
Aku keluar kamar. Kulihat abah dan ibu duduk di kursi rotan bersama beberapa saudaraku. Wajah abah dan ibuku pucat, dan mereka tampak susah menarik nafas.
“Mungkin memang kami dak cocok. Aku rela bila dio nak minta cerai,” kataku. Mereka diam dan mematung seperti barisan tentara yang mau difoto.
Istriku bergegas pergi dengan hentakan kedua kakinya ke lantai. Nyelonong, tanpa memberi salam kepada orangtua dan saudaraku.
“Oi, sopan sedikitlah!” teriak Susi, istri kakakku, kemudian mengejarnya. Tampaknya istri kakakku itu ingin sekali menarik rambutnya dan mencakar wajahnya.
“Aku idak galak lagi tinggal di sini! Nyusake aku galo,” kata istriku terus berlari ke jalan; seperti mengambil jarak dari kejaran Susi.
“Sudahlah, jangan dikejar. Ini urusan keluargaku,” kataku.
Meskipun tidak melihatnya, aku merasa beberapa tetangga kami terbangun dan mengintip dari jendela rumah mereka.
Dan, sebagian besar membenarkan diri bahwa perkawinan kami tidak akan bertahan lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar