Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Jumat, 16 Januari 2009

Juaro 11

JALAN Jenderal Sudirman Palembang. Awal Mei 1998. Harga kebutuhan pokok terus menanjak, pengangguran bertaburan ibarat buah mangga yang jatuh dari pohon, dan kekerasan di dalam rumah tangga merupakan cerita biasa sehari-hari, yang menjadi jualan utama media massa.
Suhu sekitar 36 derajat celcius menyelimuti kantor LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Swarna Bhumi. Kantor lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu terletak pada sebuah rumah toko berlantai tiga. Dedaunan pohon akasia di depan kantor itu bagai lukisan, tidak bergoyang. Puluhan anak sekolah antre membeli es parut dan sebagian makan pempek di warung di bawah pohon itu.
Asap rokok dari berbagai merek keluar dari mulut dan hidung peserta rapat. Seorang mahasiswa, Sofyan namanya, berdiri. Kepada peserta rapat dia berkata menjamin mahasiswa Universitas Balaputra Dewa akan turun ke jalan, mengawali gelombang aksi di Palembang menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden Indonesia. Sofyan adalah ketua senat salah satu fakultas di perguruan tinggi itu.
“Aku jamin 500 mahasiswa akan turun,” kata Sofyan mencoba menyakinkan peserta rapat.
Sofyan gampang dikenali lantaran rambutnya keras, berdiri, dan jarang. Suaranya pun lantang meskipun dia sulit mengucap “r”.
Tandu, yang sejak awal rapat menginginkan adanya dukungan dari mahasiswa di Palembang dalam gerakan menumbangkan Soeharto, tersenyum puas.
“Pecak itu. Itu baru namanya mahasiswa. Awak senang sekali,” kata Tandu.
Tandu adalah seorang dosen Universitas Idayu Palembang. Rambutnya nyaris habis, tinggal beberapa helai di batok belakang kepalanya. Lantaran bentuk wajahnya yang persegi, hidungnya yang rendah dan lebar, serta sorot matanya yang tajam dan selalu menyebut kata “awak” untuk menunjukkan dirinya, dia sering dikira wong Tapanuli setiap berkenalan dengan seseorang. Padahal kedua orangtuanya kelahiran Muaraenim, daerah kelahiran Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri, putri sulung presiden pertama Indonesia, Soekarno.
Tandu termasuk dosen yang paling sering mangkal di LBH Swarna Bhumi. Hampir setiap hari dia terlibat diskusi, entah dengan mahasiswa, dosen, pengacara, pekerja seni, petani, aktivis LSM atau buruh.
Sofyan tersenyum puas, lalu, meminta sebatang rokok dari Tandu.
“Sofyan kau jamin nian massa besok tu?”
“Kujamin! Jangan khawatir, Kak Tandu.”
Hari itu ada tujuh orang yang ikut rapat, yakni dua pengurus LBH Swarna Bhumi, seorang dosen, seorang seniman, seorang wartawan, serta dua mahasiswa Universitas Balaputra Dewa. Mereka menyusun agenda aksi menuntut Soeharto turun. Diputuskan dalam rapat itu, aksi dimulai dari kawan-kawan mahasiswa kemudian elemen masyarakat lainnya, seperti buruh, kaum tani, seniman dan kalangan pengacara.
“Aku tidak yakin Sofyan mampu menurunkan massa sebanyak itu. Dio tu besak kelakar bae,” kata Cucok kepada Beben.
“Yo, la. Kagek aku minta Putra mempersiapkan aksi di Sirahpulau Padang. Mungkin dio lebih mampu. Dio tu pintar nian ngumpuli wong,”
Cucok dan Beben adalah pengurus LBH Swarna Bhumi. Sementara Putra, adalah mahasiswa Universitas Balaputra Dewa yang dikenal Beben lantaran sering mengundangnya berdikusi.
Besok paginya, sekitar pukul 09.00, Sofyan cuma berkelakar sebab tidak ada aksi ratusan mahasiswa Universitas Balaputra Dewa di kampus Pakjo, seperti yang dijanjikannya.
“Kawan-kawan banyak ke kampus Sirahpulau Padang. Mungkin kagek siang banyak ngumpul dan kami langsung turun lagi ke jalan. Jangan langsung nuduh aku dak benar,” bela Sofyan.
Sementara di kampus Universitas Balaputra Dewa di Sirahpulau Padang, Ogan Komering Ilir, atau sekitar 50 kilometer dari Palembang, seribuan mahasiswa berunjukrasa.
Aksi dimulai dari Putra yang berdiri di atas kap sebuah mobil Toyota, mengelilingi kampus, memegang sebuah megaphone lalu mengajak mahasiswa berunjukrasa sambil meneriakkan “reformasi” dan “gantung Soeharto”.
Tidak sampai setengah jam, Putra yang berpostur kecil, mampu mengajak sekitar dua ribuan mahasiswa berunjukrasa dengan mengelilingi kampus mereka, yang luasnya sekitar tiga hektare. Besoknya, semua harian lokal di Palembang memberitakan aksi mahasiswa tersebut.
Keberhasilan Putra mengerahkan ribuan mahasiswa membuat dirinya dikenal mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Palembang. Penggemar Pink Ployd itu menjadi inspirator aksi para mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di Palembang.
Sejumlah dosen dan petinggi di Universitas Balaputra Dewa membenci Putra. Tetapi, sikap para dosen itu wajar. Sebab, biar bagaimanapun, sebagian besar universitas negeri di Indonesia saat itu, harus tunduk pada “Cendana” atau si penguasa tunggal Soeharto.
Mungkin karena Soeharto akhirnya tumbang, Putra pun dapat menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2002.
Selama proses gelombang aksi menuntut Soeharto turun, para intelijen, baik intelijen polisi maupun tentara, terus memantau gerak-gerik Putra dan kawan-kawannya. Bahkan, beberapa mahasiswa dari setiap perguruan tinggi di Palembang dikabarkan dirangkul intelijen menjadi informan.
Tujuan para intelijen itu jelas, yakni untuk mengetahui informasi gerakan mahasiswa di Palembang.
“Aku dengar mereka dikumpulkan di Hotel Bintang Biru. Mereka dikasih handphone, voucher, dan diberi uang saku, jugo dijanjike nak dikasih duit bulanan,” kata Melati seperti berbisik kepada Putra.
Putra menarik napas dalam-dalam. Dia berdiri, melihat keluar dari jendela kamar kosnya.
“Malam ini kito rapat di sini. Undang semua kawan,” kata Putra.
Melati mengangguk, lalu, bergegas pergi.
Malam itu, Putra dan kawan-kawannya membagi tugas menempel setiap mahasiswa yang diduga menjadi informan intelijen polisi dan tentara. Setiap penempel, menyesatkan semua informasi mengenai gerakan mahasiswa di Palembang, misalnya soal jadwal aksi, tempat rapat, dan isi tuntutan.
Cara menempel itu cukup berhasil. Sampai Soeharto jatuh, para mahasiswa di Palembang tidak ada yang ditangkap atau menjadi korban kekerasan aparat keamanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar