Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 13 Januari 2009

Juaro 7

SUDAH dua cangkir anggur cap Kuntji kuteguk. Kantongku belum pula berisi uang. Kepalaku mulai berat. Kedua pipiku rasanya menebal. Wajah Somad yang menjual anggur itu tampak berbayang, bergoyang seirama lagu dangdut remix Cup Mutung milik penyanyi Palembang, Filus, yang mengalun dari radio miliknya.
…cup, cup mutung
balik keTanggbuntung
cup, cup mutung
meleng keno pentung
cup, cup mutung
banyak rumah mutung
cup, cup mutung
aku minta tulung…
(Minta waktu, pulang ke Tanggabuntung. Minta waktu, tidak hati-hati kena pukul. Minta waktu, banyak rumah terbakar. Minta waktu, aku minta tolong)
Setiap mendengar lagu dangdut—aliran musik yang berkembang di Indonesia yang didominasi pukulan gendang—aku selalu teringat dengan Pomo, teman satu sel saat aku dipenjara. Pomo adalah seorang penyanyi dangdut.
Saat bernyanyi di dalam sel, dia memberikan kesejukan kepada para tahanan yang jelas sangat kesepian.
Untuk menjadi seorang penyanyi, sejak kecil Pomo belajar bergitar dan main gendang. Pomo pun banyak menghafal lagu-lagu dangdut dan melayu.
Menurut Pomo seorang penyanyi yang baik harus memiliki banyak pilihan lagu saat bernyanyi. Penyanyi harus dapat melayani setiap lagu yang diminta penonton atau penggemarnya.
Banyak perempuan yang menyenangi Pomo dan berharap menjadi kekasihnya. Daya tarik Pomo memang bukan hanya dia seorang penyanyi. Tubuhnya yang atletis—untuk ukuran orang Indonesia—dan wajahnya yang tampan membuat banyak perempuan tergila-gila. Tetapi, tidak seorang pun dari mereka—termasuk para perempuan di bumi ini—yang disukai Pomo.
Tubuh yang atletis, wajah tampan, dan menjadi penyanyi terkenal di Palembang, tidak membuat Pomo bahagia. Cintanya dikhianati kekasihnya, seorang pengusaha pakaian dan barang antik, yakni Burman. Dia pun harus mendekam beberapa tahun di penjara.
“Cemburuku besar nian. Saat aku melihat Burman bercumbu dengan Dudung di salon Meri, aku jadi panik. Pandanganku gelap. Aku mengamuk dan membacok mereka berdua sampai mati. Memang sebelumnya aku hanya mendengar isu bae. Jadi, saat melihat mereka berdua bercumbu, aku ibarat ditindih sebuah mobil,” katanya suatu kali, “sebenarnya sampai saat ini aku masih mencintai Burman.”
Setelah menceritakan itu Pomo diam. Kedua matanya memerah dan perlahan mengeluarkan air mata. Aku tak kuasa melihat kesedihannya itu. Tubuhnya kupeluk erat.
Pelukan itu sama seperti pelukan terakhir kami sebelum aku meninggalkan penjara; menghirup udara kebebasan, dan meninggalkan dirinya yang masih menjalani hukuman. Setahun setelah aku bebas, aku baca dari sebuah koran, Pomo bunuh diri dengan menggantung diri di dalam sel.
Kuteguk secangkir lagi anggur Kuntji. Kini, mereka yang berada di dalam rumah panggung, yang rata-rata tampak mau roboh, kubayangkan kian menjadi miskin, sehingga tidak satu pun pohon mau tumbuh di Lorong Aman ini. Yang ada hanya puluhan tikus, lipas, kucing, nyamuk, serta tumpukan sampah, menghiasi Lorong Aman. Sedangkan paritnya dialiri air hitam, kental, beraroma pesing, apek dan amis. Hanya siaran televisi yang menghibur warga lorong Aman; acara yang menampilkan dunia hantu atau dunia gaib adalah pilihan utama.
“Bisa idak aku ni menjadi wong kayo? Kalu biso, kau kagek kujadike sopir pribadiku,” kataku. Somad tersenyum.
“Semuanyo biso. Tuhan itu adil, Cek.”
Biarpun berjualan minuman keras, Somad ini mempunyai kesadaran yang kuat soal kebesaran Tuhan. Dia pun tidak pernah minum anggur atau bir. Pernah kutanyakan, mengapa dia berjualan minuman keras padahal dia tahu minuman keras itu haram. Somad mengaku itu demi kebutuhan hidupnya. Kalau hanya mengandalkan penghasilan dari berjualan rokok dan permen, menurutnya, tidaklah mungkin. Keuntungannya tidak cukup buat makan sehari, katanya.
Sepintas lalu Somad mirip pelawak Ateng yang terkenal itu. Cebol. Bedanya kaki kanan Somad cacat. Ketika kanak-kanak, kaki kanannya itu patah tiga karena ditabrak Jeep Willis saat mengejar layangan putus.
Aku tertawa. Tetapi, kantongku belum juga berisi uang. Kepalaku kian terasa berat, apalagi Taufik sudah beberapa kali minta uang untuk bayar iuran dan uang ujian sekolahnya. Aku teguk anggur secangkir lagi.
“Somad! Kira-kira bisa idak aku menjadi wong kayo?”
Somad mendekatiku.
“Sudah jam satu, balikla. Bini kau kagek ribut.”
Aku kembali bertanya kepada Somad, “Bisa idak aku menjadi wong kayo?”
Ini kali Somad diam. Aku terus bertanya. Kantongku belum juga berisi uang. Tuhan yang dikatakan Somad itu entah di mana. Sampai pagi aku terus bertanya. Sendirian mengiringi Somad yang tertidur dan menyambut sebagian warga lorong Aman pergi ke Pasar 16 Ilir. Menjadi kuli, menjadi penjual sayur, dan menjadi pencopet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar