Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Sabtu, 17 Januari 2009

Juaro 14

JAI buru-buru naik pohon manggis. Dia nongkrong di dahan pohon manggis yang paling tinggi. Bret! Par! Bret! Par! Bret! Bret! Tai Jai berserakan di gundukan serbuk gergajian kayu. Tainya seakan menantang pemilik depot kayu, Ali Akbar, yang sering memarahi anak-anak karena bermain sepakbola di depotnya. Untungnya, sore itu, Ali Akbar bersama keluarganya pergi ke luar kota, sementara seorang pegawainya yang disuruh menjaga depot tertidur di bangku.
Tetangga Ali Akbar sering melihat aksi mising anak-anak di kampung itu. Mereka tidak peduli dengan perilaku anak-anak itu. Cuek. Mereka justru merasa senang sebab suara mesin gergaji kayu milik Ali Akbar membuat mereka terganggu. Bising. Berulang mereka protes kepada Kepala Kampung agar depot itu dipindahkan. Tetapi, protes warga kampung itu tidak digubris Ali Akbar. Konon dia melawan karena bisnisnya itu didekeng sejumlah aparat keamanan.
“Oi gilo! Kalu nak mising, turun, Kagek kau dikapak wong, ado penjagonyo,” teriak Jamil, kawan Jai, di seberang Sungai Sekanak, salah satu anak Sungai Musi.
“Jai! Kita maen bola bae. Turunlah cepet,” kata Jamil.
“Pe!” sahut Jai bergegas turun dari pohon manggis.
Kedua anak itu kemudian mengajak Iman dan Sarif bermain sepakbola dengan anak-anak Bukitkecil. Mereka berempat bertetangga, dan dikenal sebagai anak paling nakal di kampung itu; Cempaka Dalam. Tidak ada anak di Cempaka Dalam yang berani berkelahi dengan mereka.
“Pukul bae rainyo! Biar dio tau raso,” kata Jai, memprovokasi Iman yang marah kepada seorang anak dari Bukitkecil yang menjadi lawan mereka dalam bermain sepakbola.
Gara-garanya ketika Iman sudah sedikit lagi menggiring bola ke dalam gawang, untuk menciptakan gol, anak itu menarik kaos Iman sehingga terjatuh.
Iman yang berambut keriting itu pun menghajar muka dan perut lawannya. Sekian detik kemudian si anak itu menangis dan lari pulang ke rumah. Tak lama kemudian bapak si anak datang sambil membawa sebilah parang.
Melihat ancaman itu keempat sekawan itu lari terbirit-birit. Tetapi, bola milik Sarif tertinggal.
“Oi, berenti. Bolaku ketinggalan,” kata Sarif.
Keempat sekawan itu menyaksikan bola Sarif dicincang dengan parang oleh bapak si anak yang dihajar Iman. Melihat itu, Sarif seperti ingin menangis.
“Kagek malam kito gaweke, kau tenang bae, dak usa nangis,” kata Jai menghibur Sarif.
Malamnya mereka melakukan aksi balas dendam. Aksi balas dendam mereka membuat warga kampung Bukitkecil menjadi panik; mereka membakar rumah orangtua anak yang dihajar Iman. Untungnya hanya dapur rumahnya yang terbakar, lantaran apinya keburu dipadamkan warga kampung.
Malam itu hingga paginya, Jai, Sarif, Iman, dan Jamil, bersembunyi di kandang kambing, yang terletak di kolong rumah panggung orangtua Jai. Mereka senang tetapi juga ketakutan.
Beberapa tahun kemudian, saat remaja, keempat sekawan itu menjadi bandit. Mereka selain menguasai Cempaka Dalam, juga merajai Pasar 16 Ilir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar