Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 25 Januari 2009

Juaro 22

PAGI, 12 Juni 2001, Putra bersama beberapa aktivis LSM dan mahasiswa mengadakan per-temuan dengan warga di sebuah langgar. Hari itu Pemerintah Palembang akan melakukan penggusuran di Jakabaring. Warga yang mem-bangun pondok, membuka kebun dan sawah di Jakabaring dicap sebagai pencuri.
“Kito harus berjuang mati-matian. Ini hak kito. Kito harus mempertahankan hak kito yang telah dirampas rezim Soeharto,” kata Putra.
Sekitar pukul sembilan pagi, lebih kurang 350 orang dari aparat pamong praja, polisi, tentara dan bandit, berkumpul di jalan tak jauh dari lokasi pemukiman warga.
Seorang pemimpin penggusuran yakni Ahmad Temboki membacakan surat keputusan Walikota Palembang yang meminta warga segera me-ninggalkan pondok dan lahan mereka dalam waktu dua jam. Bila menolak akan dilakukan penggusuran paksa.
Sampai batas waktu yang ditetapkan itu warga tetap bertahan di lokasi yang akan digusur. Berbagai doa dibacakan warga agar penggusuran itu batal dilakukan. Tetapi, Tuhan punya keinginan yang lain, maka sebuah ekskavator yang diiringi ratusan petugas, bandit yang membawa pen-tungan, godam, menuju ke pemukiman warga.
Pukul 10.00, tiga pondok milik warga dirobohkan ekskavator.
Putra menyuruh para ibu dan anak-anak membentuk pagar manusia dengan cara berpegangan tangan, sebagai lapisan pertama. Sedangkan lapisan kedua, Putra bersama bapak-bapak, pemuda, serta aktifis mahasiswa dan LSM.
Saat berhadapan dengan ekskavator, para ibu dan anak-anak bertangisan. Mereka berteriak-teriak agar penggusuran dihentikan. Bahkan, seorang ibu, namanya Komariah, berteriak dan menangis sambil bergulingan di tanah. Seorang ibu lainnya menari-nari di depan ekskavator.
Kedua ibu itu diseret oleh beberapa polisi pamong praja. Ekskavator pun bergerak. Dua lapis pagar manusia itu mundur sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Puluhan bandit tak jauh dari mereka mengacungkan senjata tajam.
Melihat warga mundur, ratusan polisi pamong praja dan bandit menyerbu. Mereka menarik dan memukuli warga.
Putra pun terkena pukulan di kepalanya. Komariah dihempaskan tubuhnya ke tanah oleh seorang polisi pamong praja karena melawan.
Ekskavator terus bergerak, merubuhkan puluhan pondok. Isak tangis dan teriakan kemarahan warga bergema.
Melalui siaran berita live dari beberapa radio, seluruh warga Palembang mendengar jeritan batin mereka.
Seorang ibu nekat maju ke depan pondoknya yang akan dihancurkan ekskavator. Dia membawa sebuah drigen berisi minyak tanah. Dia mau membakar dirinya. Namun, puluhan polisi pamong praja dengan sigap memukul dan menyeretnya.
Ekskavator dengan garangnya meratakan pondok, termasuk beberapa langgar. Sementara pondok yang sulit dijangkau ekskavator, dibakar. Kebun dan sawah milik warga juga dibakar.
Ratusan orang kehilangan tempat tinggal. Mereka termangu, menangis, marah, benci, cemas, takut, seperti ratusan binatang yang berlari menyelamatkan diri karena hutan dibakar para perambah.
Putra bersama beberapa aktivis LSM kemudian mengirim surat protes ke Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) dan Presiden. Hasil dari surat protes itu nol besar alias tak ada kelanjutannya.
Lalu, sebagian warga ikut transmigrasi, sisanya mencari kontrakan rumah di Palembang, dan bekerja apa saja, yang jelas tidak lagi bertani.
Hanya Komariah yang bertahan di Jakabaring, selanjutnya dia membangun sebuah pondok di balik dinding pagar kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatra Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar