Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 24 Februari 2009

Juaro 66

23 hari setelah perayaan ulang tahun Kota Palembang itu, hujan deras turun selama dua hari. Palembang banjir. Air Sungai Musi meluap, merubuhkan rumah atau menghanyutkan harta benda warga Palembang. Listrik padam.
Angin puting beliung merobohkan ratusan pohon, gedung-gedung, papan reklame, pohon lampu hias, serta instalasi listrik dan telepon.
Berbagai cara orang untuk menyelamatkan keluarga dan dirinya. Namun, sedikit sekali yang mampu menyelamatkan diri. Ratusan ribu mayat mengapung dibawa banjir.
Mayat-mayat itu tidak membawa gelar dan pujian. Mereka hanya buntang yang busuk. Mereka dilahap ikan-ikan juaro yang ingin hidup seribu tahun lagi, seperti cita-cita penyair Chairil Anwar.
Aku, Halimah, Taufik, Yulia, Sulaiman, bertemu di sekitar Pelabuhan Boom Baru. Yulia memeluk erat Yunen, anaknya. Mata kami saling memandang, tidak berkedip Tidak ada yang perlu kami keluhkan lagi. Tidak ada yang harus kami rindukan lagi.
Kami meluncur deras. Ibarat kapal cepat, kami mencari nenek moyang di semua benua.
Tidak lama kemudian, di langit, Jai dan Putra berkelahi. Berbagai jurus bela diri mereka tunjukkan. Langit pun bergucang. Ribuan planet bergetar dan banyak yang meledak lantaran bertabrakan.
Saat Tuhan menemui mereka, mereka terus saja berkelahi. Sekujur tubuh mereka dipenuhi luka dan keringat. Miliaran manusia yang melayang-layang menyaksikan perkelahian mereka yang dijaga penyair Yunen.
“Tuhan, izinkan kami terus berkelahi. Kami harus menentukan sejarah Palembang,” kata Putra.
Di Bumi, aku dan Halimah menemukan nenek moyang kami, yang telaten melayani pembeli di warung kopinya. Hanya nenek moyang kami yang masih mempertahankan warung kopi; mengenang masa lalu dan mengeluhkan hari ini.
Di dalam secangkir kopi yang kupesan, seekor juaro, yang tubuhnya berwarna hitam dan berlendir, menggeliat. Dia menatapku dengan bola matanya yang putih. Secara perlahan, air kopi itu menjadi merah.

***TAMAT***

Juaro 65

MALAM pada hari ulang tahun Kota Palembang, tahun 2012, sebuah televisi berukuran 20 meter kali 15 meter di pajang di muka Benteng Kuto Besak. Melalui televisi itu seribuan orang yang berkumpul di pelataran Benteng Kuto Besak menyaksikan pesta rakyat di setiap sudut Kota Palembang. Pesta mengenang kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam, yang didongengkan terbangun dari puing-puing kehancuran para perompak dari Tiongkok, yang terdesak ke pedalaman Sungai Musi.
Benteng Kuto Besak adalah sebuah benteng yang didirikan Kesultanan Palembang Darussalam. Benteng yang diperkirakan para sejarawan sebagai benteng paling modern di Indonesia pada masanya. Tetapi, armada Belanda tetap mampu menaklukkan benteng itu. Benteng itu pun menjadi simbol militerisme Belanda di Palembang. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, benteng itu kemudian menjadi perkantoran, rumah sakit, dan perumahan milik tentara.
Puluhan perahu hias dan kapal pesiar mini, yang dipenuhi orang-orang berpesta, hilir mudik di Sungai Musi. Kembang api berlintasan di atas Sungai Musi. Lampu laser yang ditembakkan dari semua gedung bertingkat, bersilangan, bagai jaring laba-laba.
Sementara di atas Jembatan Ampera, digelar pesta musik, dari musik dangdut hingga blues. Ratusan orang terkapar karena mabuk atau kelelahan. Beberapa orang yang patah hati dari atas jembatan itu terjun ke Sungai Musi. Semuanya mati.
Lalu, subuhnya, di dalam ratusan kamar hotel, di sepanjang tepian Sungai Musi, puluhan ribu orang menangisi masa lalu dan berdoa agar tahun depan rezeki mereka bertambah sehingga pesta terus digelar.
Sampai pagi, Albert Membara, Sofyan, dan Jai, mengelilingi Kota Palembang menggunakan sebuah helikopter. Mereka mencatat lahan tidur dan pemukiman penduduk yang tidak efektif atau perkampungan kumuh. Mereka sangat tahu, jika dilihat dari atas, Sungai Musi bagai ular Sawo yang lapar, yang diam-diam keluar dari pedalaman.
Dari jendela sebuah pondok di daerah rawa-rawa di belakang Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Yunen—anak Yulia—melambaikan tangannya ke arah helikopter yang ditumpangi penguasa Palembang itu.
“Awas, tangan jangan keluar. Mereka biso melihat kito. Rumah kito kagek digusur.”
Meskipun tangan Yunen tidak jadi keluar jendela, pondok Yulia itu tetap digusur. Sebuah pemberitaan di koran memberitahu keberadaan pondok Yulia; pemberitaan mengenai kawasan kumuh.
Saat pondoknya digusur, Yulia melakukan perlawanan. Di hadapan polisi pamong praja yang sudah dilengkapi senjata api dan granat, Yulia protes dengan cara menggorok leher Yunen. Setelah dia memastikan anaknya itu mati, baru giliran dia mengapak tangan kirinya nyaris putus dan dengan senyum kemenangan membiarkan darah mengalir; menarik segala penderitaan.