Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 17 Februari 2009

Juaro 50

DI teras sebuah rumah limas, di pinggiran Kota Palembang, Albert Membara tertawa sekeras-kerasnya. Tubuhnya terguncang. Sofyan, yang duduk di sampingnya, turut tertawa. Mereka menikmati buah duku.
“Baru tahu raso dio. Pikirnyo biso ngalake kito,” kata Albert Membara, kemudian tertawa lagi. Beberapa kunyahan buah duku melompat dari mulutnya.
“Kini pekerjaan kito jadi gampang. Hebat kito. Bila proyek itu sukses, itu artinya sudah ada jaminan buat aku menjadi Walikota periode ke depan kan. O, ya, Sofyan, kapan pengadilan melakukan penyidangan gugatan si Bakrie itu.”
“Kabarnya lusa. Tapi, buat apo dipikirke. Kito pasti menang. Bukti-bukti yang kito sodorkan membuat pengadilan percayo Bakrie yang punya tanah itu. Jadi, tenang bae, apalagi kiriman bapak sudah kukasih ke mereka,” kata Sofyan.
Tak lama kemudian, mereka pergi dari rumah kediaman pribadi Albert Membara itu. Mereka menuju ke sebuah rumah di kawasan Talangsemut. Dari luar, rumah itu seperti kediaman pribadi tetapi saat dimasuki, puluhan perempuan cantik dengan pakaian seronok menyambut mereka.
Rumah itu ternyata tempat pelacuran. Namun, tidak semua orang dapat masuk ke sana. Tempat itu hanya dapat dikunjungi para pelanggan tetapnya, yakni para pejabat dan pengusaha.
Seperti biasanya, Albert Membara dan Sofyan bergumul dengan beberapa perempuan. Mereka menegak minuman keras, menghisap ganja dan putau, lalu, diakhiri dengan berhubungan seks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar