Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 17 Februari 2009

Juaro 51

BAPAK Putra berdiri kaku di depan pintu rumah rakitku. Mata Halimah tak bekedip. Dia terpaku seperti melihat hantu, matanya berkaca-kaca. Tak lama kemudian keduanya berpelukan. Mereka menangis. Tubuh mereka bergetar. Sinar matahari pagi pun tak mampu menghangatkan tubuh mereka yang menggigil.
Beben yang mengantar kedua orangtua Putra ke rumah kami, tampak kebingungan. Lalu…
“Jadi, Putra itu anakku,” kata Halimah.
Pagi itu, di rumah rakitku, kami sekeluarga menangis. Dalam tangisan, kami tidak merasakan hantaman ombak yang mengguncang rumah rakitku. Pun kami tidak merasakan angin pagi yang berembus kencang.
Bambang mengambil Putra dan dibawa ke Jakarta, saat berusia 1,5 tahun. Putra diambil selain karena saat itu Bambang belum memiliki anak, dia pun ingin membantu beban adiknya Halimah yang baru saja ditinggalkan suaminya, Jai, yang minggat karena diburu petrus.
Sebenarnya, Bambang ingin membawa Halimah dan ketiga anaknya ke Jakarta tetapi dia takut identitas keluarganya diketahui orang lain. Lebih buruknya hal itu diketahui pimpinan perusahaan tempatnya bekerja, maka dapat dipastikan dia akan dipecat oleh perusahaan itu.
Bahkan, setelah mengambil Putra, Bambang meminta Halimah jangan sekali-kali menghubunginya.
“Biar bagaimanapun, pada anak ini mengalir darahku. Berarti anakku juga. Jadi, biarlah dia besar bersama kami,” kata Bambang saat itu.
Sebelum kembali ke Jakarta, Bambang memberi uang kepada Halimah untuk menyewa rumah dan modal berjualan sayuran di Pasar 16 Ilir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar