Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 08 Februari 2009

Juaro 37

SUBUH itu ketika Ali Akbar dan istrinya pergi ke langgar, Halimah minggat. Dia dijemput Jai di depan gedung PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) di Cempaka Luar. Mereka kemudian ke rumah seorang ketip di daerah Kertapati. Mereka pun menikah.
“Keluar! Keluar! Kau bukan anak kami. Dasar anak kampang ini. Cepat keluar! Apo nak kukapak?”
Ali Akbar bertolak pinggang di muka pintu rumah. Langkah Halimah dan Jai terhenti di tangga rumah.
“Dasar anak tak tau diri. Dibesakke malah maluke aku. Aku dak galak lagi jingok rai kau nih. Sana pergi. Hiduplah dengan bandit ini.”
Halimah menangis. Jai hanya menunduk, berusaha tenang. Jai mencoba memperbaiki kopiah yang dikenakannya. Istri Ali Akbar diam, dia tidak berusaha mencegah kemarahan suaminya. Dia juga tidak menyukai Jai.
Halimah dan Jai kemudian pergi. Hampir semua orang kampung Cempaka Dalam mengecam Halimah, anak angkat pemilik depot kayu yang menjadi pengurus langgar setelah rezim Soekarno tumbang.
“Dibesakke malah kawin dengan bandit. Dasar idak tau diri nian,” kata seorang warga.
Jai tidak membawa Halimah ke rumah orangtuanya yang masih di kampung itu. Dia sudah lama diusir orangtuanya lantaran tidak mengurusi istri pertamanya, Salmah. Salmah adalah anak dari keponakan ibunya yang kemudian dikawinkan dengan Jai.
Jai dan Halimah akhirnya menyewa sebuah rumah panggung di Puncaksekuning.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar