Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 24 Februari 2009

Juaro 59

SEBENARNYA, tuduhan Yunen terhadap Putra itu tidak sepenuhnya benar. Gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Soeharto di Palembang pada mulanya, awal tahun 1990-an, dapat dikatakan dipelopori oleh para pekerja seni, yang kemudian disambung gerakan perlawanan para aktivis LBH Swarna Bhumi, LSM dan mahasiswa.
Memang, sebelumnya, pada tahun 1980-an, sejumlah mahasiswa di Palembang melakukan perlawanan dengan pemerintahan Soeharto yang menyebabkan beberapa mahasiswa dipenjara.
Jadi, kehadiran Putra di tengah kawan-kawan pekerja seni itu merupakan konsolidasi soal gerakan perlawanan; bukan mengubah paradigma berkesenian para pekerja seni.
Di tengah lemahnya gerakan mahasiswa, para pekerja seni melakukan aksi protes ketika sebuah pameran lukisan di Taman Budaya Sriwijaya dihentikan seorang pejabat Pemerintah; dengan alasan ruang pameran tersebut digunakan untuk kegiatan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Sejak peristiwa itu, 1989, melalui karya-karya seni, seperti teater dan sastra, para pekerja seni di Palembang mengkritik pemerintahan Soeharto.
Jadi, tak heran, selanjutnya banyak pekerja seni di Palembang menjadi aktiVis LSM, dosen, atau bekerja di media massa; profesi yang memberi banyak ruang untuk meneriakKan perjuangan mereka atau membangun kesadaran kritis terhadap rezim Soeharto.
“Yunen itu sendiri sebenarnya berpolitik saat menghadapi birokrasi di kantornya, yang dikatakannya tidak berhati nurani,” kata Tandu, yang sebelum menjadi dosen turut mewarnai berkesenian di Palembang.
Tetapi, sikap Yunen yang meninggalkan Palembang untuk menyepi ke dusun, merupakan sikap politik yang harus dihormati, kata Tandu.
Sikap ini jauh lebih baik daripada para pekerja seni yang selama Soeharto berkuasa selalu mencari aman tetapi setelah Soeharto jatuh berebut “kue kekuasaan” bersama orang-orang yang turut menikmati kekuasan Soeharto.
“Mereka tai kucing sejarah!” kata Tandu.
Tuduhan Tandu itu tidak berlebihan. Memang, mereka yang dulunya alergi berkesenian untuk mengkritisi pemerintahan Soeharto, saat ini justru menikmati kekuasaan; ada yang menjadi anggota Dewan, menjadi pejabat pemerintah, atau menjadi pemborong pesta kesenian yang diselenggarakan pemerintah.
Masalahnya, kata Tandu, apa yang mereka perbuat sama sekali tidak mengakar kepada persoalan yang dulunya diperjuangkan para pekerja seni, yakni bagaimana kesenian menjadi alat reformasi kebudayaan yang jelas-jelas telah dicabik-cabik fasisme Soeharto.
“Aku tidak mempersoalkan posisi yang telah mereka raih,” ujar Tandu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar