Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Jumat, 06 Februari 2009

Juaro 30

RAUT muka Walikota Palembang yang bernama Albert Membara tampak kesal. Dia berulang kali mengetuk pena ke mejanya. Albert menarik napas atau memberi senyum sinis bila Jai menginfomasikan apa yang dilakukan Putra dan kawan-kawannya di kampung 7 Ulu.
“Bagaimana Sofyan, apo awak sudah ngumpulke para pengacara?”
“Beres, Pak.”
“Nah, kau tinggal bertemu Mat Nyawo. Minta anak buahnya meneror warga.”
“Oke, Pak. Tapi aku kehabisan…,”
Albert Membara mengangkat tangannya, jari tangannya mengawi-awi. Jai dan Sofyan mendekat. Albert membuka kopor yang ada di atas mejanya.
“Nih, buat awak.”
“Kurang, Pak.”
“Itung dulu baru ngomong. Cukup itu.”
Handphone Albert Membara bergetar. “Sebentar…”
“Beres, Bos. I minta sebulan lagi. Sebentar lagi selesai. Rencana kita itu kujamin berjalan lancar. Tenang. OK, beres… thanks.”
Albert menaris napas.
“Bos masih di Taiwan. Dia minta rencana kita jangan ditunda. Nih, kutambah.”
Albert melempar segepok lagi uang sepuluh ribuan rupiah ke Jai. Jai tersenyum senang.
“Awak jugo cukup kan segini?” kata Albert kepada Sofyan.
“Cukup, Pak.” Sofyan buru-buru memasukkan dua gepok uang ke dalam tasnya.
“Pergilah kalian.”
Jai dan Sofyan bergegas pergi. Tetapi, saat mereka di pintu….
“Bagaimana dengan para wartawan itu?”
“Beres, Pak. Aku sudah nemui pimpinannya. Budak-budak wartawan itu sudah kuajak makan kemarin,” kata Sofyan.
Albert Membara sebelum menjadi Walikota Palembang adalah seorang pengusaha ruko, perumahan dan perjudian gelap. Dia pun menjadi pimpinan beberapa organisasi kepemudaan.
Saat mencalonkan diri sebagai Walikota Palembang, Jai dan Sofyan menjadi tim suksesnya. Sementara modalnya untuk berkampanye dan menyogok para anggota Dewan, partai politik, penyelenggara pemilihan, LSM, organisasi massa, pers, dan para pemilih di Palembang, selain uang dari sakunya juga pasokan dari Indra Wijaya, seorang pengusaha perhotelan dan bos perjudian gelap yang dijalankan Albert di Palembang.
Melalui pemilihan langsung, Albert mengalahkan sejumlah calon kuat. Baik dari kalangan akademis, birokrat, maupun aktivis prodemokrasi. Uang telah menaikan citra dan karakter Albert. Albert pelaksana “tidak ada makan siang yang gratis” yang cerdas. Seperti wong Amrik, Albert membayar semuanya alias tidak gratis.
Yang menelepon Albert itu adalah Indra Wijaya. Indra punya rencana akan membangun hotel di atas lahan kampung 7 Ulu. Di hotel bertaraf internasional itu, akan disediakan tempat perjudian. Indra yakin para penjudi dari Singapura, Malaysia, Taiwan, Jepang, India, atau dari Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, akan menghamburkan uangnya di hotel itu.
“Kas kantormu juga akan penuh. Rakyatmu juga mendapatkan lapangan pekerjaan,” kata Indra kepada Albert.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar