Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Rabu, 11 Februari 2009

Juaro 43

SOFYAN turun dari mobil Panther-nya yang diparkir tidak jauh dari kantor Walikota Palembang. Dia menelepon Jai.
“Sekarang, ya, Pak Jai. Oke, sekarang.”
Tak lama kemudian puluhan mahasiswa turun dari sebuah bus yang diparkir tak jauh dari Gedung Dewan Palembang. Mereka membentuk barisan dan membentangkan sebuah spanduk. Spanduk itu berisi tulisan, “Kami Mahasiswa Palembang Mendukung Penuh Kebijakan Pemerintah.”
Mereka bergerak menuju halaman Gedung Dewan. Puluhan polisi berbaris di muka gerbang, menghadang jangan sampai mahasiswa itu berhadapan langsung dengan kami.
“Oi, ado aksi menentang kito. Kito lawan, yok!” teriak seorang warga.
Para mahasiswa itu tidak meneriakkan yel-yel. Diam. Sebagian malah cengar-cengir.
“Kalian ini gilo! Masak mau dibayar untuk aksi ini. Mestinya kamu-kamu ini bela kami. Wong kecik. Wong tuo kamu.”
Para mahasiswa itu tidak bereaksi dengan teriakanku itu. Mereka diam. Aku dan beberapa warga melempari mereka dengan bungkus rokok dan bekas bungkus nasi. Mereka tetap diam. Polisi merapatkan barisan.
“Pasti kalian dibayar!” kataku.
“Kalu dijingok dari rainyo memang mereka ini pendemo bayaran,” kataku lagi.
Lantaran para mahasiswa itu tidak bereaksi, aku kembali mendekati pintu masuk gedung Dewan.
Tiba-tiba, sekelompok orang yang tak jauh dari barisan mahasiswa, melempar batu ke arah kami. Kami terkejut dan panik. Kami pun membalas lemparan batu itu. Terjadilah perang batu.
Para mahasiswa yang berunjukrasa mendukung kebijakan Pemerintah bubar. Mereka berusaha menyelamatkan diri. Polisi kebingungan, mereka pun berusaha menyelamatkan diri dari lemparan batu. Orang-orang di dalam gedung Dewan keluar, mencoba menghentikan perang batu itu. Sia-sia…
Bentrokan tak terelakan. Kami keluar dari halaman gedung Dewan. Menyerbu sekelompok orang yang menyerang kami itu. Kami memukul mereka dengan tangan kosong atau benda yang ditemukan, seperti kayu dan batu.
Ternyata kami dijebak. Dari arah yang lain datang sekelompok pemuda yang membawa senjata tajam. Pisau dan golok mereka acungkan kepada kami.
Kami berlari masuk ke halaman gedung Dewan. Para pemuda itu mengejar kami. Beberapa polisi mencegah mereka dengan cara menembak ke atas. Kami semampunya melawan mereka. Perempuan dan anak-anak yang ikut berunjukrasa menjerit ketakutan.
Serangan mereka hanya sekitar lima menit. Mereka lari dan menghilang setelah terdengar sirene mobil polisi.
Meskipun tidak ada yang mati, puluhan orang mengalami luka-luka, termasuk aku yang terkena sabetan pedang di tangan kiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar