Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Jumat, 06 Februari 2009

Juaro 34

MUSTARECH sadar keluarganya tidak mampu mengurusi semua anak Abdullah Karim. Apalagi dirinya sewaktu-waktu dapat ditangkap dan dijebloskan ke kamp di Pulau Kemaro atau Pulau Buru.
Sehari setelah peristiwa penangkapan Abdullah Karim dan Maimunah, Mustarech berunding dengan beberapa aktivis BTI dan Pemuda Rakyat yang belum tertangkap. Dari perundingan tersebut diputuskan agar ketiga anak itu dipisah. Selain mengurangi beban yang mengurusnya, juga menghindari kecurigaan orang yang tidak senang dengan PKI atau mereka yang dituduh ikut barisan PKI.
Mustarech tidak memiliki anak perempuan, maka, dia memilih Maulina sebagai anak angkatnya. Sedangkan Ali Akbar, yang tinggal di Cempaka Dalam, memilih Halimah. Nawawi diajak Muhamamd Soleh ke Metro, Lampung.
Meskipun sampai ajalnya Mustarech tidak pernah tertangkap, tetapi dia mengalami gangguan jiwa untuk beberapa tahun. Mustarech stres setelah Maulina meninggal dunia, saat gadis itu berusia 13 tahun. Maulina terserang demam berdarah yang tak terobati.
Sementara Nawawi sesampainya di Metro dibuatkan akta kelahiran oleh istri Muhammad Soleh, seorang perawat. Di dalam akta kelahiran itu nama Nawawi berubah menjadi Bambang.
Untuk beberapa tahun, setiap tidur Bambang alias Nawawi selalu diganggu mimpi peristiwa penangkapan kedua orangtuanya. Terkadang dia bermimpi dirinya dan kedua adiknya juga ditangkap, dibakar hidup-hidup, dengan kening ditulis “PKI”.
Setelah menamatkan SMA, Bambang merantau ke Jakarta. Lantaran mampu berbahasa Inggris, Bambang diterima bekerja pada sebuah perusahaan perkebunan. Karena kerjanya bagus, Bambang dikuliahkan di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Di kampus itu, Bambang bertemu dengan Murni, yang kemudian menjadi istrinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar