Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 24 Februari 2009

Juaro 63

KETEGANGAN menyelimuti Kampung 11 Ulu. Sudah dua malam, warga kampung tersebut berperang dengan warga kampung Kuto Batu. Malam itu, peperangan dilanjutkan. Bila sebelumnya peperangan hanya saling lempar tombak dalam jarak tertentu—membuat beberapa orang terluka tetapi tidak memakan korban jiwa—maka dalam perang malam ketiga tersebut, mereka sepakat untuk bentrok dalam jarak dekat.
Di tengah arus Sungai Musi, warga kedua kampung dengan menggunakan perahu serta dipersenjatai parang, tombak, dan kecepek, saling membunuh; menembak, membacok, atau menombak. Sekian detik setelah perahu mereka bertabrakan, mulai terdengar orang yang mengeram kesakitan, terjatuh ke sungai, kemudian melepaskan nyawanya setelah tombak atau peluru paku menancap ke dada atau ke leher.
Dari balik lubang dinding rumah rakitku, aku menyaksikan peperangan tersebut. Tubuhku gemetar, apalagi kulihat, di bawah cahaya bulan, gelombang Sungai Musi membawa darah ke dinding rumah rakitku.
Perang antarkampung itu ibarat lukisan rahasia di balik foto Kota Palembang yang mulai ditumbuhi bangunan bertingkat, hotel-hotel, dan lampu-lampu berwarna-warni.
Paginya, kulihat puluhan jasad mengapung di Sungai Musi. Sewaktu aku mising, sesosok jasad yang kuperkirakan berusia belasan tahun tersangkut di tiang kakusku. Tak ada ikan juaro yang mendekati jasad itu dan taiku. Mulut jasad itu terbuka dengan mata melotot, perutnya robek seperti terkena sabetan golok.
Tidak lama kemudian, datang puluhan polisi menggunakan perahu cepat dan perahu ketek. Mereka mengangkut satu per satu jasad itu ke perahu dan membawanya ke rumah sakit.
Banyak warga di tepi Sungai Musi menyaksikannya tetapi tidak kudengar salah satu dari mereka menangis atau berteriak marah.
Mulai pagi itu, selama sepekan, puluhan polisi berjaga-jaga di Kampung 11 Ulu dan Kuto Batu.
Peperangan warga 11 Ulu dengan Kuto Batu, bukan disebabkan adanya pelecehan terhadap perempuan dari salah satu kampung; biasanya menjadi pemicu konflik antarkampung di tepian Sungai Musi. Pemicu peperangan itu karena kedua kampung membela jagonya dalam pemilihan Walikota Palembang yang digelar secara langsung. Dua calon yang dijagokan mereka adalah Albert Membara—masih menjabat Walikota Palembang—dan Guntur Kebal.
Pemilihan itu sendiri sudah digelar dan pemenangnya Albert Membara. Tetapi, para pendukung Guntur Kebal yakni warga Kuto Batu tidak terima dengan kekalahan itu. Mereka menuduh Albert Membara dan pendukungnya melakukan kecurangan.
Awal ketegangan dimulai dari aksi unjuk rasa kedua pendukung—tentunya dengan tuntutan yang berbeda—ke Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Palembang. Para pendukung Guntur Kebal menuntut KPU melakukan pemilihan ulang, sementara pendukung Albert Membara meminta KPU tetap dengan keputusannya, yakni menetapkan Albert Membara sebagai pemenang pemilihan.
Ketika berunjukrasa, aparat polisi gagal mencegah kedua massa pendukung itu berhadapan. Akibatnya, mereka berkelahi. Perkelahian itu dimulai dari aksi saling mengejek. Lantaran tidak puas dengan perkelahian tersebut—dilerai polisi—kedua massa pendukung yang kebetulan terkoNsentrasi dalam dua kampung, sepakat melanjutkannya dengan berperang atau berkelahi sampai mati di Sungai Musi.
Meskipun banyak warga 11 Ulu menjadi korban dalam peperangan itu, Albert Membara tetap menggusur warga di kampung itu dan kemudian di atas lahannya didirikan taman dan tempat bermain anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar