Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 17 Februari 2009

Juaro 46

WARGA Kampung 7 Ulu panik setelah membaca berita di koran tentang gugatan Haji Bakrie kepada mereka ke pengadilan. Warga kampung itu dituduh Haji Bakrie telah menyerobot lahan miliknya. Lahan itu adalah tanah yang ditempati warga yakni kampung 7 Ulu.
Warga kemudian membahas soal gugatan Haji Bakrie itu dengan Putra dan beberapa kawannya.
“…menurut ketua tim kuasa hukum Haji Bakrie, Sofyan, SH, kepada pers, seusai mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Palembang, Senin kemarin, tanah yang digunakan warga kampung 7 Ulu untuk tempat tinggal selama bertahun-tahun adalah tanah milik keluarga Haji Bakrie. Tanah seluas 1 hektare itu dibeli kakek Haji Bakrie, yakni Raden Haji Muhammad Abdullah Tholib dari Pemerintah Belanda seharga 3.000 golden pada tahun 1920. Kemudian di atas lahan itu oleh Raden Haji Muhammad Abdullah Tholib didirikan sejumlah rumah bagi buruh perusahaan kapalnya. Namun saat Indonesia merdeka, Raden Haji Muhammad Abdullah Tholib ikut istrinya, Yohana, pulang ke Belanda. Ahli warisnya, dalam hal ini Haji Bakrie, mempunyai bukti-bukti suratnya, kata Sofyan kepada wartawan….”
“Itu bohong! Bapak kami memang bekerja dengan Pak Haji Tholib. Tapi bukan dio punya tanah dan bukan dio membangun rumah kami. Itu bohong besar,” kata Dollah kemudian melemparkan koran yang menulis berita tersebut.
“Seingatku, kata abahku, tanah dan rumah di sini memang hasil pembelian warga dewek. Masing-masing. Ini kampung sudah ada sejak zaman kesultanan. Dari mano dio dapat beli tanah ini,” timpalku.
“Jadi, kito harus lawan mereka,” kata Dollah.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu, jika pengadilan memproses gugatan mereka, kemungkinan kita akan kalah sebab hampir semua dari kita kan tidak mempunyai bukti kepemilikan tanah,” kata Putra.
Perkataan Putra itu membuat kami terkejut. Kami marah dan kesal. Tetapi, memang itu kenyataannya. Akibat kebakaran yang pernah menghanguskan kampung kami, pada Agustus 1995, hampir semua surat kepemilikan tanah kami habis terbakar.
Setelah kebakaran itu tidak ada warga yang membuat surat tanah yang baru. Selain soal biaya yang tinggi, warga pun berpikir tidak perlu memiliki surat tanah sebab tidak mungkin warga di Kampung 7 Ulu akan saling mencuri tanah.
“Mungkin salah satu cara untuk melawan kito harus bersatu untuk tetap bertahan di kampung ini, dan kito terus mencari bukti dan membangun opini bahwa tanah ini memang milik kito,” kata Putra.
Meskipun Putra memberi semangat seperti itu, kami tetap sedih, marah dan kesal.
Saat pulang ke rumah masing-masing, malam itu tidak seorang pun warga Kampung 7 Ulu yang dapat tidur dengan nyenyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar