Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Jumat, 06 Februari 2009

Juaro 33

HARI itu adalah hari terakhir Nawawi, Halimah, dan Maulina bertemu dengan kedua orangtuanya. September 1966.
Sekitar lima kilometer dari Jembatan Ampera yang baru selesai dibangun, tepatnya di tengah Sungai Musi, di seberang pabrik PT Pupuk Sriwijaya, terdapat delta yang disebut Pulau Kemaro.
Di ujung barat pulau itu, pada pertengahan Agustus 1966, didirikan sebuah kamp tahanan politik yang luasnya sekitar 5.000 meter persegi. Kamp berbentuk “L” ini dikelilingi pagar beton yang di atasnya diberi kawat berduri yang dialiri arus listrik. Di setiap sudut kamp didirikan rumah penjaga.
Kamp ini terdiri empat blok. Blok A untuk tahanan politik yang membantu petugas; mereka diperbolehkan mencari makanan seperti tumbuhan. Blok B untuk mereka yang di-pekerjakan. Blok D untuk tahanan perempuan, se-mentara Blok C merupakan kamar maut. Di Blok C ini, para tahanan tidak diberi air ataupun makanan.
Di Blok C itu, Abdullah Karim ditahan.
Blok C itu berukuran 6 kali 12 meter, diisi 500 tahanan. Setiap malam, dari tahun 1966 hingga 1969, sedikitnya 25 tahanan yang meninggal dunia. Hampir setiap hari puluhan tahanan politik dimasukan ke blok C itu.
Mereka yang mati dibuang di Sungsang atau di sekitar Pulau Salah Nama, yang letaknya masih di perairan Sungai Musi.
Saat bertemu dengan Halimah, akhir 1977, setelah dibebaskan dari kamp Pulau Kemaro, seorang sahabat Abdullah Karim, Muhammad Zaki menceritakan bagaimana kematian bapak Halimah itu. Abdullah Karim mati dalam peristiwa “Oktober Pembalasan”; istilah para tahanan politik itu terhadap pembantaian yang dilakukan kelompok antikomunis.
Selama tiga hari, 29 September hingga 1 Oktober 1966, ratusan tahanan politik disiksa hingga mati atau dibunuh dengan keji. Saat itu ada sekitar 300 tahanan yang meninggal dunia. Mereka yang mati bukan hanya anggota PKI, sejumlah aktifis organisasi yang diduga berjaringan dengan PKI, seperti Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), atau Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), turut dibunuh. Abdullah Karim adalah salah seorang pengurus Pemuda Rakyat. Sedangkan Maimunah aktivis BTI.
Tengah malam, 30 September 1966, Abdullah Karim yang tengah tidur dibangunkan seorang penjaga kamp. Bersama beberapa tahanan lainnya Abdullah Karim diajak ke sebuah tanah lapang di tengah kamp. Oleh penjaga mereka disuruh berjongkok, satu per satu diperintahkan mengenakan rantai besi di kedua kaki. Setelah selesai mereka diminta berdoa sambil memejamkan mata. Saat berdoa sebuah besi atau balok kayu dipukulkan ke bagian belakang kepala mereka. Buk! Mati. Tanpa teriakan.
Mayat Abdullah Karim tidak dikubur tapi kemungkinan dibuang ke Sungsang. Jauh dari kampung kelahirannya, 5 Ulu.
Sementara Maimunah, ibunda Halimah, meninggal dunia tahun 1970, saat kondisi kamp mulai membaik; setiap hari satu tahanan menerima 21 butir jagung dan sekaleng—ukuran cangkir—air.
Maimunah meninggal dunia lantaran penyakit syphilis kronis menyerangnya. Bukan hanya kemaluannya, penyakit itu juga menyerang rahim dan wajahnya. Penyakit itu didapatnya lantaran sekian tahun melayani nafsu para penjaga kamp. Jasadnya pun dibuang ke Sungai Musi.
Melayani penjaga kamp adalah satu-satunya cara para perempuan tahanan politik untuk bertahan hidup. Muhammad Zaki pun mengaku bertahan hidup karena sering diberi makanan oleh Maimunah. Maimunah mendapatkan semangkuk bubur jagung setelah melayani penjaga kamp.
Kini, kamp itu lenyap seperti ditelan Bumi. Yang tersisa, potongan beton turap yang terendam air Sungai Musi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar