Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 24 Februari 2009

Juaro 64

SEPULANG menjadi pembicara mengenai perkembangan politik kontemporer Palembang, di kampus Universitas Kundang di Padang, Tandu dijemput Beben di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.
Mereka kemudian makan duren di Pasar Kuto.
“Kau ceritakan soal perilaku politik Albert Membara?”
“Jelas bae. Ini kan persoalan nasional. Para peserta ingin tahu bagaimana seorang bandit mampu menjalankan kekuasaan. Bagaimana seorang bandit bisa didukung masyarakatnya.”
“Lalu, kesimpulan kau soal Albert Membara?”
“Ya, seperti buyan bae, kau ni. Jelas aku bilang fenomena Albert itu sangat berbahaya buat masa depan demokrasi di Palembang dan di Indonesia. Harus dilawan! Jika tidak dilawan, hancurlah nilai-nilai moralitas demokrasi,” kata Tandu, yang telah menghabiskan tiga buah duren.
“Berani nian kau nih,” kata Beben.
Tandu hanya tersenyum. Beben menatap sahabatnya itu dengan dua hal yang kontradiktif; kekaguman dan kedengkian.
Dia kagum dengan Tandu yang terus bertahan dengan sikap kritisnya, sementara kedengkiannya yakni mengapa orang-orang hanya melihat Tandu sebagai simbol perlawanan di Palembang; bukan dirinya. To, mereka sama-sama berjuang; melakukan hal yang sama, merasakan penderitaan yang sama, dan mengorbankan banyak hal.
“Aku memang tidak punya nasib sebagai tokoh perlawanan,” kata Beben kepada dirinya.
Beben kemudian mengantar Tandu pulang ke rumahnya di Rambutan Dalam.
“Cek, semoga kita ketemu lagi,” kata Beben, dari dalam mobil Honda Civic-nya sebelum pergi. Tandu diam saja, dia tidak mengartikan kalimat yang diucapkan Beben. Dia hanya melambaikan tangan kepada satu-satunya kawan di Palembang yang dinilainya masih memperjuangkan demokrasi.
Baru di dalam rumah, Tandu merasakan kegaNjilan dari kalimat Beben itu. Pikirnya, mungkinkah Beben memberi tanda perpisahan. Apakah Beben mau bunuh diri? Tidak mungkin, bantah Tandu. Sebab, tidak ada alasan yang tepat buat Beben untuk melakukan itu. Perceraian Beben dengan istrinya bukan persoalan yang dapat menghancurkan mental sahabatnya itu. Mungkin Beben mau berangkat ke luar negeri? Tandu sedikit menerima dugaannya itu. Dia pun tenang. Tertidur. Memeluk istri dan anak tunggalnya yang berumur lima tahun.
Tandu bermimpi, bersama istri dan anaknya melakukan perjalanan ke Bali. Berlibur. Mimpi yang indah. Mimpi yang tak mungkin mau dihentikan oleh siapa pun. Termasuk oleh api yang membakar habis rumahnya, tubuhnya, istri, dan anaknya. Api yang disulut sekelompok bandit ketika ratusan masjid di Palembang mengumandangkan azan Subuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar