Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 24 Februari 2009

Juaro 57

ORANG-ORANG di dusun Yunen menerima kehadiran Yulia. Mereka pun mengizinkan Yulia menumpang sementara di rumah Yunen. Syaratnya, Bi Kom, si dukun beranak itu juga tinggal di rumah Yunen. Alasan warga, bila tidak ditemani seseorang, Yunen ditakutkan akan menyakiti Yulia dan anaknya. Setelah dipasung lima tahun, warga tidak yakin Yunen sudah sembuh dari penyakit gilanya—yang diyakini warga—sebab orang-orang gila sebelumnya di dusun itu, setelah dipasung justru bertambah gila.
Jika pemasungan tidak akan menyembuhkan orang gila, mengapa itu harus dilakukan? Jawabannya sederhana; agar si orang gila tidak mengganggu orang lain yang dianggap masih normal. Mau sembuh atau kian menjadi gila, warga di dusun itu tidak peduli.
Yunen divonis gila bukan lantaran dia mengamuk di rumah dan ingin membunuh istrinya melainkan kesukaannya membaca puisi di kebun kopi dan kesenangannya menggendong istrinya setelah mereka mandi di Sungai Lematang.
Soal tawaran menetap di rumah Yunen, Bi Kom merasa sangat beruntung. Sebagai dukun beranak yang tidak lagi mempunyai anak—tiga anak laki-lakinya meninggal dunia—Bi Kom seperti menemukan kembali sebuah keluarga.
Ketiga anak Bi Kom itu mati ditembak polisi. Mereka ditembak saat diburu di dalam hutan lantaran merampok sebuah bus yang lewat di dusun tersebut. Menurut polisi, mereka tidak akan ditembak bila tidak melakukan perlawanan dengan kecepek.
Kematian ketiga anaknya itu tidak disesali Bi Kom. Buat Bi Kom, apa yang dilakukan mereka adalah ibadah. Mereka merampok bus itu karena dusun mereka mengalami paceklik; sawah dan kebun kopi mereka gagal panen.
Apalagi, akibat paceklik itu beberapa balita mati karena kelaparan.
Musim paceklik itu merupakan bencana kali pertama yang dialami Bi Kom selama hidupnya di dusun tersebut. Sawah dan kebun kopi mereka gagal dipanen akibat tanah longsor dan amukan gajah. Beberapa warga menuduh penyebab bencana itu lantaran pembangunan pabrik bubur kertas milik perusahaan multinasional dan perkebunan sengon—bahan baku bubur kertas—tak jauh dari dusun mereka.
Yunen sendiri hanya cengar-cengir dan beberapa kali berkata “ya” saat Yulia bermohon menumpang sementara di rumah penyair itu.
Sikap baik dari orang yang divonis gila itu, membuat Yulia mendapatkan gairah hidup kembali. Dia pun secara diam-diam berkeinginan membesarkan anaknya. Padahal, saat di dalam bus, sebelum “kebetulan” di dusun Yunen, Yulia berniat memberikan anaknya kepada orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar