Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Jumat, 06 Februari 2009

Juaro 32

SOAK Bato, Bukitkecil, Palembang. Pukul dua dini hari. Setelah kedua kakinya ditembak dan kedua tangannya diikat, Abdullah Karim diseret bagai anjing oleh seorang pemuda. Diseret menuju ke Jeep Willis yang diparkir di muka sebuah gang, beberapa meter dari rumah Abdullah Karim. Sementara Maimunah, istri Abdullah Karim, diseret sambil diterjang dan diludahi.
Abdullah Karim mengeram kesakitan sedangkan Maimunah diam bae sambil matanya terus menatap pemuda yang meludahi dan menerjangnya.
“Rasoke sakitnyo! Dasar PKI!”
Nawawi memeluk kedua adiknya yang ketakutan, persis di depan pintu kamarnya. Mulutnya terkatup. Dia melihat dua pemuda mengunjali piringan hitam, radio, patung serta beberapa lukisan yang dipajang di dinding rumah. Sedangkan seorang lainnya mengobrak-abrik kamar orangtuanya. Saat keluar dari kamar orangtuanya pemuda itu tampak buru-buru mengantongi perhiasan dan uang.
“Lemak dak punya wong tuo PKI? Na, ingeti jangan pecak mereka.”
Seorang bapak yang berumur 50-an, berkopiah hitam, menunjuk wajah Nawawi. Lalu, bapak itu mengajak ketiga pemuda menghancurkan semua barang di ruang tamu dengan menggunakan kapak.
Kedua adik Nawawi tersengut-sengut. Wajah mereka berkeringat. Mereka terkencing di celana. Saat itu umur Nawawi 10 tahun, adiknya Halimah 8 tahun dan Maulina 7 tahun.
“Cepat siram! Oi, di sana. Cepat! Cepat!” teriak bapak yang menunjuk Nawawi tadi.
Beer! Sekian detik kemudian, api membakar dinding depan rumah orangtua Nawawi, rumah semi permanen yang dicat putih. Tak lama kemudian Jeep Willis itu pergi.
Nawawi ketakutan. Dia menarik kedua adiknya ke dapur. Kedua adiknya menangis. Dengan menaiki kursi Nawawi membuka gerendel atas pintu dapur. Api terus melahap rumahnya.
Saat api melahap ruang tamu, Nawawi dan kedua adiknya sudah berada di halaman belakang rumah.
“Bicik Atun! Tolong! Bicik! Bicik Atun! Bicik! Tolong! Tolong..” teriak Nawawi dari balik pagar bambu.
Bicik Atun yang dimintai tolong hanya mengitip dari balik kisi-kisi jendela. Bicik Atun dilarang suaminya keluar rumah.
“Ngopo nak keluar? Jangan tolong mereka. Apo kau nak mati jugo. Sudah, biarkan bae mereka.”
Ketiga anak itu menangis. Tidak satu pun orang di kampung itu yang berani keluar rumah. Dengan mata berkaca-kaca Nawawi dan kedua adiknya hanya dapat menyaksikan api melahap habis rumah mereka. Panasnya api mengeringkan air mata mereka.
“Bapak dan ibu dibawa mereka ke mana?” tanya Halimah.
Nawawi memeluk kedua adiknya. Mereka kembali menangis. Cahaya api menerangi ketiga anak itu.
Baru dua jam kemudian, dengan mengendarai sepeda, Mustarech, sahabat Abdullah Karim, menjemput ketiga anak itu. Di antara azan subuh dan rinai, mereka menuju rumah Mustarech di Kalidoni.
Kalidoni terletak di sebelah timur Palembang. Sebagian warganya adalah mantan pekerja perkebunan milik Belanda di New Kalidonia, sebuah pulau di Samudera Pasifik yang dijajah Belanda. Para pekerja itu kembali setelah Indonesia merdeka.
Saat dikirim ke Palembang, mereka ditempatkan di suatu daerah pinggiran kota, yang sebagian besar lahannya adalah rawa-rawa. Daerah itu kemudian disebut “Kalidoni”. Tidak jauh dari daerah itu adalah Sekojo. Pusat pelatihan dan perumahan tentara. Waktu Jepang menduduki Indonesia, konon Sekojo adalah basis militer penjajah itu.
Dalam perkembangannya Kalidoni menjadi salah satu basis aktivis PKI di Palembang. Tak heran, bila 20 tahun kemudian, saat Soeharto berkuasa, listrik baru masuk ke daerah tersebut. Baru dua tahun kemudian jalannya diaspal.
Nasib keluarga kader PKI di Kalidoni sangat memprihatinkan. Boleh dibilang tak ada yang dapat bekerja sebagai pegawai negeri, polisi atau tentara. Mereka umumnya menjadi buruh bangunan atau buruh pelabuhan. Ada beberapa orang yang lolos masuk ke perusahaan milik pemerintah. Tragisnya mereka dipecat saat diketahui keluarganya terlibat dalam partai politik itu. Tidak peduli apakah yang terlibat itu mertua atau pamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar