Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Jumat, 06 Februari 2009

Juaro 31

MENGGUNAKAN sebuah perahu, dini hari, tiga anak buah Mat Nyawo mendatangi kampung 7 Ulu. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, bak ninja. Mereka membawa sekaleng cat dan beberapa kuas.
Beberapa pintu rumah warga mereka beri tanda silang. Pada pagar seng rumah Haji Kasim, mereka menulis, “Menolak Relokasi Regonyo Nyawo.”
Aksi ketiga anak buah Mat Nyawo itu tidak diketahui warga. Tidak ada satu pun warga kampung 7 Ulu yang terjaga. Bahkan, anak buah Mat Nyawo itu mendapati Somad tengah tertidur di dalam warung rokoknya di muka lorong Aman.
Jika Sulaiman, anak Halimah, dipenjara, kampung 7 Ulu itu aman. Karena aman warga kampung itu pun merasa tidak perlu lagi melakukan ronda malam.
Tetapi, bila Sulaiman tidak dipenjara, hampir setiap malam di kampung itu akan terjadi keributan atau ada rumah warga yang kemalingan. Maka, warga terpaksa melakukan ronda secara bergiliran.
Sulaiman memang sering mengajak teman-temannya mabuk minuman keras atau obat koplo di kampung itu. Bila mereka tidak ada uang dan mempunyai kesempatan, mereka pun maling rumah warga.
Sesaat setelah perahu yang dinaiki anak buah Mat Nyawo melaju, Somad terbangun. Dia terbangun karena terkena percikan api yang telah membakar warungnya.
“Tolong! Tolong! Warungku terbakar! Tolong!” teriak Somad yang lari terpincang-pincang.
Hampir semua warga di kampung itu terbangun. Mereka keluar rumah.
“Tolong, Pak Haji. Warungku terbakar,” kata Somad kepada Haji Kasim yang berdiri di teras rumahnya.
Haji Kasim dan warga lainnya buru-buru membawa ember dan panci yang berisi air. Apa lacur, saat mereka mau memadam api yang membakar warung Somad, warung itu tinggal puing-puing yang membara. Bahkan, warga lari ketakutan ketika botol-botol anggur yang dijual Somad meledak karena terbakar.
“Siapo wong gilo ini, oi. Kejam nian. Apo salah aku ni,” kata Somad.
Somad duduk di tanah. Kepalanya tertunduk. Tidak ada warga yang berani mendekatinya. Mereka hanya menatap Somad dengan rasa iba. Satu per satu warga kembali ke rumahnya.
“Mad, kau galak tinggal tempat aku dulu,” kataku.
“Lemak mati bae aku nih. Kejam nian wong bakar warung aku ni,” kata Somad sambil memukul kepalanya dengan kedua telapak tangannya.
Azan subuh berkumandang. Somad kugandeng menuju rumah rakitku. Lelaki sebatang kara itu pun menangis dalam pelukanku.
Saat matahari muncul, warga kampung 7 Ulu ribut dan marah setelah melihat tanda silang berwarna merah di muka pintu rumah beberapa warga, serta membaca ancaman yang ditulis di pagar seng rumah Haji Kasim.
“Aku tahu yang memberi tanda silang di pintu rumah kito dan menulis ancaman di pagerku ini pelakunya sama dengan yang membakar warung Somad. Mereka pasti disuruh walikota. Mereka mengancam kito. Aku dak takut. Kito jingok malem ini. Kalau mereka datang lagi, kito kapak bae. Bunuh,” kata Haji Kasim
Sikap warga lain pun sama seperti Haji Kasim. Teror yang dilakukan anak buah Mat Nyawo tidak membuat warga di kampung 7 Ulu takut atau menyetujui relokasi itu.
Bahkan, sejak peristiwa itu, setiap malam warga bergiliran ronda. Saat ronda, mereka melengkapi dirinya dengan berbagai senjata tajam, seperti pedang, tombak atau parang.
Setiap orang yang datang ke kampung itu, pada malam hari, akan mendapat pemeriksaan cukup ketat, termasuk barang yang dipakai dan dibawa; apalagi terdengar isu kampung itu akan dibakar sehingga pemeriksaan seperti mau masuk kediaman Presiden.
Mungkin mendengar warga di kampung 7 Ulu melakukan penjagaan ketat, Mat Nyawo tidak pernah mengirim anak buahnya lagi ke kampung itu untuk meneror warga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar