Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 08 Februari 2009

Juaro 39

PUTRA berdiri, menatap tajam ke arah Jai.
“Anda ini bukan wakil rakyat. Anda tahu itu apa itu wakil rakyat? Itu artinya Anda adalah pesuruh rakyat. Pelayan rakyat. Tapi pandangan Anda tadi menunjukkan Anda seolah-olah sebagai raja. Anda yang ingin dilayani oleh rakyat. Jadi, bila penggusuran itu menurut Anda sangat menguntungkan rakyat dan pemerintah, sebaiknya Anda mundur. Mundur! Anda tidak tahu apa yang diinginkan dan diderita rakyat. Anda tidak berhak menjadi wakil rakyat. Anda harus turun. Anda itu jongos kapitalis.”
Tepuk tangan warga dan sebagian anggota Dewan yang setuju dengan pernyataan Putra bergema di ruang rapat Dewan Palembang, pagi itu. Wajah Jai memerah, matanya penuh kebencian menatap Putra.
“Turun! Turun! Pecat! Pecat!” teriak puluhan warga yang ikut pertemuan itu.
“Tenang. Tenang! Saudara-saudara. Tenang. Apa pertemuan ini mau dihentikan? Ayo, tenanglah. Tenang!” kata Ketua Dewan Palembang, Ahmad Liam, yang memimpin pertemuan itu. Dia berulangkali mengetuk palunya.
“Lanjutkan Putra,” katanya setelah suasana kembali tenang.
“Jadi, sekali lagi…,”
Jai mengangkat tangannya. Berdiri. “Interupsi!”
“Ya, silahkan,” kata Ahmad Liam.
“Pernyataan Putra itu merupakan tuduhan yang tidak beralasan. Apa yang saya sampaikan tadi, benar-benar untuk kepentingan rakyat. Kepentingan wong kecik di kampung 7 Ulu. Saya kasihan melihat nasib mereka yang miskin. Nasib kalian. Jadi kalau mereka dipindahkan di tempat baru yang lebih layak, semuanya akan selesai…”
“Uhhhhh…,” teriak warga.
Jai duduk dengan senyuman sinis.
“Saya lanjutkan ketua?”
Ahmad Liam mengangguk.
“Sekali lagi kami minta penggusuran kampung 7 Ulu dibatalkan. Tidak ada untungnya kami dipindahkan. Justru kami akan mendapatkan persoalan baru. Misalnya lapangan pekerjaan. Warga di 7 Ulu itu, biar bapak-bapak ketahui, banyak mencari makan di Pasar 16 Ilir dan Pasar Induk Jakabaring, atau menjadi nelayan dan penarik ketek di Sungai Musi. Di pasar, mereka ada yang berdagang, menjadi tukang keruntung, atau kuli angkut. Kalau digusur, mereka mau kerja di mana. Apalagi kami melihat lokasi yang akan diperuntukkan bagi warga, jauh dari Kota Palembang. Ini tidak adil.”
Tepuk tangan kembali bergema. Pret! Pret! Para wartawan memotret Putra.
“Kemiskinan yang dialami warga 7 Ulu bukan kemiskinan yang alami. Warga kampung 7 Ulu dimiskinkan oleh para pemilik modal. Oleh pemerintah yang dikendalikan para pemodal yang rakus.”
Ahmad Liam mengetuk palunya. “Maaf, waktu Anda sudah habis. Kini giliran wakil dari Walikota.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar