Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 08 Februari 2009

Juaro 38

JAI menampar wajah Halimah sekerasnya. Halimah yang tengah mengandung anak lima bulan itu terjatuh. Tubuhnya nyaris menimpa anak keduanya, bayi sembilan bulan. Bayi itu menangis. Halimah tidak melawan atau menangis. Dia diam, menahan sakit di perutnya.
Jai marah karena Halimah minta Iman menasihati dirinya untuk berhenti merampok.
“Sudah aku bilang. Mulut awak tu jago. Jangan ngomong sebasingan bae. Aku jadi bandit untuk kau tula, untuk dua anak kito dan sikok di perut kau tu. Mungkin gara-gara kau ni lah aku sial kemaren.”
Halimah menggendong anaknya. Diam.
“Ngapo kau diem? Melawan? Kubunuh kagek.”
“Idak, Kak. Aku nak nidukke anak kau.”
Jai mengambil sebotol anggur cap Songhie yang disimpan di bawah dipan. Diteguk langsung dari mulut botolnya. Glek, glek, glek. Anak tertua mereka, Sulaiman, yang berumur dua tahun, jongkok di balik pintu. Menatap bapaknya yang tengah menikmati minuman anggur itu. Matanya berbinar-binar.
“Nih, duit kau! Aku nak keluar.”
Beberapa lembar uang seribuan rupiah berserakan di kasur.
Menggunakan sepeda Jai pergi ke Pasar 16 Ilir. Dia nongkrong di warung kopi milik Ujang. Memesan beberapa botol anggur cap Songhie.
Beberapa hari sebelumnya, Jai bersama lima temannya merampok rumah seorang toke karet di Sekayu. Namun, perampokan itu terbilang gagal. Sebab toke itu hanya menyimpan sedikit uang dan perhiasan di rumahnya.
“Aku kesel nian. Merampok katik hasil. Tapi, aku puas dikit. Kubunuh galo-galo. Sekeluarga. Anak gadisnyo sebelum kubunuh, kutindi dulu..”
Jai tertawa. Dadanya terasa membesar setelah melihat senyuman orang di sekitarnya.
“Ati-ati kalu ngomong, Kak. Kagek denger wong, bahayo!” kata Ujang.
Jai merasakan dadanya mengecil. Darahnya mengalir kencang ke kepala.
“Aponyo yang ditakuti. Wong se-Pelembang nih tau kalu aku ni perampok yang suka membunuh dan nganciti perawan. Kalu aku takut ditangkap atau dibunuh kerno perbuatanku itu, ya, memaluke bae. Siapo pulo yang berani nak bunuh aku atau nangkep aku? Jadi tenang bae Jang, yo.”
Jai kembali tertawa. Semua turut tertawa, juga Ujang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar