Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 01 Februari 2009

Juaro 25

“KALIAN itu ditertibkan bukan untuk dibunuh. Kalian ditertibkan agar kalian beradab, dan agar kota ini menjadi tertib, tidak sumpek dan kacau-balau,” kata Jai sambil menunjuk muka Solikin, seorang penarik becak.
“Awak yang kacau-balau. Awak yang tidak tahu diri. Sudah dipilih tapi lupa dengan kami. Bekacolah, Lur.” Solikin balas menuding.
Jai tersinggung.
“Tai! Kau nih.”
Jai mendekati Solikin, tetapi, langkahnya dicegat beberapa temannya.
“Sudahlah, tidak enak. Dio kan cuma penarik becak.”
Perundingan antara penarik becak, yang diwakili Solikin, dengan para anggota Dewan Palembang siang itu gagal. Kegagalan itu lantaran ketegangan antara Jai dengan Solikin.
Mendengar kabar perundingan itu gagal, seribuan penarik becak yang melakukan aksi di halaman gedung Dewan itu marah. Aksi damai menuntut agar aparat polisi pamong praja tidak bertindak kasar terhadap penarik becak saat di jalan, berakhir brutal.
Para abang becak mengamuk. Mereka merusak apa saja. Mereka mencabuti tiang lampu taman, memecah kaca gedung Dewan, menghancurkan pot kembang. Bahkan, sebuah mobil sedan menjadi sasaran amukan mereka. Mereka memecahkan kacanya, lalu, melompat-lompat di atasnya. Mobil itu milik Jai.
Aparat polisi tidak mampu meredam amukan para penarik becak itu. Bahkan, terjadi bentrokan antara penarik becak dan aparat polisi. Beberapa polisi kepalanya terluka akibat lemparan batu dan puluhan penarik becak tertembak peluru karet.
Jai begitu marah saat melihat mobilnya dihancurkan para penarik becak. Dia kemudian menelepon beberapa kawannya.
“Aku minta harus ada yang basa. Terutama Solikin itu.”
Saat puluhan bus kota yang membawa ratusan bandit datang, bentrokan itu sudah berakhir. Para penarik becak yang tertembak dibawa ke rumah sakit sementara puluhan lainnya ditahan polisi, termasuk pimpinan aksi yakni Solikin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar