Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Sabtu, 21 Februari 2009

Juaro 54

SETIAP kali berkenalan dengan seseorang, Yunen selalu merasa tersiksa jika orang itu menanyakan sukunya, apalagi menanyakan pekerjaan orangtuanya atau saudara-saudaranya.
Meskipun demikian, Yunen akan menyebutkan sukunya walaupun dia harus memalingkan muka atau menundukkan kepala. Bila seseorang menebak sukunya, Yunen pun akan cepat mengangguk. Suku apa saja. Tetapi, mungkin lantaran warna kulitnya yang kekuningan, tidak seorang pun pernah menebak Yunen berasal dari satu suku di Papua atau Maluku.
Hanya, dia tidak akan menceritakan sedikit pun tentang orangtua ataupun keluarganya. Sikap tertutup Yunen itu sangat tidak disukai wong di Palembang. Tak heran bila Yunen memiliki sedikit teman dekat; salah satu persyaratan untuk menjadi seorang sahabat, seseorang harus memberitahu identitas orangtua dan keluarganya. Tetapi, ketika seseorang menjadikannya sebagai sesuatu yang privasi dengan alasan tertentu, dia dianggap orang asing.
“Buat apo nak diceritoke. Apo yang harus dibanggakan dan dibutuhke buat kito yang hidup hari ini,” katanya.
Yunen adalah seorang pegawai pemerintah sebagai juru penerangan. Setiap pekan dia tampil di televisi lokal. Dia memainkan drama penyuluhan. Temanya berbagai persoalan di masyarakat yang menjadi perhatian pemerintah, seperti masalah kebersihan di kampung, keluarga berencana (KB)—yakni program pemerintah Indonesia yang mengondisikan sebuah keluarga untuk hanya memiliki dua anak—hingga permasalahan pertanian dan pemilihan umum yang selalu memenangkan Golkar (Golongan Karya); partai politik yang dikendalikan penuh oleh Soeharto.
Yunen merasa muak dengan profesinya itu. Namun, kebutuhan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup membuatnya terus bertahan. Muak atau tidak muak setiap pekan dia harus memainkan drama-drama penyuluhan. Setelah empat pekan, dia antre menerima gaji dari negara.
“Aku nih anak langit. Penyair. Aku hidup untuk membuktikan bahwa awal selalu berulang dan akhir tak pernah selesai,” katanya.
Sebagai penyair—meskipun tidak semua penyair seperti ini dan pengakuan tersebut lahir dari mulutnya—Yunen sangat menjunjung cinta. Cinta yang menggelora dan penuh nafsu, membuatnya tanpa lelah menulis puisi; menembus malam dan melupakan apakah lambungnya sudah menggiling makanan atau belum.
Di kantor tempatnya bekerja—di mata Yunen adalah sekumpulan orang yang rajin pada awal bulan dan menjadi kerbau lapar pada akhir bulan—Yunen leluasa menulis puisi. Bila perlu, secara tiba-tiba dia membacakan puisinya dari meja ke meja di kantornya.
Tidak ada yang mampu mencegahnya membaca puisi, seperti Yunen yang tak mampu mencegah rekan-rekan kerjanya setiap hari bermain judi gaple di belakang kantor, atau meluruskan program-program fiktif dan penuh mark up yang disusun pimpinannya.
Satu-satunya kejahatan yang dilakukan Yunen di kantornya, yakni menjual kertas fotokopi setiap akhir bulan. Pencurian tersebut dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan makan dan rokoknya. Gaji yang diterima Yunen selalu berumur 23 hari. Kejahatan itu sangat disadari Yunen, dia pun siap dihukum. Tetapi, di mata pimpinan dan rekan kerjanya, kejahatan yang harus dipertanggungjawabkan Yunen yakni kebiasaannya menulis puisi dan membacakannya di dalam kantor.
Bila ada yang tertarik dengan puisinya, Yunen akan menceritakan bagaimana kuatnya sebuah cinta sehingga seseorang menjadi bergairah lalu menepiskan segala apa diributkan orang setiap hari; uang, mobil, makan, atau barang-barang elektronik yang harganya mahal.
Sejujurnya, dalam satu tahun, mungkin hanya satu kali teman sekantor Yunen memuji sebuah puisi miliknya. Buat Yunen itu sudah cukup. Mengampanyekan keindahan dan kasih sayang merupakan ibadah. Selalu dan selalu Yunen mengatakan Tuhan merekomendasikan manusia untuk selalu memelihara keindahan dan kasih sayang, agar kelak—setelah meninggal dunia—mendapatkan jaminan masuk surga. Soal pandangan ini, tidak jelas Yunen mengutipnya dari mana. Kemungkinan besar dia menyimpulkannya setelah dia mengkaji Alquran—dia mengaku beragama Islam—dan menikmati syair-syair Khalil Gibran—salah satu penyair yang dikaguminya. Penyair lain yang karyanya disenangi Yunen adalah Chairil Anwar dan W.S. Rendra.
Pintu masuk ke wilayah cinta buat Yunen adalah seorang gadis. Nunung, namanya. Tiap lekuk tubuh dan tatapan Nunung menjadi objek pembicaraan Yunen, hampir setiap hari. Dan, bila matanya mulai berkaca-kaca, dia pun bernyanyi, “Bidadari bangkit birahinya, mengajak kawin benahi kusutku. Oh, aku mabok.”
Sayangnya, sama seperti saat ditanya sukunya, Yunen tersiksa bila dipertemukan atau berhadapan dengan Nunung. Entahlah. Dia hanya mampu menikmati Nunung dari jauh. Terutama saat gadis itu tengah latihan drama atau mendeklamasikan puisi di Taman Budaya Sriwijaya—sebuah gedung kesenian di Palembang yang kemudian dikomersialkan seorang pejabat pemerintah; disewakan buat mereka yang ingin merayakan pernikahan, selanjutnya gedung itu dibongkar dan menjadi sebuah pusat perbelanjaan.
Cara Yunen menikmati Nunung melalui matanya seperti seekor kucing yang mengincar ikan di akuarium; ingin menangkapnya tetapi bukan untuk dimakan.
Melalui Nunung, Yunen melahirkan drama kata-kata. Penuh kejutan pada lingkungannya. Semua keindahan, kebeningan raga dari sikap yang tegas terkandang manja dari Nunung merupakan konstruksi bidadari buat Yunen. Bidadari yang selalu mendampinginya pada siang hari, seperti bayangan tubuhnya. Bila malam hari, Yunen pun merindukan bidadari itu dan berharap bertemu dalam tidurnya.
Sampai akhirnya terdengar kabar, seperti kisah telenovela, Yunen menikah dengan seorang gadis pilihan keluarganya. Pilihan orang-orang yang selalu dirahasiakannya. Dia dan istrinya menetap di sebuah dusun di pinggiran Muaraenim. Dusun itu adalah dusun kelahiran orangtuanya.
“Tak ada yang mau lagi mendengarkan puisiku. Aku harus menikah. Akhir tak pernah selesai,” katanya.
Tampaknya Yunen berusaha menjauh dari catatannya di Palembang, ibarat dirinya mempunyai akhir. Mungkin bukan itu maksudnya. Mungkin itu sebuah awal yang berulang, menapaki sejarah orang-orang yang dirahasiakannya dari sebuah rumah panggung di dusun sepi dan merenungi orang-orang yang keheranan melihatnya membaca puisi di kebun kopi.
Lalu, ketika jutaan orang Indonesia punya keinginan kuat agar Soeharto jatuh, Yunen dipasung istri dan keluarganya di kolong rumah panggung miliknya. Yunen divonis gila. Pemasungan itu dilakukan setelah Yunen mengamuk di dalam rumah. Menggunakan sebuah parang dia merusak seluruh barang, lalu mengejar istrinya yang tengah hamil delapan bulan; Yunen mau membacoknya.
Kemarahan Yunen dipicu lantaran istrinya keberatan bila dia selalu membaca puisi di kebun kopi dan menggendong tubuh istrinya dari Sungai Lematang menuju rumah, setiap kali pulang dari mandi di sungai itu; adegan tersebut menjadi tontonan dan pembicaraan orang-orang di dusun mereka. Sejak saat itu, Yunen tak pernah lagi membersihkan sepasang gigi palsunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar