Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Sabtu, 21 Februari 2009

Juaro 52

PERTAHANAN yang dilakukan warga Kampung 7 Ulu, berupa ban mobil yang dibakar, pagar kawat berduri, serta papan yang dipasang paku, tak mampu menghadang laju ekskavator. Bahkan beberapa warga yang melawan, tubuhnya babak belur dipukuli bandit.
Hanya berkisar 10 jam, semua rumah di Kampung 7 Ulu serata tanah. Dirubuhkan dan dilindas tiga ekskavator.
Rencana warga yang ingin membakar ekskavator juga gagal, sebab bensin dan minyak tanah yang disiapkan warga keburu ditemukan beberapa polisi dan polisi pamong praja.
Warga Kampung 7 Ulu hanya dapat memaki dan menangis. Mungkin, hanya aku yang tidak memaki dan menangis. Aku dan beberapa warga mencoba mengamankan beberapa barang yang dapat diselamatkan. Sementara, rumah rakitku sebelum penggusuran telah kupindahkan ke tepian Kampung 14 Ulu.
Setelah penggusuran itu, warga kemudian ditawari Walikota Palembang, Albert Membara, untuk ikut transmigrasi atau mengkredit rumah tipe 36 di daerah Siapi-api. Lalu, mereka diberi pesangon uang sebesar Rp 500 ribu per keluarga.
Tak ada pilihan buat warga. Mereka harus memilih di antara kedua pilihan yang bukan pilihan itu.
Jelasnya, mereka harus meninggalkan Sungai Musi yang telah menghidupi tiga generasi keluarga mereka.
Di tempat tinggal yang baru, mereka tak akan lagi merasakan sentuhan air Sungai Musi, mendengar deburan ombaknya, atau menikmati embusan angin di tengah teriknya matahari yang menyinari Sungai Musi. Mereka pun dipastikan tidak dapat melihat Jembatan Ampera setiap saat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar