Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 17 Februari 2009

Juaro 48

UDARA panas. Musim kemarau telah mencuri dua bulan milik musim hujan. Ketika mau naik jembatan penyeberangan di depan International Plasa, seorang lelaki bertubuh tegap, berambut panjang, mengenakan jaket kulit warna hitam, menabrak tubuh Putra. Putra terkejut dan menoleh ke arah lelaki yang mengenakan kaca mata hitam itu. Lelaki itu tersenyum.
Lelaki itu mengikuti Putra. Saat berada di atas jembatan, lelaki itu kembali menabrak tubuh Putra. Ketika Putra menoleh….
“Ikut aku. Jangan banyak ngomong. Diam,” kata lelaki itu kemudian tersenyum. Pinggang Putra terasa dingin oleh senjata api yang ditodongkan lelaki itu.
“Sebentar, Pak. Aku mau temui kawan dulu,” kata Putra.
“Tidak bisa. Ikut aku. Ini penting,” katanya. Dia menarik tangan Putra.
Putra dinaikkan ke sebuah mobil sedan warna hitam, yang diparkir tak jauh dari jembatan penyeberangan itu. Di dalam mobil itu, telah menunggu dua lelaki. Mereka duduk di depan.
“Kita mau ke mana, Pak?” tanya Putra yang wajahnya memucat.
“Jalan-jalan. Ada orang yang mau ketemu kamu. Tenang bae,” kata lelaki yang duduk di depan, di samping sopir.
Lelaki itu berkacamata minus, mengenakan kemeja putih, tubuhnya kurus dan bau ketiaknya cukup menyengat. Sedangkan yang menyopir, tubuhnya tegap seperti lelaki yang menodongkan pistol kepada Putra. Dia pun mengenakan jaket kulit warna hitam. Bedanya rambut lelaki yang menyopir ini dicukur pendek, nyaris botak.
Putra diajak keluar kota, mengarah ke Inderalaya. Sepanjang perjalanan mereka tak bicara. Meskipun AC mobil itu menyala, wajah dan tubuh Putra berkeringat.
“Ni minum. Haus kan?” tanya lelaki yang berkemeja putih.
Putra mengangguk, lalu meneguk air mineral yang disodorkan. Tak lama kemudian Putra merasakan kepalanya begitu berat, pandangannya berbayang. Sekian detik kemudian dia pun tertidur.
Saat terbangun Putra sudah berada di sebuah ruangan tertutup. Dindingnya plesteran semen yang tak dicat, disinari lampu 15 watt, tak ada tempat tidur, tak ada jendela. Suara dari siaran radio terdengar cukup keras.
Putra ketakutan. Dia berulang berteriak dan menggedor pintu ruangan itu dari dalam. Tidak ada yang dapat mendengarnya. Setelah beberapa jam berteriak dan menggedor pintu, Putra kelelahan. Dia pun menangis.
Sepanjang malam, di dalam ruangan itu, Putra menahan rasa lapar, haus dan dingin.
Sementara suara dari siaran radio terus menyesaki telinga Putra. Kemudian secara perlahan suara itu menggempur isi kepala Putra. Dan, pada akhirnya setiap kata dari radio itu bagai ledakan bom yang menghantam kepalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar