Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Rabu, 11 Februari 2009

Juaro 41

PERTEMUAN itu sampai pada pandangan atau pendapat terakhir dari setiap perwakilan. Berbeda dari sebelumnya, giliran pertama yang memberikan pandangan adalah perwakilan warga, yakni Putra.
“Aku tidak akan banyak ngomong. Kami hanya minta satu. Apapun pandangan kalian, apapun pilihan kalian, pilihan kami hanya satu. Kami menolak digusur. Jika kami digusur kami akan melawan. Seperti kata penyair Wiji Thukul itu. Hanya satu kata, lawan!”
Tepuk tangan kembali bergema.
“Hidup rakyat! Hidup rakyat!” teriak warga.
Ahmad Liam kemudian mempersilahkan Jai yang mewakili anggota Dewan yang setuju dengan penggusuran Kampung 7 Ulu, untuk memberikan pendapatnya.
“Kalian warga Kampung 7 Ulu, aku kira dapat memilih yang terbaik. Rencana pemidahan kalian itu merupakan niat baik pemerintah terhadap kalian yang hidup miskin. Bukan apa-apa. Tidak ada niatan lain dari itu. Saya sebagai anggota Dewan setuju dengan pemindahan warga Kampung 7 Ulu. Sebab menurut saya, pembangunan harus dilakukan meskipun sejuta penghalangnya.”
Tiba-tiba Halimah berdiri. Telunjuk tangan kanannya menunjuk Jai.
“Oi! Kampang! Bandit! Denger! Omongan kau tu dak dapat dipecayo! Omongan bandit. Jadi jangan pecayo dengan dio tu.”
Semua mata tertuju kepada Halimah. Ahmad Liam mengetuk palunya. Beberapa petugas keamanan berlarian mendekati Halimah.
“Kau masih ingat dengan aku? Aku Halimah. Dasar kampang! Aku ni bini kau, yang kau tinggalke karena kau penakut. Takut ditembak Petrus!”
Jai merasa kepalanya tertimpa batu yang sangat besar. Darahnya naik. Mulutnya terkatup. Wajahnya pucat dan dingin. Jai berdiri kaku.
Ahmad Liam dan beberapa anggota Dewan lainnya juga terkejut. Mereka berbisik dan saling menatap. Sementara Halimah seperti orang kesurupan; menangis dan terus memaki Jai. Dia digotong keluar oleh beberapa petugas keamanan. Ruangan pertemuan itu menjadi gaduh.
“Saudara-saudara dengarkan! Dio tu wong gilo. Mano mungkin betino pecak itu bini aku. Aku jugo bingung ngapo wong gilo masuk pertemuan ini. Tapi, ya, sudahlah. Terimakasih.”
Jai duduk. Tersenyum. Dia berbicara dengan Ahmad Liam yang berada di sampingnya.
Tok. Tok. Tok. Ahmad Liam kembali mengetuk palunya.
“Kita lanjutkan. Kini giliran pihak perwakilan anggota Dewan yang tidak setuju.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar