Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 24 Februari 2009

Juaro 60

YULIA menceritakan siapa dirinya kepada Bi Kom dan Yunen. Pada bagian kisah mengenai Putra, Bi Kom menangis. Sejenak kemudian, dia pun menceritakan kisah dirinya, termasuk kematian ketiga anaknya.
Saat Yulia bercerita, Yunen sesekali tersenyum dan berkomentar, “Itulah hidup. Tak ada akhir yang selesai.”
Yunen sebenarnya ingat dengan Putra. Ketika Yulia menyebut nama dan menceritakan siapa Putra, Yunen teringat dengan sosok mahasiswa yang pernah dibencinya itu. Namun buat Yunen, kehadiran Yulia—yang tak lain kekasih Putra dan bapak bayi yang berada di rumahnya—merupakan drama yang dilahirkan Tuhan.
Dalam pikiran Yunen, pertemuan dirinya dengan Yulia, merupakan kesombongan Tuhan; ingin menunjukkan tidak ada manusia yang mampu berlari dari keinginan-Nya.
Itulah alasan kenapa Yunen sesekali tersenyum saat Yulia bercerita. Yunen memutuskan untuk tidak memberikan reaksi yang berlebihan; terkejut, marah, sedih atau bahagia. Cukup tersenyum. To, Tuhan tidak pernah terkejut dengan apa yang dialami seorang manusia.
Tiga bulan kemudian, Yulia berencana pulang ke Palembang. Meskipun dia yakin kedua orangtuanya sangat ingin bertemu dengan dirinya dan cucunya, Yulia tidak punya keinginan pulang ke rumah orangtuanya.
Yulia adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Bapaknya seorang tentara berpangkat kapten. Sebagai anak prajurit, Yulia termasuk yang beruntung. Dia tidak pernah hidup di asrama tentara. Istilahnya tidak pernah menjadi “anak kolong”—istilah ini muncul untuk mengatakan anak-anak tentara yang terpaksa tidur di kolong atau di bawah genting asrama meliter, lantaran asrama yang mereka tempati sempit atau kecil—dan bila bapaknya bertugas ke suatu daerah, Yulia dititipkan kepada neneknya—pensiunan pegawai perusahaan minyak Pertamina, di Plaju.
Kedua orangtua Yulia dikenal warga di kampungnya taat beragama. Yulia dididik dengan disiplin untuk tidak mengatakan secara militer, baik soal agama maupun ilmu pengetahuan versi lembaga pendidikan. Dia dilarang membantah ataupun mengusulkan sesuatu bila tidak diminta. Sementara neneknya yang bangga dengan pendidikan “Barat”—yang didapatkannya selama penjajahan Belanda, negara yang konon dulunya merupakan daerah nelayan dan perompak—mengajarkan soal selera dan etika seorang berpendidikan.
Pada awalnya Yulia sangat angkuh dan pemilih dalam pergaulan di kampusnya, Universitas Balaputra Dewa. Tetapi, rasa ingin tahu atau rasa petualangannya yang sejak kecil diredam orangtuanya, membuat Yulia akhirnya luluh, saat Putra mendekatinya. Yulia tertarik dan menyukai Putra karena pemuda itu memberikan petualangan-petualangan berpikir dan rasa.
Seperti banyak diduga, perkawanan atau istilahnya hubungan asmara Yulia dengan Putra tidak disetujui orangtua Yulia. Layaknya sebuah cerita telenovela, kian dilarang benih cinta pasangan itu justru kian tumbuh.
Apa yang terjadi saat orangtuanya tahu Yulia hamil di luar nikah? Orangtua dan neneknya mengusir Yulia seperti anjing. Yulia diseret dan dimaki-maki—mungkin sesuatu yang selama ini diredam dari kesadaran purba mereka—di sepanjang jalan di muka rumah orangtuanya itu. Bila Putra masih hidup, mungkin peluru dari senjata api milik bapak Yulia akan bersarang di kepalanya.
“Jangan sebut namaku kalu dio dak mati.”
Yulia lari ke Metro. Dia menumpang hidup dengan Yudhi, seorang mahasiswa yang sudah berkeluarga. Sebelum akhirnya Yulia memutuskan mau melahirkan di Lahat, dengan alasan anak itu akan diberikan kepada temannya di sana.
Metro adalah sebuah kota di Lampung, yang dibangun para transmigran dari Jawa. Bila kita memasuki kota yang hidupnya tergantung dari pertanian itu, kita seperti memasuki sebuah kota di Jawa. Dari bentuk bangunan hingga jajanan,, semuanya beraroma Jawa.
Tanpa sepengetahuan Yulia, orangtua dan neneknya pindah ke Talangbetutu. Sejak saat itu, neneknya keluar masuk rumah sakit untuk mengobati berbagai penyakit yang menggerogoti dirinya.
Dan, pada saat Yulia melahirkan, bapaknya gugur dalam peperangan di Aceh melawan tentara GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Pulang ke Palembang buat Yulia adalah suatu permulaan dari kehidupan yang baru. Seperti semangat dari puisi-puisi yang ditulis Yunen di dinding rumah dan setiap hari dibacakannya. Dia ingin seperti orang asing yang memutuskan membangun kehidupan baru di Palembang. Dia pun tak ingin menemui teman-temannya.
“Aku ikut,” kata Yunen.
Tetapi, saat mau berangkat ke Palembang, Yulia bingung dengan Yunen yang masih tiduran di kasurnya.
“Aku ikut,” kata Yunen.
“Ya, beringkesla. Nanti kesiangan, kagek bus dak katik lagi,” kata Yulia.
“Aku yang ini yang berangkat itu. Tolong kembalikan ke Palembang, lemparkan bae ke Sungai Musi,” kata Yunen sembari memberikan sepasang gigi palsunya yang dibungkus daun pisang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar