Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Sabtu, 21 Februari 2009

Juaro 55

YULIA menangis ketika kali pertama melihat bayi laki-laki yang baru dilahirkannya. Bayi itu lebih dahulu menangis.
Yunen hanya diam saat menggendong si bayi; dia menikmati tangisan ibu dan anak. Jantungnya berdetak cepat.
Setelah dilahirkan, kedua telinga bayi itu diazankan Yunen. Soal ini, Yunen dipaksa Bi Kom, dukun beranak yang membantu persalinan Yulia. Terus terang, hanya Yunen yang tahu apakah dia mengazankan atau tidak. Yang tampak, sekitar 5 menit wajah Yunen menempel di pipi bayi; tak ada suara.
“Yunen bawa budaknyo kesini. Nak kumandikan dulu,” kata Bi Kom.
Tiga jam sebelumnya, Yulia masih berada di dalam sebuah bus jurusan Palembang-Lahat. Lantaran perutnya sakit, dia minta diberhentikan di sebuah dusun yang dilalui bus tersebut. Si sopir bus sempat ragu-ragu saat mau menghentikan kendaraannya, apalagi melihat Yulia yang tengah hamil tampak kesakitan. Sopir bus yang memiliki tiga anak itu yakin Yulia akan melahirkan. Tetapi, Yulia sempat berteriak bahwa di dusun tempat mereka berhenti ada kerabatnya.
Sebenarnya, Yulia berbohong. Dia hanya takut melahirkan di rumah sakit di Kota Lahat. Dia takut bila melahirkan di rumah sakit—mungkin lantaran ditolong si sopir—orangtua dan keluarganya akan tahu keberadaannya. Sebenarnya dia ke Lahat mau mencari seorang temannya. Harapannya, di rumah temannya itu dia dapat melahirkan, cukup ditolong seorang dukun atau bidan, tidak perlu dengan seorang dokter di rumah sakit.
Yulia ragu keinginannya tercapai sebab di sepanjang perjalanan Yulia merasakan perutnya melilit. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhnya. Apalagi cairan putih dan kental sedikit demi sedikit merembes dari kemaluannya. Entah apa yang mendorongnya, Yulia memutuskan untuk berhenti di sebuah dusun yang sepi. Dusun Yunen. Dia berhenti di perkarangan rumah penyair yang baru dua bulan bebas dari pemasungan.
Pemasungan terhadap Yunen dihentikan setelah istri Yunen—perempuan bertubuh gemuk yang mengajar di sekolah dasar—menemukan calon suami yang baru. Saat dilepaskan pasungnya Yunen hanya dibekali sebuah panci dan tikar serta beberapa kilogram beras. Hampir semua perabot rumah diboyong istri dan keluarganya. Mereka pindah ke dusun sebelah.
Istri dan keluarganya berharap Yunen pergi dari rumah. Selanjutnya, rumah itu akan dijual, uangnya buat membiayai makan dan sekolah anak mereka; gadis kecil yang tidak pernah diizinkan ibunya bila ingin ikut lomba baca puisi di sekolah. Uang pensiun Yunen menjadi jatah kakak perempuannya yang janda meskipun saat pengambilan uang dilakukan istri Yunen.
Yunen tidak pergi. Dia bertahan di rumah itu. Dia terus membaca puisi. Tidak peduli malam ataupun siang.
Dia menulis beberapa kata di tanah atau di dinding rumah panggung itu dengan arang: “Awal selalu berulang dan akhir tak pernah selesai.”
Soal kalimat yang disukai Yunen itu, tidak jelas milik siapa, tetapi tampaknya merupakan penggalan dari puisi miliknya. Entahlah.
Yulia terjatuh ketika menginjak tangga rumah panggung Yunen. Yunen yang tengah melamun di muka jendela samping rumahnya mendengar teriakan Yulia yang kesakitan. Dia melihat Yulia terkapar. Sejenak Yunen ketakutan, dia masuk ke dalam rumah. Yulia memanggilnya dan minta tolong.
Meskipun ragu-ragu, Yunen keluar dari rumahnya. Beberapa saat dia memperhatikan Yulia. Yulia terus merintih minta tolong, lalu perlahan menjadi teriakan. Lantaran siang hari, teriakan Yulia tak ada yang mendengar kecuali Yunen. Pada siang hari, hampir semua warga di dusun itu berada di kebun.
Yunen kemudian berlari dan berteriak “Tolong! Tolong!” menirukan teriakan Yulia. Sekitar satu jam Yulia menahan rasa sakitnya. Kemaluannya dipenuhi cairan dan darah. Wajah Putra, sang kekasih yang memberi benih di rahimnya, berputar-putar dalam kabut pandangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar