Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 24 Februari 2009

Juaro 58

YUNEN membenci politik. Baginya politik itu hanya melahirkan peperangan, kelaparan dan penindasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Menurut kisah didengar Yunen saat masih kanak-kanak, dari mulut bapaknya, dusun mereka merupakan pelarian anak buah Cheng Lien—seorang pemimpin perompak—yang disegani di Asia Tenggara pada abad ke-15.
Mereka lari ke pedalaman—dengan menyusuri Sungai Musi dan masuk ke Sungai Lematang dan membuat perkampungan di tepi sungai itu—karena tidak mau tunduk kepada para ksatria dari Jawa, yang kemudian membangun Kesultanan Palembang Darussalam.
Selama dalam perlarian, mereka terus-menerus melakukan peperangan. Baik perang menghadapi para prajurit dari Kesultanan Palembang Darussalam maupun dari kelompok pelarian lain yang juga membuat perkampungan.
Perang itu, dikisahkan, banyak merenggut nyawa. Bahkan, peperangan itu melahirkan penculikan terhadap perempuan. Mereka diperkosa atau dijadikan gundik oleh mereka yang meraih kemenangan.
Pada akhirnya, jumlah laki-laki menjadi lebih sedikit daripada perempuan. Kondisi tersebut akhirnya memungkinkan lelaki memiliki istri lebih dari satu, meskipun tidak memenangi sebuah peperangan.
Sekian tahun kemudian:
“Aku sangat membenci laki-laki yang beristri lebih dari satu. Itu pasti melahirkan ketidakadilan. Bukan hanya dirasakan para istrinya. Yang paling menderita, adalah anak-anak mereka. Perempuan dan anak-anak adalah sumber keindahan dan kasih sayang. Aku yakin betul peperangan dan kekuasaan yang menciptakan penderitaan terhadap perempuan dan anak-anak. Politik adalah biangnya.”
Sebetulnya, pemikiran Yunen tersebut tidaklah luar biasa. Sudah banyak orang yang berpikir seperti itu. Mungkin, cara penghayatannya yang membuat Yunen menjadi lain bila dibandingkan dengan teman-temannya atau keluarganya.
Setelah mengisahkan itu, biasanya bapak Yunen mendongengkan kota adalah tempat yang harus ditaklukkan.
“Kalau awak nak jadi wong, jadilah pegawai negeri, polisi atau tentara. Sekolah yang benar. Kalau harus nyogok, idak apo-apo, jual kebun kopi kito itu,” kata bapak Yunen.
Wajah Yunen memerah. Dia menatap ketiga temannya, yang sama-sama minum kopi di sebuah warung makan, di dekat Taman Budaya Sriwijaya.
“Aku tidak peduli Soeharto itu mau jatuh atau tidak. Yang penting itu, kito ini harus membangun nilai-nilai, terutama rasa melindungi sesama dan pujian terhadap semua keindahan. Kito ini rusak oleh politik. Politik telah membuat keindahan menjadi sampah,” kata Yunen.
Yunen kemudian melihat wajah ketiga temannya. Mereka menatap sinis.
“Aku memang benci politik. Menurutku dari pada ikut rapat di LBH Swarna Bhumi, lebih baek kito membicarakan puisi terbaruku,” kata Yunen.
“Kalau Presiden Soeharto jatuh dan kehidupan kesenian berubah menjadi baek, kau jangan mengaku-aku turut berjuang,” kata Sulaiman, perupa yang selalu bercita-cita ingin melakukan pameran tunggal lukisannya; selalu gagal lantaran tak ada sponsor.
Rapat di LBH Swarna Bhumi itu membahas rencana aksi berkaitan dengan konflik lahan antara petani dengan PT Musi Hutan Dunia.
“Setuju! Aku berkesenian karena Tuhan. Tuhan yang menentukan apakah aku dapat menulis puisi lagi atau tidak. Bukan kalian. Makanlah raso berjuang kalian,” kata Yunen.
Seperti biasanya, jika ada benih ketegangan dengan Yunen, teman-temannya memilih pergi. Begitu pun dengan ketiga teman Yunen tersebut. Dan, sejak saat itu—Polong, Angine dan Bobon—tidak pernah lagi bertemu dengan Yunen sebab sebulan kemudian Yunen menikah dan menetap di dusunnya. Pimpinan Yunen di kantornya begitu senang ketika penyair itu minta dipindahkan ke Muaraenim.
“Ini gara-gara Putra, si mahasiswa itu! Dia benar-benar merusak kesucian batin kesenian,” kata Yunen, entah untuk siapa. Dia memesan kembali secangkir kopi. Si pemilik warung makan itu hanya tersenyum melihat Yunen marah-marah. Begitulah Yunen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar