Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Sabtu, 21 Februari 2009

Juaro 53

PINTU ruangan itu terbuka, dua lelaki membawa satu balok es yang ukurannya setinggi tubuh Putra.
“Putra, saatnya kau tidur,” kata salah seorang dari dua lelaki itu.
Putra yang tubuhnya bagai karung basah, tak mampu melawan saat tubuhnya diseret ke atas balok es itu. Dia pun ditidurkan.
Selanjutnya kebekuan merayapi tubuh Putra. Tulang dan jantungnya seperti ikan di dalam kulkas. Melalui sorot matanya, Putra berusaha membunuh kami. Tetapi, dia tidak mampu. Hanya, di dalam mimpinya Palembang terbakar. Asapnya terbang dan bergabung dengan awan; mengelilingi bumi, mencari abad-abad kemenangan.
Jauh dari ruangan itu, kami pun tidak mampu membunuh Putra. Halimah dan Sulaiman hanya mampu memilih ikut Bambang ke Jakarta. Aku bersama Somad tetap bertahan di rumah rakitku.
Setiap malam kami menyanyikan lagu Cup Mutung milik Filus:
…cup, cup mutung
balik keTanggabuntung
cup, cup mutung
meleng keno pentung
cup, cup mutung
banyak rumah mutung
cup, cup mutung
aku minta tulung….
Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar Sulaiman tewas ditembak polisi lantaran ingin merampok seorang nasabah bank di Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar