Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 01 Februari 2009

Juaro 24

ORANG-ORANG berteriak ketakutan. Dinginnya udara pada subuh itu berubah ibarat uapan air mendidih. Tangisan dan kebingungan membuat orang tidak mampu menyelamatkan semua harta bendanya. Kampung 7 Ulu terbakar. Dalam waktu tak sampai setengah jam, separo rumah, yang sebagian besar rumah panggung terbuat dari kayu, di kampung itu hangus terbakar. Agustus 1995.
Baru setelah api mengamuk hampir satu jam, lima kendaraan pemadam kebakaran datang. Mobil dan petugasnya tidak mampu masuk ke da-lam perkampungan, hingga ke tepian Sungai Musi. Selain lorongnya sempit juga selang pe-nyemprotan terlalu pendek. Mereka pun hanya menyemprot rumah-rumah di kampung sebelah yang belum terbakar. Pencegahan, kata petugas pemadam kebakaran.
Sementara amukan api di kampung 7 Ulu hanya dilawan dengan siraman air dari warga yang menggunakan ember dan panci.
Bles. Hanya sekitar 1,5 jam, ratusan rumah di kampung itu tinggal bara dan debu. Ratusan perempuan dan anak-anak menangis meraung-raung. Sementara para lelakinya sibuk menyelamatkan harta benda, yang dapat dihindarkan dari amukan api.
“Kampang! Kampang kamu tu! Rumahku habis. Oi, rumah kami habis. Pergi sano! Kampang!”
Maki seorang ibu setengah baya kepada beberapa petugas kebakaran yang pergi bersama mobilnya. Sejenak kemudian ibu itu menangis, lalu, pingsan. Di dalam pingsannya ibu itu terus memaki.
“Maling! Maling!” teriak seseorang kepada seorang lelaki muda yang memanggul sebuah televisi.
Lelaki muda itu berlari di antara kerumunan orang yang sibuk menyelamatkan keluarga dan harta bendanya.
Bagai disambar petir puluhan orang yang panik dan bingung menyerbu lelaki muda itu. Mereka memukulinya dengan berbagai benda keras dan tajam. Bahkan, beberapa orang membacoknya dengan parang seperti mencincang ikan.
Lelaki muda itu pun mati. Mukanya hancur, kepalanya remuk, serta tubuhnya penuh dengan bacokan parang. Warga belum puas, lelaki muda itu dilemparkan ke dalam bara api yang masih menyala. Sedangkan televisi yang dicuri hancur terinjak-injak warga yang marah kepada lelaki muda itu.
Aku duduk di hadapan rumah kami yang habis terbakar. Aku tidak dapat menangis, tidak dapat marah, tidak dapat meneriakkan Tuhan sudah tidak adil.
“Sebagai manusia besok masih banyak yang harus kukorbankan. Termasuk melepaskan nyawaku atau menyaksikan keluargaku mati.”
Selama dua pekan kami tinggal di gedung sebuah sekolah dasar tak jauh dari lokasi kebakaran. Kami makan dan minum dari pemberian pemerintah dan mereka yang simpatis. Kami makan apa yang diberi, seperti nasi bungkus atau mie instant.
Memasuki pekan kedua setelah kebakaran itu kami tinggal di barak yang dibangun Pemerintah di daerah Sekojo, sekitar 20 kilometer dari kampung 7 Ulu.
Orangtuaku, keluarga saudaraku, dan keluargaku tinggal di barak itu. Hampir selama setengah tahun kami makan satu kali dalam sehari. Kami sekeluarga besar nyaris tidak mencari nafkah. Kami stres. Makanan kami pun masih dari bantuan pemerintah dan mereka yang simpatis.
Memasuki bulan kedelapan di barak itu kedua orangtua kami meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia, selama dua hari keduanya tidak mau makan dan minum. Yang pertama meninggal, ibuku, sekitar pukul enam pagi. Saat kami memandikan jasad ibuku, abahku menyusul. Dia melepas nyawanya.
Beberapa tetangga kami yang mempunyai uang kembali membangun rumah di lokasi kebakaran. Tetapi, tidak bagi kami. Meskipun saudaraku banyak, kami tidak memiliki simpanan uang untuk membangun sebuah rumah.
Dengan rasa berat, tanah tempat rumah kami yang terbakar dijual seharga Rp 25 juta. Harga itu cukup murah. Yang membuat tanah itu murah karena surat tanahnya terbakar.
Aku mendapat bagian Rp 2 juta. Uang itu kemudian aku belikan sebuah rumah rakit dan satu televisi hitam-putih 14 inci.
Melalui televisi itu aku melihat hampir setiap hari ada kebakaran di muka bumi ini.
Tidak terpikir olehku sebelumnya untuk tinggal di rumah rakit. Buat wong Palembang, rumah rakit adalah simbol “orang asing”. Dulu, katanya, pendatang dari Tionghoa dan pedagang Belanda, saat masuk ke Palembang, oleh Kesultanan Palembang Darussalam tidak boleh langsung menetap di darat. Mereka hanya diperbolehkan menetap di rumah rakit di Sungai Musi.
Mereka baru boleh menetap di darat apabila menikah dengan kerabat Kesultanan Palembang Darussalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar