Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 11 Januari 2009

Juaro 4

DULU, 25 tahun lalu, aku bukan penarik perahu ketek dan tidak pernah terpikir masa tuaku seperti sekarang ini.
Aku anak kelima dari tujuh bersaudara, yang satu-satunya bersekolah sampai SMA (Sekolah Menengah Atas). Aku pernah menjadi pegawai di Kantor Walikota Palembang; mengisi jatah mamangku yang pensiun.
“Hasan, ngapo awak belum jugo kawin. Banyak betino cindo kalu awak galak,” kata abahku.
“Aku dak galak wong kito. Banyak rasannyo.”
“Bukan soal rasannyo. Awak tu nak kawin dak? Kalu galak, Abah dan Ibo awak kagek carike.”
Abahku mengurut telapak kaki kanannya. Kutatap wajahnya yang penuh kerutan, hitam dan kedua pipinya kempot. Hampir semua rambutnya memutih. Sebagian bola matanya yang besar terdapat bercak-bercak putih. Sementara mulutnya tak pernah berhenti merokok. Rokok merek Jambu Bol yang aromanya menyengat cukup sudah membuat tubuhnya tetap kurus.
Untuk mengisi masa tuanya, abahku banyak menghabiskan waktunya di warung kopi milik Mamat, di seberang jalan dari rumah kami.
Di warung itu, abahku dengan orang-orang seusianya bekelakar. Dengan modal lima ratus rupiah, untuk membeli secangkir kopi dan beberapa iris pisang goreng atau pempek, mereka berkelakar 3-4 jam setiap hari. Semua yang digesahka, pasti berkaitan dengan kejayaan atau kekayaan yang pernah dimiliki mereka sendiri atau keluarga mereka di masa lalu.
Tema lainnya, yakni semua keburukan atau kejelekan orang. Memang, di akhir kelakar mengenai keburukan atau kejelekan orang lain, pada kasus tertentu mereka mengutip ajaran agama dan memvonis keburukan atau kejelekan itu sebuah dosa, yang tidak perlu ditiru.
Jika membicarakan seks, tidak satu pun dari mereka mengaku sudah tidak mampu atau menurun “kekuatannya” dalam melakukan hubungan seks. Mereka tetap ingin dikatakan orang muda jika dikaitkan soal itu. Abahku yang paling bersemangat membicarakan hal itu.
Aku masuk ke kamarku, berkaca. Beberapa uban sudah tumbuh di rambutku.
“Apa salahnya jika aku kawin.”
Kupikir wajahku tidak terlalu jelek. Bentuk wajahku lonjong, hidungku mancung, rambutku keriting, alis mataku tebal dan hitam. Hanya tiga gigi depan atasku sedikit keluar. Ya, tidak terlalu monyong. Tubuhku juga tinggi, berkulit putih kekuningan seperti ibuku.
“Ya, aku memang harus kawin.”
Dua bulan kemudian aku dikawinkan dengan Nyimas Siti Aisyah. Anak seorang pedagang kasur di Pasar 16 Ilir. Pesta perkawinan kami meriah, dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Hiburannya adalah pertunjukan Doel Moeloek dan orkes dangdut.
Terus terang derajat keluarga kami lebih rendah daripada keluarga istriku. Keluarga kami adalah wong Palembang tidak bergelar dan juga tidak mampu. Sementara istriku dari keluarga yang bergelar, yakni Kemas. Mereka juga adalah keluarga yang tidak miskin, turun-temurun sebagai keluarga pedagang.
Sementara aku, satu-satunya orang di keluargaku yang punya penghasilan tetap. Aku pun menjadi tulang punggung ekonomi keluargaku. Saudara-saudaraku sebagian menganggur dan sebagian kerja serampangan, apa saja kerjanya. Padahal, mereka semua sudah berkeluarga. Mereka tinggal di kolong rumah orangtuaku. Kolong rumah orangtuaku setinggi satu setengah meter itu dibangun enam kamar. Di setiap kamar, berkumpul satu keluarga.
Lantaran aku yang dianggap paling “mampu”, diberi jatah sebuah kamar di bagian atas rumah. Tetapi, kami tidak punya kamar mandi, kami hanya punya sebuah kakus. Kami semua mandi di tangga rumah yang menghadap ke Sungai Musi.
Mengapa kami disebut wong Palembang tidak bergelar? Nenek dari abahku sebenarnya wong Palembang yang bergelar Masayu. Tetapi, dia menikah dengan kakekku yang keturunan wong India. Jadi abahku tak punya gelar. Sementara ibuku bergelar Nyimas. Namun, gelarnya tidak dapat diturunkan lantaran menikah dengan abahku. Gelar bagi wong Palembang hanya dapat diturunkan melalui garis bapak.
Ada beberapa gelar buat wong lanang Palembang, yang diciptakan sejak Kesultanan Palembang Darussalam, seperti Raden, Kemas, Masagus, dan Kiagus. Aku tidak tahu mengapa begitu banyak gelar. Ada yang mengatakan, gelar itu diberikan sesuai tingkatan atau status sosialnya. Misalnya laki-laki atau lanang turunan kerabat dekat Sultan diberi gelar Raden, sedangkan turunan pedagang diberi gelar Kemas, turunan ulama diberi gelar Kiagus. Sementara gelar untuk kaum perempuannya, diberikan berdasarkan garis bapak, seperti Nyimas, Masayu, atau Nyayu.
Ah, persetan dengan gelar-gelar itu, pikirku. Aku tidak bangga sebagai wong Palembang, bergelar atau tidak. Saat ini, gelar-gelar itu tidak membuat seseorang menjadi kaya. Gelar-gelar itu justru membuat kehidupan si pemegangnya menjadi tidak bebas. Mereka merasa malu jika bekerja kasar, seperti menjadi penarik perahu ketek atau kuli bangunan. Mereka lebih baik menjual harta warisan keluarga seperti barang-barang antik atau rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dibandingkan menjadi sopir truk. Jika harta warisan habis, mereka pun menyingkir ke tepian Kota Palembang, misalnya ke daerah Sako, Kalidoni, Jakabaring atau ke Talangbetutu. Mereka menanggalkan gelarnya lalu bekerja apa saja.
Buat sebagian orang—meskipun tidak punya gelar—menjadi wong Palembang itu harus dibanggakan. Sebagai suku berdarah biru, peradabannya dinilai lebih tinggi dibandingkan orang-orang dari dusun, misalnya. Tetapi, aku tidak bangga akan hal itu. Sebab setelah kutelusuri, ternyata buyut ibuku adalah seorang perompak asal Tionghoa, yang ditangkap seorang pangeran dari Kesultanan Palembang Darussalam. Lantaran takut dihukum mati, dia bersedia menjadi hambah pangeran itu. Dia memeluk agama Islam. Setelah menikah dengan salah seorang kerabat Sultan, dia mendapat gelar kebangsawanan.
Mengapa Siti mau dikawinkan dengan aku? Jawabannya sederhana. Dia gadis tua sehingga harus cepat menikah. Saat menikah, umurku 36 tahun sedangkan dia lebih tua tiga tahun dariku.
Setengah tahun perkawinan kami, semuanya berjalan lancar. Bahagia. Tetapi, memasuki satu tahun usia perkawinan, rumah tangga kami mulai guncang. Salah satu penyebabnya kami belum punya anak. Istriku dua kali mengalami keguguran. Kata dokter dan kata dukun, rahim istriku yang bermasalah alias lemah.
Perhiasan yang dibawa istriku saat menikah, pemberian orangtuanya, satu per satu berkurang, dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga besar kami. Sebab, gajiku kian hari kian tidak mencukupi semua kebutuhan rumah tangga kami. Apalagi, saudara-saudaraku terus meminta bantuan kepada kami. Dari biaya untuk makan sampai biaya kelahiran anak mereka.
Mengatasi kebutuhan keluargaku itu, istriku terpaksa menjual perhiasannya sebab dia tidak mau disebut sebagai mantu atau ipar yang pelit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar