Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Jumat, 16 Januari 2009

Juaro 12

API kian membesar. Satu per satu los dan toko di Pasar 16 Ilir Palembang terbakar. Jai, seorang preman, buru-buru ke lokasi kebakaran. Bukan mau menolong petugas pemadam kebakaran. Dia menemui temannya, Mat Pilis, yang terduduk di bawah tangga belakang pasar.
Di bawah kegelapan malam dan kilatan lidah api, kedua mata Mat Pilis terus mengeluarkan air. Jari-jari kedua tangan dan kakinya yang membusuk terus mengeluarkan nanah. Amis. Kedua kakinya lumpuh. Dia tak mampu meninggalkan pasar yang sebentar lagi menjadi arang itu.
“Pilis, kau nak kupindahkan. Sebentar lagi api ke sini,” kata Jai sambil menyodok tubuh Mat Pilis dengan sebuah balok kayu.
“Oi, kau Jai. Biarlah aku mati bae. Sanak katik, dulur dak katik. Katik guno aku idup. Kalu kau nak nulung aku, untalke aku ke dalam api itu.”
Jai tersentak. Tapi dia kemudian berpikir sebaliknya.
“Kau ikhlas apo? Aku dak galak nanggung dusonya.”
“Aku ikhlas. Daripado aku idup menderita, lebi baek aku mati. Aku terimo. Katik lagi nak nulung aku. Kau tula.”
“Aku nak cari wong dulu.”
Tak lama kemudian Jai datang bersama seorang petugas pemadam kebakaran.
“Ngapo, Pak?”
“Wong ini minta diuntalke ke api.”
“Ngapo nak cak itu. Gilo apo. Manusia apo bukan…”
“Manusio nian. Belorila kalu dak pecayo.”
Petugas itu menyenter wajah, tangan, dan kaki Mat Pilis. “Masya Allah… payolah.”
Jai dan petugas itu mendobrak pintu besi sebuah toko yang terbakar di seberang tempat Mat Pilis terduduk.
“Mat, ikuti aku. Bismillah, Allah Akbar, Allah Akbar…,” kata Jai hendak mengangkat tubuh Mat Pilis yang terasa ringan itu.
Tapi, bluk. Api dengan cepat melalap tubuh Mat Pilis. Petugas pergi. Jai hanya bisa menyaksikan tubuh temannya terlalap api. Tos! Terdengar suara dari arah kepala Mat Pilis yang pecah akibat terbakar. Api berwarna hijau kemerahan menjunjung sekian detik.
Jai meninggalkan temannya yang menjadi abu, juga Pasar 16 Ilir.
Pada awal tahun 1990-an, di atas lahan terbakar itu, dibangun kembali Pasar 16 Ilir. Kemudian sebagian besar losnya kosong, dan hanya beberapa los yang diisi pedagang pakaian bekas dari luar negeri. Kemudian sebagian pindah lantaran sepi pembeli.
Dimulai awal 1990-an, pertokoan dan ruko di Palembang tumbuh ibarat jamur. Namun, tidak jelas dari mana uang para pengusaha yang membangun pertokoan dan ruko itu. Mereka ibarat makhluk asing dari luar angkasa.
Jelasnya, mereka yang sebelumnya tidak dikenal di kalangan pengembang bangunan, tiba-tiba muncul dengan modal yang cukup besar.
Saat membangun pertokoan atau ruko,si pengembang sangat tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Banyak sekali tanah rawa-rawa—yang selama ini menjadi daerah resapan air—ditimbun, dibangun, tanpa membuat saluran pembuangan air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar