Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Sabtu, 10 Januari 2009

Juaro 2

“MIMU setengah mateng. Kompor kita mati. Minyak tanahnya habis,” kata Halimah, istriku. Menurut orang, tubuh Halimah kurus, wajahnya lonjong, hidungnya mancung, berambut panjang sampai ke bahu, berwarna kecoklatan. Sementara aku, saat ini tidak pernah lagi memperhatikan hal itu. Yang kutahu, setiap hari dia membersihkan kutu rambutnya serta sangat menyukai sinetron dan acara pencarian hantu di televisi.
“Mana bawang putihnya?”
“Ado sebiji, cari bae di kuahnya,” jawab Halimah yang kunikahi 7 tahun lalu dengan membawa dua anak. Aku selalu gagal membuahi rahimnya meskipun berbagai obat-obatan dan jamu telah kutelan.
Jika biaya yang kukeluarkan untuk membeli obat-obatan dan jamu itu ditabung, mungkin aku sudah mampu membeli satu sepeda motor buatan Cina. Dan, seumur hidupku, aku tidak pernah memiliki sepeda motor meskipun pernah kudengar Indonesia merupakan pasar terbesar penjualan sepeda motor, baik buatan Cina maupun Jepang.
Sebenarnya anak Halimah bukan dua, melainkan tiga orang. Ketiganya laki-laki. Menurut pengakuan Halimah, satu anak diambil saudaranya di Jakarta, sejak anak itu berusia 1,5 tahun. Sampai saat ini, putra keduanya itu belum pernah bertemu dengan kami. Dan, Halimah pun tidak mau membicarakan lagi tentang anaknya itu denganku. Aku juga tidak mengharapkan itu. Bukan tidak mungkin, jika Halimah kangen, dia mengambil kembali anaknya. Keinginan itu adalah neraka buatku. Mengurus dua anaknya saja, aku tidak mampu lagi memperhatikan tubuh Halimah yang dikatakan orang kurus. Cuma, aku tahu di mana letak kemaluan Halimah meskipun di dalam gelap.
Dor! Dor! Dor! Dor! Anak sulung istriku, Sulaiman namanya, terkapar di depan pintu. Rumah rakit kami bergoyang. Mi yang baru kuhirup kuahnya dua sendok sebagian tumpah.
“Aduh! Ampun, Pak! Ampun! Bukan aku… bukan aku, Pak. Ibo! Tolong aku!” teriak Sulaiman.
Tiga polisi berpakaian preman menyeret tubuhnya seperti menyeret sekarung beras. Istriku berlari keluar, berteriak agar anaknya jangan ditangkap. Sementara perasaanku, entah kenapa, sebagian besar merasa senang Sulaiman ditangkap.
Aku melanjutkan makan mi yang masih tersisa. Ya, Sulaiman memang tidak perlu lagi diurus sebagai anak. Berulang dia menyusahkan kami. Beberapa kali dia ditangkap karena kasus penjambretan dan penodongan. Istilahnya, Sulaiman itu bandit “lipas tanah”. Ibarat lipas yang menjijikan semua orang.
Bayangkan, beberapa hari setelah pernikahanku dengan ibunya, saat dia masih anak-anak, dia mencuri mainan milik anak tetangga kami. Saat menginjak remaja dia harus dipenjara lantaran mencuri burung beo milik seorang polisi, yang rumahnya persis di depan Lorong Aman—lorong menuju rumah rakit kami.
“Sudah aku bilang supaya cepat pergi dari Pelembang. Jadilah bandit besak. Pergi ke Malaysia, rampok wong kayo. Bukan jadi bandit yang mendep di rumah. Ya, itu duit tidak banyak tapi tetap ditembak. Untung tidak mati. Buat apa nak diurus lagi dio tu. Pusing...,” kataku, sambil membetulkan gulungan sarung yang kukenakan.
Istriku menangis. Mulutnya menggerutu. Listrik menyala. Ombak terus menghantam dinding rumah kami. Saat berbaring, air Sungai Musi beberapa centimeter dari mulutku.
Aku terjaga, beberapa tetangga datang ke rumah kami. Seperti tidak tahu siapa Sulaiman, mereka menampilkan wajah sedih, dan bertanya apa yang telah terjadi. Setelah dijelaskan, mereka berebutan mengaku bukan orang yang memberi informasi keberadaan Sulaiman kepada polisi.
“Ya, tidak apa-apa. Dio memang bandit.”
Mendengar perkataanku itu, Halimah menangis lagi.
“Dio bukan bandit tapi teman-temannya yang jahat, mengajaknya merampok.”
Aku tertawa mendengar pembelaan Halimah itu. Ibarat menyaksikan Doyok—seorang pelawak—mengaku pernah ditawari sebuah perusahaan film untuk main sebagai Superman.
“Dio jadi seperti itu karena awak jahat dengan dio. Cubo awak sayang dengan dio, perhatian, pasti dio tidak seperti sekarang ini,” kata Halimah.
Mendengar tuduhan itu, aku lemparkan piring plastik yang baru kupakai untuk makan mi ke Sungai Musi. Tetanggaku buru-buru pulang. Halimah terdiam. Dia berbaring, tak lama kemudian tidur.
Kami tidak bersetubuh.
Melakukan hubungan badan pada malam hari di rumah rakitku harganya mahal lantaran kami berempat tidurnya bercampur. Rumah rakitku hanya memiliki satu ruangan; tempat tidur merangkap ruang tamu dan ruang makan. Jadi, hanya pada Sabtu malam kami dapat melakukan hubungan suami-istri, saat kedua anak Halimah tidak berada di rumah—meskipun sebenarnya hanya Taufik yang selalu berada di rumah kecuali Sabtu malam.
Aku tidak dapat tidur. Nafsuku yang tertahan membuat kedua mataku tidak dapat dipejamkan. Semalaman kudengar riak ombak, suara perahu ketek, serta tawa beberapa orang yang bermain gaple di perahu jukung, yang ditambat tak jauh dari rumah rakitku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar