Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Sabtu, 10 Januari 2009

Juaro 3

SAAT pagi kami sudah lupa dengan penangkapan Sulaiman. Piring plastik yang kubuang semalam ditemukan Taufik, di bawah kakus rumah Jon Syamsuddin.
Jon penarik perahu ketek seperti aku. Keluarganya juga hidup susah seperti kami. Tetapi, gayanya seperti orang kaya. Kalau merokok dia hanya mau merek Dji Sam Soe—satu bungkus rokok ini cukup membeli dua kilogram beras—dan kalau makan lauknya harus daging ayam.
Jadi, maaf nian, utang si Jon itu ibarat penyakit panu menyelimuti tubuhnya. Kerjanya, ya, setiap bulan minta jatah kepada adik-adiknya. Kebetulan bae, adik-adiknya bekerja enak dengan penghasilan yang besar; sebagai pegawai kantor gubernur, pegawai bank, dan rentenir.
“Bu, bu, bu…,” panggil Budi di depan pintu terus menadahkan tangan kanannya.
Halimah melambaikan tangan memberi isyarat tak ada. “Besok bae!” teriaknya.
“Uh, besok lagi,” keluh Budi.
Tubuh Budi bergoyang lantaran ombak besar menghantam dinding rumah kami. Budi bekerja di Koperasi Kasih Bangsa, yang kerjanya meminjamkan uang dengan bunga 20 persen. Halimah meminjam uang sebesar Rp 100 ribu untuk “bayaran” sekolah Taufik. Tetapi, dia hanya menerima Rp 80 ribu, sebab Rp 20 ribu untuk biaya administrasi. Setiap hari, istriku wajib menyetor Rp 5 ribu selama 24 hari.
“Aku nak besuk Man,” kata istriku. Dia membawa satu rantang plastik berisi nasi putih, sambal terasi dan beberapa potong ikan sepat siam goreng.
“Ni, aku titip rokok buat dio,” kataku, terus melempar selembar uang lima ribu rupiah.
Setelah Halimah pergi, aku nongkrong di kakus yang penampungan kotorannya adalah Sungai Musi. Kunikmati sebatang rokok. Udara cerah, mudah-mudahan hari ini aku mendapat banyak uang, pikirku. Sementara puluhan ikan juaro melahap habis setiap tai yang kubuang. Tidak peduli apakah taiku keras atau lembek. Mereka melahapnya sampai habis. Lantaran libidoku tidak tersalurkan semalam, aku pun beronani.
Sebenarnya, bukan hanya ikan juaro yang suka makan taiku. Ikan seluang termasuk yang menyukai taiku. Pun ikan lainnya yang berada di Sungai Musi, seperti patin, betino, gabus, atau udang.
Entah kenapa, hampir semua ikan yang suka makan tai atau buntang—baik binatang maupun manusia—rasa dagingnya gurih dan manis.
Dan, yang kuketahui, yang paling bernafsu memburu taiku hanya ikan juaro. Ikan-ikan lainnya sepertinya membiarkan sikap juaro ini. Tidak kumengerti, apakah ini karena mereka takut dengan juaro atau ikan-ikan lainnya pemilih. Artinya, tidak semua taiku meereka makan. Mereka hanya makan bagian tertentu dari taiku.
Sementara yang juga sangat tidak kumengerti, mengapa ikan pemakan tai ini disebut juaro, bukan disebut “ikan tai”. Nama itu terlalu gagah. Menariknya, bentuk kepala ikan ini hampir menyerupai wajahku yang lonjong dan monyong.
Ikan juaro adalah ikan yang hidup di permukaan, bentuknya seperti patin. Sebagian besar tubuhnya berwarna putih dan sebagian punggungnya hitam. Bagian kepalanya yang pipih itu dihias kumis di ujung mulutnya. Ada juga ikan yang agak sedikit mirip, yaitu baung. Selain bentuk fisiknya tak mirip-mirip betul sebab ikan ini lebih gemukan, si baung juga tidak senang makan taiku. Juaro paling senang hidup di tepian sungai, terutama di dekat pemukiman penduduk, tentu saja karena adanya tai manusia itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar