Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 25 Januari 2009

Juaro 21

DULU, sekitar tahun 1950-an, tidak banyak orang yang berani masuk ke kawasan Jakabaring, yang terletak di daerah Seberang Ulu Palembang. Sebagai daerah rawa-rawa dan hutan semak, Jakabaring terkenal sebagai kawasan bercokolnya binatang buas seperti ular, buaya, atau harimau. Istilah wong Palembang “tempat jin buang anak”. Tetapi, yang terpenting, Jakabaring adalah daerah resapan air.
Namun, ada segelintir orang yang nekat masuk ke daerah itu. Salah satunya Hasyim, warga 8 Ulu Palembang. Bermodalkan parang, cangkul, serta selembar surat pancung alas atau surat izin membuka lahan dari Pemerintah Palembang saat itu, selama sepuluh tahun, Hasyim menggarap kawasan itu menjadi kebun jeruk, kelapa, dan persawahan padi. Selanjutnya berbondong-bondong orang membuka kebun dan sawah di Jakabaring.
Awal petaka. Pada awal tahun 1990-an, Gubernur Sumatra Selatan saat itu bersama Siti Hardijanti alias Mbak Tutut, putri sulung Soeharto, berencana mereklamasi kawasan Jakabaring tersebut. Proyek itu didukung para pengusaha, termasuk pengusaha dari Palembang.
Tujuan dari reklamasi itu memperluas Kota Palembang. Di atas lahan reklamasi itu, akan dibangun perumahan, pasar, sarana olahraga, pertokoan dan perkantoran. Keluarlah surat sakti sang gubernur untuk mereklamasi lahan seluas 500 hektare di Jakabaring.
Dalam proses awal reklamasi, warga di Jakabaring dipaksa menyerahkan lahannya. Tak kecuali pemaksaan itu melalui teror oleh pegawai kelurahan, pegawai kecamatan dan bandit terhadap warga. Teror itu misalnya dengan cara mengancam akan membakar pondok warga atau dituduh sebagai pengikut komunis; ideologi yang dilarang dalam pemerintahan Soeharto. Biaya ganti rugi lahan yang diterima warga rata-rata Rp 700 per meter persegi.
Warga pun melawan tetapi selalu kandas. Tiga warga yang memimpin aksi perlawanan yakni Muhammad Rasyid, Ali Hasan, dan Rias, ditangkap tentara. Di markas tentara yang menangkap, ketiga warga yang ditangkap itu dikurung selama dua hari. Mereka mengaku disiksa. Muhammad Rasyid kehilangan tiga gigi depannya karena benturan kursi yang dilemparkan seorang tentara.
Tahun 1991, semua lahan warga di Jakabaring telah diambil Pemerintah. Perlawanan terakhir warga yakni menuntut tambahan biaya ganti rugi lahan. Tuntutan itu pun tidak berhasil.
Seusai Soeharto jatuh, pengujung tahun 1998, warga yang digusur kembali ke Jakabaring. Sekitar 43 hektare tanah dijadikan warga kebun dan sawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar