Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Minggu, 25 Januari 2009

Juaro 19

KETIKA pulang ke Jakarta, dia banyak mengeluhkan persoalan itu ke orangtuanya, terutama kondisi kampung kakeknya, 5 Ulu.
“Mama, Walikota Palembang itu gila benar. Masak di kampung kakek sulit sekali mendapatkan air bersih, padahal kan di tepi Sungai Musi. Pipanya ada tapi airnya tidak pernah keluar. Jadi, wong sana setiap hari membeli air untuk minum.”
“Ya, memang seperti itulah Kota Palembang. Makanya Mama tidak mau kau kuliah di Palembang. Di sana juga banyak banditnya, mereka suka membunuh.”
“Bukan itu masalahnya, Ma. Aku senang kuliah di Palembang. Tapi kota sebesar dan setua itu kok sulit sekali mendapatkan air bersih. Padahal kan katanya Sungai Musi itu nyaris tak pernah kering meskipun musim kemarau. Pasti karena pejabatnya korup. Apalagi banyak sekali pengangguran di Palembang.”
“Us! Jangan ngomong sembarangan, nanti kau ditangkap seperti teman Mama di Semarang dulu, yang sembarangan ngomong soal Pemerintah. Protes itu.”
“Ah, susah ngomong dengan Mama ni.”
Ketertarikan Putra terhadap kehidupan di tepian Sungai Musi, membuatnya peduli terhadap persoalan masyarakat pesisir sungai. Selain bertukar informasi dengan masyarakat di tepian Sungai Musi, dia juga berdikusi dengan teman sekampus dan membaca buku soal lingkungan hidup. Dia pun menulis beberapa artikel mengenai kehidupan di tepian Sungai Musi di koran lokal Sriwijaya Post dan Sumatera Ekspres.
Kebiasaan berdikusi itu akhirnya melahirkan sebuah kelompok diskusi. Tema diskusi kelompok Putra bukan hanya persoalan lingkungan hidup, juga merambah ke tema politik, hukum atau ekonomi.
Kelompok diskusi itu sering menghadirkan sejumlah dosen yang dinilai kritis dan kawan-kawan aktivis prodemokrasi di luar kampus. Kemudian mereka membangun komunikasi dengan para aktifis kampus dari berbagai perguruan tinggi di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi.
Putra membaca semua buku yang mengupas pemikiran Karl Marx yang banyak mengkritik kapitalisme. Buku-buku itu dikirim kawan-kawannya dari SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) di Yogyakarta atau aktivis Pijar (Pusat Informasi Jaringan Reformasi) di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar