Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Jumat, 16 Januari 2009

Juaro 10

“LEMAK bae! Ngomong kalu katik duit. Pokoknya bayar. Tenga duo. Apo nak kuaduke samo Jaki. Habis kau dibunuhnya,” kata si perempuan.
“Aku nih baru keluar dari penjaro. Aku dak katek duit. Kagek besok aku bayar. Aku balek dulu. Pecayola,” kataku.
“Idak pacak, bayar sekarang. Sepertinya kau ni minta kuaduke ke Jaki. Biar tau rasonyo. Jaki! Jaki!”
Ternyata Jaki adalah lelaki kurus yang berkumis tebal itu. Dia adalah bandit di Taman Nusa Indah yang juga germo si perempuan. Jaki cukup ditakuti di taman itu sebab dia sering menusuk orang, dan tidak sedikit yang mati.
“Kalu kau dak katik duit, buka baju dan celanamu. Kalu dak galak kito begoco bae sampai mati. Cak mano?” kata Jaki.
“Tolonglah, Pak. Aku kagek bayar, aku balik dulu bae. Pecayola aku kagek ke sini nganterke duitnyo.”
“Oi, jadi kau nantang aku, yo?” kata Jaki lalu menerjang perutku. Sakit. Dia kemudian memukul wajahku. Sakit. Aku terhuyung. Dia kembali menerjangku tetapi meleset.
Dia mengeluarkan badik dari pinggangnya. Aku tersentak. Nyawaku terancam. Dan, seperti ada energi luar biasa aku mengambil sebuah batu sebesar genggaman tangan. Kukejar Jaki yang siap menikam dengan badiknya. Breet! Tos! Tanganku terluka, kepala Jaki pecah. Jaki roboh. Dia mengeram kesakitan.
Puluhan banci, lonte dan pengunjung taman itu menatapku. Perempuan itu menghilang entah ke mana. Beberapa orang menyuruhku cepat pergi. Sebab, jika teman-teman Jaki dating, aku akan habis dijahar mereka; tidak ada yang dapat menyelematkan nyawanya.
Aku pun berlari, melompati pagar taman itu. Berlari sekencangnya di atas Jembatan Ampera. Darah berceceran dari tanganku. Aku hampir pingsan saat sampai di rumah orangtuaku. Gelap.
Ternyata lonte itu bersama dua anaknya mengontrak sebuah kamar di kolong rumah orangtuaku. Kami berbaikan. Kami pacaran. Lalu, beberapa bulan kemudian aku menikah dengan lonte itu. Namanya Halimah. Kedua orangtuaku tidak tahu Halimah adalah lonte. Dia piker, Halimah berjualan sayuran di Pasar 16 Ilir, seperti pengakuannya saat pertama dia mengontrak.
Lantaran aku masih menganggur, Halimah tetap melonte. Baru setelah aku menjadi penarik perahu ketek, setahun kemudian, Halimah berhenti menjadi lonte.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar