Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Selasa, 13 Januari 2009

Juaro 9

HUJAN yang turun sejak pukul tiga sore, sehabis magrib mulai berhenti. Bulan belum menampakan diri. Sebagian Kota Palembang belum menyalakan lampu. Sementara rombongan Bung Amat bergegas pulang dengan naik becak.
Bung Amat adalah penjual “obat kuat” yang mangkal di Taman Nusa Indah. Dalam berjualan Bung Amat selalu mengumbar cerita seks sehingga ramai orang mengelilinginya. Maka, tak heran Bung Amat sama populernya dengan petinju Muhammad Ali, saat itu.
Bau amis, apek keluar dari parit dan tumpukan meja penjual sayur di bawah pohon akasia. Perempuan itu tertidur di atas beberapa lembar kertas kardus. Dia mengenakan kaos berwarna merah dan celana dasar warna coklat. Sebagian kaus yang dipakainya basah karena tersiram air hujan. Mulutnya menganga. Puluhan lalat mengelilingi wajahnya. Rambutnya yang panjang, berwarna kecoklatan tampak kusut karena debu dan sinar matahari. Suara kendaraan yang lalu lalang di Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) tidak membuatnya terusik.
Aku terus menatapnya di bawah sinar lampu Taman Nusa Indah yang kekuningan.
Bulan mulai menampakkan dirinya. Aku memperhatikan buah dadanya yang cukup besar. Birahiku naik. Ingin rasanya kuremas dan kucium buah dadanya itu.
Pada masanya, Taman Nusa Indah merupakan satu-satunya taman yang dapat dikunjungi masyarakat Palembang untuk mencari ketenangan atau hiburan pada siang hari. Bagi mereka yang berasal dari luar kota, Taman Nusa Indah adalah tempat yang ideal untuk berfoto. Jadi tak heran, di taman itu dipenuhi para fotografer amatir.
Gaya berfotonya pun hampir seragam. Bagi perempuan yang ingin berfoto, disarankan si fotografer amatir untuk memegang daun atau bunga di taman, meniru gaya para artis film India di majalah Detektif & Romantika. Sementara buat laki-laki, dilarang keras untuk menatap kamera secara langsung; disarankan menatap ke samping seakan tidak tahu kalau tengah difoto.
Dan, pada malam hari taman ini menjadi surga para lonte dan waria.
“Hei! Kalu nak make dio, ngomong dulu dengan aku. Bukan asal comot,” kata seorang lelaki di belakangku, yang membuat tanganku berhenti sekitar tiga centimeter dari buah dada si perempuan itu.
“Maaf, Pak. Maaf,” kataku terus menjauhi perempuan dan lelaki bertubuh kurus, berkumis tebal, yang mengenakan jaket kulit ketat warna hitam itu.
Aku duduk di bawah sebuah pohon sekitar 20 meter dari mereka. Di dekatku, seorang waria tengah bercumbu dengan seorang lelaki.
Kulihat perempuan itu dibangunkan oleh lelaki yang tadi menegurku. Mereka berbicara dan si lelaki menunjuk ke arahku. Perempuan itu berusaha menatapku sambil mengusap kedua matanya. Dia tertawa kemudian menaikan kedua tangannya seperti menarik napas. Buah dadanya tampak menonjol. Birahiku kembali terusik. “Sialan!”
Sementara di balik rimbunan kembang, si banci kaleng tampak sibuk memuaskan lelaki yang merayunya tadi. Birahiku naik. Aku meludah ke telapak tanganku, lalu…kupejamkan mata.
“Oi, Kak, buat apo begawe dewek. Dak lemak,” kata perempuan yang buah dadanya hampir kuremas saat dia tertidur tadi. Aku kaget. Aku berdiri dan pergi menjauhinya.
“Ngapo pergi! Dak galak dengan aku,” katanya sambil memegang tangan kananku. Aku diam dan membiarkan tangannya menggerayangiku.
“Lemak kan,” katanya.
Mataku terpejam.
Selanjutnya aku menjadi anak kucing yang baru lahir. Aku bahkan tidak peduli mulutku mencium kurap yang berada di ketiaknya. Bagai roket aku terbang cepat, meledak kuat ketika menyentuh langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar