Edisi Cetak Diterbitkan PUSTAKA MELAYU Tahun 2005

Jumat, 06 Februari 2009

Juaro 29

RAUT muka Pak Camat memerah, saat kutanyakan kebenaran isu akan adanya penggusuran kampung kami.
“Bukan penggusuran, Cek. Tapi relokasi. Kagek kito pindah ke daerah lain dengan rumah dan lingkungan yang lebih baek. Tapi Cek, ini masih rencana jangka panjang. Bukan sekarang,” kata Pak Camat itu.
“Tapi, intinyo kan kami pindah. Kami keberatan. Kagek nasib kami pecak transmigrasi itu.”
“Oi, itu lain.”
“Aponyo yang laen, kami ni pasti dikasih rumah yang seragam. Terus memulai cara baru mencari makan. Sudahlah, kami dak setuju.”
“Ini program pemerintah, kito dak dapat melawan.”
“Kalau kami nolak kagek, kami dicap PKI. Kuno, Cek. Sudahlah, kasih tau samo atasanmu warga 7 Ulu menolak digusur.”
Aku pun bergegas pergi. Kutemui Sapto di tokonya. Seusai makan siang, kami ditemani anak buahnya mendatangi kantor LSM yang katanya dapat membantu kami.
“Kalu cak itu ceritonyo, bapak-bapak atau warga kampung 7 Ulu berhak menolak. Itu hak bapak-bapak. Pemerintah tidak boleh semaunya menggusur. Apo lagi kepentingannya dak jelas bagi wong banyak. Soal rencana penggusuran ini, aku sudah tau lamo, Pak,” kata pimpinan LSM itu, Putra.
“Jadi kami ini cak mano? Apo kami diam bae.”
“Idak pecak itu. Bapak-bapak terus berkoordinasi. Maksudnya ketemu terus. Ngobrol. Dan kami, aku akan ke sano. Besok sore aku ke sana. Kalau biso, ketemu dengan semua warga, Pak.”
“Insyaallah,” jawab Sapto dengan sorot mata berbinar.
Selama hampir enam bulan kami selalu melakukan rapat, berdiskusi, rapat, berdiskusi. Kami pun yang sebelumnya tidak mengerti kata reformasi, konsolidasi, progresif, revolusi, kapitalisme global, fasis, atau HAM, akhirnya menjadi mengerti setelah dijelaskan Putra dan kawan-kawannya.
Salah seorang kawan Putra yang sering berdikusi dengan kami adalah Tandu. Tandu mampu ngomong selama satu jam tanpa henti, kecuali saat menghirup kopi dan menghisap rokok. Dia banyak ngomong soal hak-hak asasi manusia, soal tanggungjawab negara terhadap rakyatnya.
Sementara kawan Putra satunya lagi yakni Beben banyak memberikan masukan agar kami berani melawan kezaliman. Kekuatan apa pun akan kalah jika rakyat bersatu, begitu katanya.
Namaku juga beberapa kali masuk koran. Itu lantaran aku sering diwawancarai Abdurachman, seorang wartawan muda yang kalau ngomong sering gagap.
Dia wartawan dan juga aktivis LSM. Dia bekerja untuk beberapa media massa.
Maka seperti matahari pagi kami siap menghadapi relokasi atau penggusuran itu.
“Hanya satu kata, Lawan!” begitu Putra sering berucap, yang katanya diambil dari puisi milik penyair Wiji Thukul.
Aku tak mengenal jauh sosok penyair itu. Sejak kecil aku tidak menyukai penyair. Kata orangtuaku penyair itu dibenci Tuhan sebab banyak bohongnya. Sedangkan kebohongan itu dekat dengan setan. Tetapi, ini kali aku suka puisi Wiji Thukul itu, meskipun Tuhanku dengan Tuhan pemerintah itu sama, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Sejak saat itu aku memburu ikan juaro yang telah menghabiskan berton-ton taiku dengan cara memancing atau menjaring. Setiap subuh, ikan juaro yang kutangkap kujual ke Pasar Induk Jakabaring. Dapat kupastikan ikan juaro itu diburu orang sebab dagingnya gemuk dan manis. Lalu, dari jauh, diam-diam para pembelinya kutembak dengan jariku.
“Mati kalian!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar